48. The Biggest Secret

1.7K 138 2
                                    

Siska menatap jendela kamarnya yang belum tertutup dengan pandangan menerawang. Ia memandang bulan sabit yang bertengger di langit malam yang hitam pekat. Cahayanya sedikit terhalang oleh pohon jambu yang tumbuh di halaman rumahnya. Air matanya menetes kembali, mengingat kembali kepergian seseorang yang baru saja hadir dalam hidupnya, tanpa sempat diberi kesempatan untuk merasakan detak jantungnya dan hembusan nafasnya.

Tok tok tok ....

"Assalamualaikum!" Samar-samar Siska mendengar suara orang mengucap salam. Itu suara suaminya. Lalu ia beranjak dari sofa kecil yang didudukinya dan berjalan keluar kamar menuju ruang tamu.

"Waalaikumsalam. Sebentar, Mas!"

Ia membuka pintu yang dikunci dan menampilkan wajah tampan sang suami. Ia mengerutkan keningnya heran, pasalnya sang suami tidak pulang sendiri, melainkan bersama bayi mungil yang berada dalam gendongannya.

"Ini bayi siapa, Mas? Mas gak nyulik anak orang, 'kan?" tanyanya yang juga diliputi rasa takut, takut suaminya melakukan hal yang tidak-tidak mengingat ia masih berduka atas kepergian putra mereka. Akmal menggeleng.

"Kita bicarain di dalam, kasihan dia kedinginan." ucapnya sambil masuk ke dalam.

Siska tak menjawab dan memilih untuk mengikuti sang suami ke dalam rumah setelah mengunci pintu kembali. Mereka berjalan menuju kamar. Akmal menaruh bayi mungil yang masih merah itu di ranjang. Siska memandang wajah bayi itu dan keningnya berkerut, kenapa wajahnya sangat mirip dengan almarhum putranya? Ia mengalihkan pandangannya pada suaminya, meminta penjelasan. Akmal yang melihat istrinya sudah tidak sabar untuk meminta penjelasannya menghela nafasnya sejenak.

"Dia putra Bang Hanan dan Mbak Azmi." jelasnya yang membuat Siska membulatkan matanya terkejut. Ia kembali mengalihkan pandangannya pada bayi mungil itu yang sedang terlelap damai. Berbagai pertanyaan mulai bermunculan di benaknya.

"Mas, ayo habiskan makanannya! Dari tadi aku perhatiin kok ngelamun terus."

Akmal sedikit tersentak saat suara lembut istrinya membuyarkan lamunannya tentang masa lalu. Ia tersenyum tipis, lalu melanjutkan kembali kegiatan makannya yang tertunda. Mereka sedang makan malam bersama anak-anak mereka.

"Panji, setelah makan kamu ke ruangan Ayah. Ada yang ingin Ayah bicarakan." ucap Akmal yang membuat Panji yang sedang asyik makan mengalihkan pandangannya pada sang ayah. Ia mengerutkan keningnya penasaran, seperti ada hal serius yang ingin ayahnya sampaikan padanya. Ia hanya mengangguk saja, tak ingin bertanya lagi.

"Iya, Yah." jawabnya. Mereka kembali hening dan fokus pada makanan masing-masing, hanya suara cempreng Danish yang selalu menjadi penghangat suasana dengan tingkah menggemaskannya.

***

Sesuai perintah ayahnya, setelah mereka selesai makan, Panji langsung bergegas menuju ruangan sang ayah yang berada di lantai atas. Istri dan kedua anaknya langsung menuju kamar mereka untuk beristirahat. Ia mengetuk pintu jati di depannya terlebih dahulu. Ia tak mau langsung masuk begitu saja karena tak sopan rasanya langsung main masuk begitu saja tanpa meminta izin, apalagi ini orang tuanya.

"Masuk!" perintah suara dari dalam.

Panji membuka pintu dan masuk ke sebuah ruangan yang cukup besar, ruangan yang bisa dikatakan mirip seperti sebuah perpustakaan. Banyak koleksi buku yang ditata rapi di rak kayu yang besar. Ruangan ini adalah tempat bersantai kedua orang tuanya, atau anak-anak mereka jika ingin membaca buku. Akmal menyediakan fasilitas ini untuk menambah kenyamanan anggota keluarganya. Bisa dikatakan juga ini adalah ruangan multifungsi.

This LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang