"Gimana cuaca di London sekarang, Le?" tanya Siska kepada putri mantan suaminya itu.
"Ya gitu lah, Ma. Masih sama, masih empat musim. Musim panas, dingin, semi, dan gugur." ucap Lea sambil tersenyum.
"Maksudnya, kamu betah sama kondisi cuaca di sana?" tanya Siska lagi.
"Hmm... Alhamdulillah bisa adaptasi sih, Ma. Aku kan udah beberapa kali sebelumnya ke sana." Siska mengangguk.
"Oh, iya. Keluarga kakek kamu kan di sana, ya?" Lea mengangguk
Lea sedang berkunjung ke rumah mantan istri ayahnya karena kemarin Siska tak hadir dikarenakan ia sedang sakit dan tidak bisa ikut menyambut kedatangan Lea di rumah mantan suaminya dengan istrinya. Kini wanita yang lebih tua dari mamanya tersebut sedang terbaring lemah di ranjang kamarnya.
"Mama kenapa gak dirawat di rumah sakit aja?" Siska tersenyum dan menggeleng.
"Cuma tifus aja, Le. Dirawat jalan juga masih bisa, kok." Lea menghela nafasnya.
"Yang namanya penyakit jangan disepelekan, apalagi tifus. Tifus juga bisa membahayakan nyawa kalau didiemin." Siska tersenyum lagi mendengar kekhawatiran putri tirinya tersebut.
"Dokter bilang masih bisa dirawat di rumah. Jadi selama kata dokter gak kenapa-napa, Insyaallah Mama baik-baik aja." Lea hanya mengangguk. Semoga wanita yang sudah dianggapnya mama ini segera sembuh.
Tok tok tok ....
"Masuk!" seru Siska dengan suaranya yang masih lemah. Tak lama terdengar pintu terbuka dan menampakkan sosok lelaki muda yang membuat Lea terkejut. Jantungnya berdegup kembali, kali ini lebih kencang. Dia ada di sana. Mata mereka berpandangan sejenak, seakan waktu berhenti berputar. Sudah berapa lama ia tak bertemu dengannya?
"Panji, ayo sini! Kamu belum ketemu sama Lea. Dia baru pulang kemarin." Panji yang masih termenung di depan pintu sedikit tersentak. Ia terlalu fokus dengan sosok gadis yang ada di kamar ibunya, adik tercintanya. Dia melangkah dengan pelan menuju mereka. Lea terlihat semakin gugup ketika kakaknya mendekat. Panji menyalami ibunya dan mengalihkan pandangannya pada sosok cantik yang duduk di ranjang ibunya. Ia tersenyum lembut.
"Lea, apa kabar? Maaf aku belum menghubungimu kemarin." Lea tersenyum tipis dan menggeleng.
"Gak apa-apa, Kak. Aku ngerti, kok." ucapnya sambil menunduk, tak berani menatap wajah tampan kakaknya. Siska mengerutkan keningnya saat melihat kedua anaknya terlihat canggung satu sama lain.
"Kok gak pelukan? Kalian kan udah lama gak bertemu. Dulu kalian selalu dekat banget gak terpisahkan. Sekarang kok jadi kayak orang asing gitu?" tanya Siska heran yang membuat mereka kesulitan untuk menjawab. Benar, Lea merasa asing dengan sosok kakaknya setelah bertahun-tahun mereka tak bertemu. Padahal dulu sejak mereka masih kecil mereka begitu lengket dan Lea selalu mengikuti kakaknya ke mana-mana. Panji adalah sosok kakak yang menjadi teladan dan pahlawan untuknya di saat ia sedang mengalami masa sulitnya. Kenapa mereka harus seperti ini sekarang? Tak bisakah mereka seperti dulu lagi? Mengenang memori indah masa kecil mereka yang penuh warna dan tawa.
"Gak apa-apa kok, Bu. Kenapa Ibu gak ngabarin aku kalau Ibu lagi sakit?" tanya Panji dengan raut khawatir kepada ibunya. Siska tersenyum.
"Ibu gak mau ganggu kamu, sayang. Kamu kan lagi kerja di sana." Panji berdecak.
"Sesibuk-sibuknya aku di sana, aku masih memperhatikan Ibu. Kalau Vira gak bilang, mungkin aku gak akan tahu." Siska hanya tersenyum mendengar kekhawatiran putranya.
"Maafin Ibu, Nak. Ibu hanya ingin kamu lebih fokus sama kerjaanmu di sana. Kamu betah gak di sana?" Panji hanya menghela nafasnya.
"Yaa..., betah gak betah, sih. Aku manfaatin aja waktu di sana buat nikmatin keindahan di sana, hehe...." ucapnya sambil tertawa pelan. Siska ikut tersenyum.
"Bagus kalau gitu. Ibu ikut seneng dengernya." Lea hanya memperhatikan percakapan ibu dan anak itu. Ia menjadi pendengar setia mereka di sini sekarang. Ia memandang setiap ekspresi kakaknya itu saat tertawa, tawa yang manis, sangat dirindukannya. Lea rindu tawa itu, tawa yang dulu selalu ada untuknya dan menjadi kebahagiaan di hidupnya.
***
Suara burung yang berkicau riang dari beberapa kandang yang tergantung di halaman belakang membuat suasana taman di belakang rumah yang besar itu terasa asri meski berada di tengah Kota Jakarta yang kaya akan polusinya. Lea memandang kolam ikan yang dihuni oleh berbagai jenis ikan koi yang berwarna-warni nan indah tersebut. Ia duduk di bangku taman yang menghadap ke arah kolam. Tatapannya menerawang jauh, jauh kepada kenangan di mana ia sering menghabiskan waktunya di sini bersama Panji saat mereka masih kecil. Lea yang saat itu masih berusia 5 tahun dan Panji yang berusia 12 tahun sering memberi makan ikan bersama di sini. Ia selalu memaksa ikut kakaknya dan menempel seperti lintah yang tak mau lepas dari kulit inangnya.
"Lea!" Lea langsung tersentak begitu mendengar suara itu. Harusnya ia biasa saja, tapi nyatanya tidak bisa. Mau tak mau ia langsung menolehkan wajahnya kepada sumber suara. Ia memasang senyumnya begitu melihat lelaki itu mendekat. Jantungnya semakin berdegup kencang saat sosok kakaknya menjatuhkan dirinya di sebelahnya. Wajahnya terasa panas.
"Udah lama ya kita gak ketemu?" ucap Panji memulai pembicaraan dengan pandangan menghadap kolam di depannya.
"Dulu kita selalu memberi makan ikan di kolam ini. Hanya ikannya yang sudah berubah." lanjutnya lagi. Lea masih diam. Ia belum berani mengalihkan pandangannya kepada sosok tampan di sebelahnya.
"Lea...." suara yang penuh kelembutan itu kembali terngiang di telinga Lea, membuat getaran itu muncul kembali, bahkan mungkin lebih kuat dari sebelumnya. Ia memberanikan diri untuk menatap wajah tampan itu. Mata hazel miliknya yang sama dengan sang mama bertemu dengan manik hitam yang menatapnya intens itu. Ya Tuhan... Lea tak kuat dengan tatapan itu. Sungguh melemahkannya. Ia tak bisa mengalihkan pandangannya dari pusaran kuat jauh di balik kelamnya netra hitam itu.
"Aku merindukanmu... Sangat!" ucapnya hampir lirih. Tanpa diduga, Panji langsung memeluk tubuh mungil adiknya yang kini sudah tumbuh menjadi seorang gadis cantik yang luar biasa di matanya. Lea terkejut dengan aksi spontan Panji hingga sampai membuatnya lupa bagaimana caranya bernafas.
"Ka-Kakak... Hhhh...." Lea merasa kesulitan nafas karena eratnya pelukan lelaki itu. Tak tahukah Panji kalau jantungnya seperti sudah mau copot saja sekarang? Setelah puas memeluk adiknya, Panji melepaskan pelukannya dan kedua tangannya bergerak menangkup wajah Lea. Ia menatap dalam mata indah gadis itu. Lea benar-benar dibuat megap-megap oleh lelaki di depannya ini.
"Jangan pernah menjauh dariku lagi. Kakak gak sanggup untuk menjauh dari kamu lagi." Lea tertegun melihat sebuah permohonan di mata itu. Ia benar-benar meleleh sekarang seperti cokelat yang dipanaskan.
"A-aku...." ia tak mampu melanjutkan kata-katanya. Ia kehilangan apa yang ingin ia ungkapkan. Panji tersenyum.
"Tetaplah di sisiku selalu. Ini perintah, bukan permintaan." ucapnya final. Seperti tersihir, Lea hanya mengangguk pada akhirnya. Tak ada alasan yang kuat untuk ia bisa menolak keinginan sang kakak. Ia tak pernah sanggup, selama hidupnya yang hampir ia habiskan dengan sosok lelaki di depannya ini yang masih memandangnya dengan tatapan yang tak kuat untuk Lea jabarkan. Sanggupkah ia untuk menghindar lagi setelah Panji mengucapkan ini lagi setelah sekian lama mereka terpisah karena jarak dan keadaan?

KAMU SEDANG MEMBACA
This Love
RomanceCinta itu bagaikan angin, tak pernah bisa diatur ke mana arahnya, ke mana dia ingin berlabuh. Kita tak pernah bisa mengatur hati kita untuk jatuh cinta kepada siapa. Lea tak pernah berpikir dalam hidupnya akan merasakan semua ini, merasakan sebuah p...