11. Who Will We Be?

1.9K 115 5
                                    

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam, tapi Lea belum bisa memejamkan matanya sama sekali. Ia bergerak gelisah ke kanan ke kiri, hatinya gelisah dan pikirannya menerawang tidak menentu. Ia berbaring telentang dan menatap langit-langit kamarnya.

"Tolong jaga perasaanku."

Kata-kata itu terus terngiang di benaknya. Sampai sekarang sejak pulang tadi bersama kakaknya, ia masih belum bisa mencerna dengan baik ucapan yang penuh makna itu. Jika ia mengartikan ucapan itu sebagai ucapan seorang lelaki dewasa kepada wanitanya, itu sangat gila. Itu tak wajar. Tapi sebagian hatinya dan logikanya menyimpulkan demikian. Apa itu artinya Panji juga memiliki perasaan itu. Lea menggelengkan kepalanya berulang kali. Ini salah, sangat fatal bila diteruskan.

"Ya Allah... Kenapa semuanya jadi rumit kayak gini?" Lea memejamkan matanya sejenak. Rasa kantuk itu tak kunjung datang juga. Lalu ia bangun dari berbaringnya dan meraih ponselnya yang tergeletak di atas nakas samping ranjangnya. Ia membuka galeri di mana ia menyimpan koleksi fotonya. Ia menggeser layar ponselnya, menelusuri deretan foto-fotonya sendiri, bersama teman dan keluarganya. Ia menatap sebuah foto di mana Panji sedang merangkulnya erat dan senyum lebar terbit dari bibir keduanya. Ia ingat, foto itu diambil saat mereka liburan ke taman bunga waktu itu setelah sekian lama mereka menghabiskan waktu berdua untuk pertama kalinya lagi setelah beberapa tahun terpisah oleh jarak dan waktu. Foto yang berlatar kebun bunga mawar yang indah itu menambah sempurnanya potret mereka berdua. Begitu serasi dan mendukung. Beberapa saat ia memandang foto kebersamaan mereka dalam keheningan.

"Kita sama-sama tahu bahwa ini salah, tapi aku tetap sulit mengartikan apa yang sedang kamu rasakan, Kak. Kamu benar-benar membuatku bingung." gumamnya tanpa mengalihkan pandangannya dari potret dirinya dan sang kakak. Tak berapa lama akhirnya kantuk menyerangnya juga. Ia menaruh ponselnya kembali di atas nakas dan menghidupkan lampu tidurnya. Ia turun dari ranjangnya dan berjalan menuju saklar dekat pintu untuk mematikan lampu. Ia berbalik menuju ranjangnya untuk berbaring kembali. Ia menarik selimut untuk menutupi tubuhnya dan mulai memejamkan matanya. Ia berharap esok semuanya akan baik-baik saja seperti sedia kala. Ingin rasanya ia segera menuju ke alam mimpi dan melupakan kejadian hari ini. Hanya dalam mimpi ia bisa bebas mewujudkan semua imajinasinya tanpa ada yang menghalangi atau menentang semua keinginan yang tidak sesuai dengan harapan mereka di sekitarnya.

***

Sekali lagi Lea mengamati penampilannya di cermin riasnya untuk mengecek sesuatu yang kurang. Cantik dan oke! Ia tersenyum puas dan meraih tas selempang warna biru tuanya yang tergeletak di atas meja. Ia memakai sepatu flatshoes yang berwarna senada dengan tasnya dan bergegas keluar dari kamarnya. Begitu ia menuruni tangga, ia mendengar gelak tawa. Sebuah suara yang sudah dikenalnya selama hidupnya. Jantungnya kembali berdetak cepat. Padahal sudah biasanya jika sebuah keluarga berkumpul di pagi hari di ruang makan untuk menikmati sarapan pagi. Seharusnya ia tak secanggung ini. Ia berjalan dengan langkah biasa, berusaha untuk tak terlihat gugup di hadapan mereka, terutama di hadapan lelaki yang kini sedang menatapnya lekat dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ia mengambil tempat duduk di sebelah adiknya, berseberangan dengan Panji yang tak mengalihkan pandangannya sedikit pun darinya, membuatnya agak risih dan tak nyaman ditatap seperti itu.

"Mama udah bilang berulang kali, jangan begadang terus! Tuh mata kamu kelihatan bengkak, jerawat juga jadi pada keluar." ucap Lana sambil mengambil piring suaminya untuk diisi nasi goreng. Ia menegur putrinya yang terbiasa begadang dan khawatir akan kesehatan putri tersayangnya itu. Lea hanya mengangguk saja. Ia mengambil piringnya sendiri dan ikut menyendok nasi goreng ke piringnya.

"Hmm... Boleh tolong isiin punya Kakak?" Lea menatap sebuah piring yang berisi nasi goreng yang tinggal sedikit lagi yang disodorkan oleh sebuah tangan kekar. Ia tahu itu milik kakaknya. Ia hanya mengangguk tanpa menoleh kepada pemiliknya dan mengambil piring Panji serta mengisinya.

This LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang