Suasana ruang makan pagi ini terasa ramai dengan celotehan anak kecil yang menambah hangatnya keluarga itu. Danish tak henti-hentinya mengoceh ria membuat mereka tertawa dengan tingkah lucunya. Bocah itu seakan lupa begitu saja dengan ketakutannya saat kejadian menegangkan kemarin malam.
"Ma, kapan Kakak cekolah agii?" tanyanya kepada Lea yang sedang mengambil nasi dan mengisinya dengan sayur sop untuk suaminya. Gadis itu hanya tersenyum.
"Iya sayang nanti. Nanti kamu akan sekolah lagi. Danish udah gak sabar ya sayang pengen sekolah?" Danish mengangguk cepat.
"Iya, Ma. Angen pengen temu temen-temen." jawabnya. Lea tersenyum mendengarnya.
"Bagaimana kalau Danish pindah sekolah di sini saja? Masukkan saja dia ke taman bermain di daerah sini, sekolahnya bagus, serta fasilitasnya terjamin." saran Lana. Lea terdiam sejenak, lalu mengangguk.
"Iya Ma, nanti akan kami pikirkan lagi. Makasih ya Ma atas sarannya."
Lana hanya mengangguk. Mereka belum tahu kapan akan kembali ke Palembang lagi. Banyak masalah yang perlu diselesaikan segera. Ia dan suaminya belum memutuskan akan kembali ke sini atau tetap menetap di sana, dan mereka juga belum menemui Widha dan Rozak lagi yang sudah membantu mereka untuk tinggal di sana. Semuanya butuh waktu. Mereka mulai memakan makanan di piring masing-masing tanpa suara, hanya celotehan Danish yang masih terdengar riang. Panji hanya diam saja, mengabaikan ocehan putranya. Pikirannya menerawang.
Hati Panji tak berhenti gelisah saat lagi-lagi panggilannya tak terjawab. Sudah kelima kalinya ia menghubungi nomor mamanya, namun tak ada tanda mamanya akan mengangkat panggilannya. Ia menghela nafas berulang kali. Sudah pasti mamanya sangat kecewa padanya setelah ia tak sengaja membentaknya, karena itu ia ingin meminta maaf kepada mamanya. Ia tak akan menyerah sebelum mamanya mau berbicara padanya dan mendengar permintaan maafnya.
"Assalamualaikum. Ada apa lagi?" sapa suara dari seberang sana dengan nada datar.
Panji mendesah lega, akhirnya mamanya mau menjawab panggilannya. Jantungnya berdegup kencang saat mendengar suara datar sang mama, persis saat ia akan dimarahi sewaktu berbuat nakal sewaktu kecil.
"Waalaikumsalam. A-aku minta maaf, Ma. Maafkan aku tadi yang tak sengaja sudah membentak dan menyakiti hati Mama." ucapnya lirih. Hening, tak ada jawaban. Panji sudah gelisah, takut mamanya tak mau memaafkannya karena sudah terlanjur sakit hati.
"Apa kamu benar-benar ingin Mama memaafkanmu?"
Suara lembut itu seakan menjadi angin segar saat ini untuk Panji. Meski masih terdengar datar, tapi setidaknya ini tanda mamanya tidak akan marah lama-lama padanya. Ia mengangguk meski mamanya tak melihat anggukannya.
"Iya, Ma. Apa yang harus aku lakukan agar Mama mau memaafkanku?" tanyanya tak sabar menunggu jawaban sang mama yang menjadi harapannya saat ini untuk mengurangi bebannya yang terlalu berat.
"Kamu datang besok jam sembilan di restoran biasa keluarga kita berkumpul. Mama tunggu di sana!" ucap Siska yang membuat Panji agak heran, mengapa perasaannya terasa tak enak.
Mamanya hanya mengajaknya bertemu untuk bicara empat mata, untuk meluruskan masalah mereka. Tapi ia menepisnya, karena saat ini yang terpenting baginya adalah mendapat maaf sang mama. Apa pun akan ia lakukan agar wanita yang disayanginya itu mengampuninya.
"Baiklah. Terima kasih Ma sudah mau memaafkanku."
Hanya terdengar suara deheman di seberang sana. Tak lama sambungan mereka terputus. Panji menghela nafas lega. Semoga saja mamanya benar-benar sudah memaafkannya, karena ia tak tahan terus dihantui rasa berdosa atas kesalahannya kepada wanita itu.
![](https://img.wattpad.com/cover/158263912-288-k139126.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
This Love
Любовные романыCinta itu bagaikan angin, tak pernah bisa diatur ke mana arahnya, ke mana dia ingin berlabuh. Kita tak pernah bisa mengatur hati kita untuk jatuh cinta kepada siapa. Lea tak pernah berpikir dalam hidupnya akan merasakan semua ini, merasakan sebuah p...