26. Our Choice

2K 133 5
                                    

Sudah hampir seminggu ini Lea dan Panji tinggal di desa ini. Lea begitu senang berada di sini. Udaranya yang bersih dan segar juga lingkungannya yang ramah dan menerima mereka dengan baik membuatnya betah di sini. Karena tidak enak hidup menumpang dan juga makan yang disediakan gratis oleh keluarga baik ini, Panji berusaha untuk bekerja serabutan karena saat ia menginjakkan kakinya di sini ia dan Lea belum memiliki rencana yang jelas akan kehidupannya di sini, sementara uang dan perbekalan yang mereka bawa akan habis dan tidak mencukupi untuk kehidupan mereka ke depannya jika terus-terusan terpakai. Tak mungkin selamanya mereka akan terus tinggal di sini dengan mengandalkan mereka yang sudah terlalu direpotkan olehnya dan Lea sejak dari mereka menginjakkan kaki di kota ini. Meski mereka bilang tidak apa-apa, tapi mereka tahu diri. Mereka adalah tamu di sini yang harus tahu waktu sampai kapan tepatnya mereka hidup menumpang di sini. Panji selalu ikut suami Widha ke kebun. Kebetulan suaminya itu memiliki beberapa hektar tanah perkebunan yang ditanami oleh sayuran sawi putih, kol, tomat, dan cabai rawit. Di sana Panji ikut membantu menyirami tanaman, memangkas rumput-rumput liar atau gulma di sekitar tanaman, atau memetik buah yang sudah siap dipanen bersama pekerja yang lain. Ada beberapa pekerja di sana yang ikut berkebun. Untuk sementara ia harus rela bekerja sebagai kuli kasar yang sangat bertolak belakang dengan posisinya saat masih bekerja di kantor perusahaan milik ayah tirinya sebelum ia mendapatkan pekerjaan yang lebih cocok untuknya. Ia harus rela panas-panasan di bawah terik matahari, berkotor-kotoran dengan tanah demi untuk bisa bertahan hidup bersama Lea di sini. Meski ia tak biasa dan harus merelakan tubuhnya pegal-pegal setelahnya, apa boleh buat. Ini adalah konsekuensi dari jalan hidup yang telah mereka pilih. Meninggalkan segala kemewahan dan mulai belajar membiasakan diri dengan kehidupan sederhana dan ala kadarnya demi tujuan mereka.

Seperti biasa Lea selalu membantu membuat keripik di sebuah bangunan kecil yang letaknya di belakang rumah ini setiap harinya. Widha membuka sebuah usaha industri rumahan yang memproduksi makanan ringan berupa keripik seperti keripik pisang, singkong, talas, tempe, kentang, dan ubi manis, dan mengemasnya dengan berbagai varian rasa. Ada beberapa pekerja yang hampir semuanya kaum perempuan dan dua orang pekerja lelaki yang bertugas untuk menggoreng bahan-bahan yang sudah dikupas di wajan penggorengan yang super besar. Rata-rata pekerja di sini adalah ibu-ibu muda ataupun yang sudah tua dan juga remaja yang putus sekolah. Widha membantu memberikan lapangan pekerjaan kepada mereka yang tidak bekerja dan daripada berdiam diri di rumah tak ada kegiatan yang berarti selain mengurus rumah tangga, maka lebih baik ia mengajak mereka bergabung di sini. Ada juga yang sambil membawa anaknya yang semakin menambah ramainya suasana di sini. Kadang Lea membantu mengupas, mengaduk bahan yang sudah digoreng ke dalam bumbu, atau mengemasnya ke dalam plastik dengan berbagai ukuran yang berbeda sesuai kebutuhan dan pesanan. Mereka biasa datang pada pukul setengah delapan dan selesai pada jam lima sore dengan upah yang lumayan per harinya.

"Kalian berasal dari Jakarta, ya?" tanya seorang wanita di sebelah Lea. Lea yang sedang mengupas kentang langsung menolehkan wajahnya. Ia mengangguk.

"Iya, Mbak. Kami berasal dari Jakarta." jawabnya.

"Oh. Pantes aja kelihatannya kayak anak kota. Pasti kalian gak biasa ya kerja kasar kayak gini? Orang kota kan biasanya hidup enak, kerjanya santai, cuman duduk-duduk mainin komputer, gak perlu repot-repot berada di tempat yang bau asap dan panas kayak gini." oceh perempuan itu sekenanya. Lea hanya tersenyum kaku. Ada saja orang model begini. Tidak di kantor, tidak di pabrik kecil seperti di sini, pasti ada saja orang yang bicara seenaknya sendiri tanpa memikirkan perasaan lawan bicaranya.

"Gak semua juga, Mbak. Kami gak seperti itu, kok. Buktinya, saya bersedia berada di sini dan melakoni pekerjaan ini." ucapnya santai sambil meneruskan kembali kegiatan mengupasnya. Tetaplah bersabar. Tak ada gunanya juga meladeni orang yang hobi nyablak macam ini, hanya buang-buang waktu saja. Cukup dengarkan saja, tapi jangan dianggap pakai hati.

This LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang