Dua garis merah ....
Lea memijat pelipisnya pelan. Tangannya masih memegangi benda pipih itu. Apa ini tidak salah? Ia khawatir akhir-akhir ini karena jadwal menstruasinya mundur sebulan. Ia sudah berpikir ke sana. Lagi-lagi penyakit lupanya tak pernah hilang. Ia kadang lalai meminum pil kontrasepsinya, dan akhirnya menjadi seperti ini. Sekali lagi ia memastikan penglihatannya, tapi tetap saja kenyataannya tak bisa dipungkiri lagi. Ia menarik nafas sejenak.
"Aduhh... Kebobolan lagi." gumamnya pelan. Ia memasukkan benda itu ke dalam saku celananya, lalu keluar dari kamar mandi.
Ia berjalan menuju ruang tengah di mana sang putra sedang bermain di atas karpet dengan beberapa mainannya ditemani siaran televisi yang menyala. Ia terdiam sejenak, mengamati sang putra yang sedang asyik dengan mainannya sambil berceloteh riang dengan bahasa bayinya. Danish mulai memasuki masa aktifnya. Bayi itu mulai tak bisa diam dan sudah mulai bisa duduk juga bergerak ke sana kemari dengan merangkak cepat. Tak jarang Lea dan Panji kewalahan menghadapi anak itu yang selalu mengambil benda apa saja yang dimasukkan ke dalam mulutnya. Danish bahkan pernah memakan bulatan kertas yang entah didapatnya dari mana. Untung belum sampai tertelan dan membuat Lea hampir jantungan saking terkejutnya, takut sampai terjadi apa-apa dengan jagoannya.
Entah bagaimana jadinya jika ia tak segera menemukan anaknya yang menangis kencang dan menemukan ada benda asing yang ada di mulut putranya yang baru ditumbuhi dua gigi di bawahnya. Masih banyak lagi kenakalan-kenakalan putranya yang membuatnya sering mengelus dada. Dan sekarang harus ditambah lagi dengan anggota baru. Ia khawatir dengan kesehatannya nanti jika diamanatkan lagi dua kurcaci lincah dan pandai membuat orang dewasa di sekitarnya pusing tujuh keliling itu. Berbagai kemungkinan-kemungkinan itu membuat kepalanya yang sedang terasa pusing karena rasa mual yang menyerang sejak tadi pagi menjadi semakin mumet. Ia menarik nafasnya sekali lagi.
"Sayang, jangan!"
Belum selesai ia membayangkan tentang apa yang akan terjadi nanti jika seandainya bocah-bocah kecil itu benar-benar berkumpul, ia melihat putranya yang akan memasukkan sebuah mainan robot kecil ke mulutnya. Dengan sigap Lea langsung menghampirinya setengah berlari, langsung diambilnya setengah merampas dari tangan mungil sang anak. Danish yang terkejut saat mainannya direbut ibunya langsung menatap wajah cantik Lea yang diliputi kecemasan. Tak lama bayi 7 bulan itu langsung mengeluarkan tangisnya.
"Huwaaa!!!"
Kepala Lea serasa ingin pecah begitu mendengar suara keras anaknya. Langsung diraihnya tubuh gembul sang anak ke dalam gendongannya. Danish meronta-ronta dalam gendongan ibunya masih dengan tangisnya yang memekakkan telinga. Lea menimang-nimang putranya, mencoba untuk menenangkannya.
"Kita mimik yuk, sayang!" bujuknya sambil membuka kancing atas bajunya dan mengeluarkan sumber makanan putranya.
Danish mengeleng-gelengkan kepalanya enggan. Bayi montok itu masih asyik dengan tangisnya. Wajahnya sudah memerah dan berantakan oleh air mata yang membasahi wajahnya. Lea menghela nafasnya. Baiklah, putranya sedang mengamuk dan ASI yang menjadi pengalihannya yang ampuh kini tidak bisa membantu. Akhirnya ia memutuskan untuk membawa sang putra keluar saja menuju teras rumahnya. Danish masih menangis sambil menjerit-jerit. Anak ini memang tak tanggung-tanggung mengeluarkan suara yang super berisik kalau sudah menangis, membuat Lea ataupun Panji harus menutup telinga jika Danish sudah mengamuk seperti ini.
"Aduh, sayang... Udah dong nangisnya. Maafin Mama ya tadi. Mama cuman gak mau kamu celaka. Itu bukan makanan sayang, bahaya." ucapnya masih sambil menenangkan putranya.
Percuma saja, anak itu tidak akan mengerti. Lea selalu kewalahan jika anaknya sudah mengamuk. Panji-lah yang selalu berhasil menangani putra kesayangannya karena Danish lebih segan dan menurut kepada ayahnya daripada kepada dirinya. Ckck! Padahal ia yang bersusah payah mengandung dan melahirkannya ke dunia ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
This Love
RomanceCinta itu bagaikan angin, tak pernah bisa diatur ke mana arahnya, ke mana dia ingin berlabuh. Kita tak pernah bisa mengatur hati kita untuk jatuh cinta kepada siapa. Lea tak pernah berpikir dalam hidupnya akan merasakan semua ini, merasakan sebuah p...