33. Sorry, My Love

2K 135 7
                                    

Satu jam sudah berlalu. Tak ada tanda-tanda Panji pulang. Semenjak ungkapan kekesalan lelaki itu tadi, Panji keluar entah ke mana. Kini ia terbaring sendiri di ranjang mereka berdua. Ranjang terasa dingin tanpa Panji di sebelahnya. Baru satu jam ditinggalkan saja ia sudah begitu merindukan suaminya. Ia tak bisa membayangkan jika sampai terpisah dengannya dalam waktu yang tak bisa ditentukan. Ia tak bisa memejamkan matanya dan akhirnya turun dari ranjangnya keluar kamar menuju ruang tamu di depan.

Entah sudah berapa lama ia berjalan mondar-mandir di ruang tamu. Sesekali menatap ke luar dari jendela, mengintip apakah suaminya akan datang atau tidak. Ia tak berhenti berharap jika Panji segera pulang sekarang. Ia khawatir dan takut terjadi apa-apa dengan suaminya dengan keadaan lelaki itu yang sedang menahan marahnya, apalagi ia tak tahu ke mana Panji pergi. Berbagai prasangka buruk mengganggu benaknya. Ia benar-benar merasa bersalah sudah membuat suaminya marah dan berjanji akan meminta maaf jika suaminya pulang nanti. Ia menyesal terlalu menuruti emosinya yang sedang labil ini.

"Kak... Kamu ke mana, sih? Cepetan pulang! Aku gak tenang sendirian di sini." gumamnya dengan raut gelisah di wajah cantiknya.

Ia kembali mengintip dari balik jendela. Tak ada tanda-tanda Panji akan pulang. Ia memejamkan matanya sejenak. Dengan berat hati ia harus mengatakan jika kemungkinan suaminya tak akan pulang malam ini. Ia mengelus perutnya yang mulai membuncit.

"Kamu rindu ayah kamu? Sama, aku juga merindukannya. Aku menyesal sudah membuatnya marah dan pergi meninggalkan kita. Semoga ayahmu baik-baik saja di mana pun dia berada sekarang dan segera pulang. Sepertinya kamu juga tidak bisa berlama-lama tanpa dia di sisi kita." ucapnya sambil meneteskan air matanya. Ia rindu Panji, dan menginginkannya cepat pulang.

Kembalilah, Kak. Maafkan aku....

Sementara itu di sebuah rumah sederhana, dua orang lelaki tengah duduk bersantai di teras depan yang menghadap ke pekarangan luas di depan rumah. Rokok menjadi teman yang pas untuk menemani malam yang terasa hening ini. Asap putih mengepul dari mulut Panji. Ia menikmati rokoknya yang sudah tinggal setengah. Pandangannya lurus ke depan.

"Wanita hamil biasa, Ji. Harus banyakin sabar. Istriku dulu juga gitu. Sering banget bikin naik darah." ucap lelaki yang 5 tahun lebih tua di sampingnya. Panji kembali menghisap rokoknya.

"Aku tahu apa yang sedang kamu rasakan. Tapi kita sebagai lelaki juga harus menyadari, kitalah yang membuat istri-istri kita menjadi seperti itu. Dia tidak akan hamil kalau bukan karena suaminya yang ikut andil dalam prosesnya. Kita harus ingat kalau apa yang telah kita lakukan saat ini tak sebanding dengan perjuangannya yang mengandung sampai melahirkan dengan susah payah. Kita tak akan pernah merasakan rasa sakit yang dirasakannya saat menghadirkan anak kita ke dunia."

Panji terdiam sejenak mendengar ucapan temannya. Benar, mereka sebagai suami tak akan pernah merasakan sakitnya melahirkan. Mungkin ia tak pernah merasakan bagaimana rasanya ada di posisi Lea yang tengah mengandung anaknya. Apa selama ini ia kurang bersabar dalam menghadapi masa-masa kehamilan sang istri? Lea hamil juga karena dirinya. Ia merenung sejenak.

"Pulanglah, Ji! Kasihan istrimu. Kamu gak khawatir apa meninggalkan dia yang sedang hamil di rumah malam-malam begini?"

Panji langsung menolehkan wajahnya pada lelaki di sampingnya. Ia tiba-tiba saja tersadar. Ia sudah lama meninggalkan Lea di rumah. Seketika ia langsung khawatir dan memikirkan keadaan istrinya. Semarah apa pun ia kepada Lea, ia tak pernah bertahan lama-lama mendiamkan istrinya.

"Terima kasih, Bang." ucapnya sambil menatap lelaki itu. Lelaki itu tersenyum dan mengangguk.

Ya, ia harus segera pulang sekarang. Istrinya sedang begitu membutuhkannya saat ini.

This LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang