"Yara, aku tidak akan nge-judge apapun tentang kalian. Secara agama hal itu sudah pasti salah karena kalian ini sesama jenis, tetapi masalah hati sulit sekali untuk dipaksakan. Kita terkadang tidak akan menyangka ke mana hati akan berlabuh," ucap Mbak Ningsih seraya memangku bantal dan duduk di sampingku yang bersandar ke tembok kamar. Setelah listrik menyala kembali beberapa saat kemudian kami kembali melanjutkan pembicaraan yang tertunda.
"Hah? Menurut Mbak, aku dan Rain saling suka gitu?" tanyaku seraya menatap Mbak Ningsih dengan mulut sedikit terbuka. Seketika aku merasa ada hal yang menggangguku.
"Iya, berdasarkan dari ceritamu. Rain itu suka sama kamu entah atas alasan apa padahal kalian baru bertemu. Rasanya tidak mungkin deh kalau dia sampai iseng menciummu bahkan sampai mau-maunya ngerawat kamu dan membiayai pengobatanmu. Kamu pun menikmati aja kayaknya saat dia menciummu bahkan mungkin kamu malah ingin dicium lagi ya sama dia? Hahahahaha..." Ish! Dia malah ngeledek aku.
"Si-siapa yang ingin dicium lagi, sih?" sahutku sambil memelankan suara dan menunduk malu. Entah kenapa aku merasa seperti sedang terpergok melakukan sesuatu hal yang tidak seharusnya.
"Kamu yakin? Hmm? Hmmm?" tanya Mbak Ningsih kembali menggodaku sambil memainkan alisnya dan tertawa kecil. Menyebalkan.
"Apaan sih, mbak? Nyebelin ih!" Aku manyun pura-pura ngambek.
"Hahaha.. Kamu kenapa tidak menolak saat dia menciummu? Kenapa kamu tidak marah, minimal menamparnya, deh? Serius nanya nih."
Aku terdiam sesaat, "Aku tidak tahu juga kenapa saat itu aku tidak menolak perlakuan dia atau marah dan nampar dia yang sudah seenaknya mencium aku bahkan itu ciuman pertamaku dan direnggut oleh dia," sahutku sambil menutup mukaku dengan boneka kemudian meletakkannya kembali, "bau apek," imbuhku. Mbak Ningsih merebut bonekanya, "Siapa suruh nyium itu?!"
"Kamu menikmatinya? Ciuman Rain maksudku."
"Ciumannya lembut." Aku tersipu mengingatnya dan sepertinya wajahku memerah.
"Aku tanya kamu menikmati atau tidak, bukan bagaimana ciumannya dia. Eh tapi emang lembut, ya? Berarti dia jago dan menikmatinya juga dong." Hah? Cepat banget sih mengambil kesimpulannya.
"Yah mungkin aku juga menikmatinya sih karena saat itu jujur saja aku tidak ingin hal itu berakhir. Saat dia berhenti menciumku, entah kenapa aku malah merasa sedikit kecewa. Sialnya dia tahu hal itu dan malah menggodaku," sahutku sambil meluruskan kaki.
"Dafa pernah menciummu?"
Aku menggelengkan kepalaku. "Tidak, dia pernah ingin menciumku tapi aku menghindar. Aku merasa ada sesuatu yang mengganjal. Entah kenapa saat itu aku ingat dengan Rain dan merasa seolah-olah aku selingkuh dari dia."
Mbak Ningsih tiba-tiba merubah posisinya menghadap aku. "Semenjak kamu pacaran dengan Dafa, bagaimana perasaanmu? Apa kamu juga merasa seperti sedang selingkuh saat berduaan dengan Dafa?"
"Tidak tahu, aku bingung. Aku merasa aneh saja. Terkadang tanpa sadar aku membandingkan perlakuan Rain dan Dafa. Tapi Dafa dulu baik banget, entah kenapa dia berubah setelah beberapa minggu pacaran apalagi akhir-akhir ini dia sering bersikap kasar seperti tadi siang. Sudah tahu badanku kurus, dia mencengkram lenganku sampai membekas begini. Dibandingkan dengan Rain yang dibalik sikap cuek, jutek, dan menyebalkan itu, dia sebenarnya orang yang baik, peduli, dan perhatian."
"Sekarang bagaimana hubunganmu dengan Rain?" tanya Mbak Ningsih seraya mencondongkan badannya ke arahku, bertumpu pada lengannya yang beralaskan bantal di atas kakinya.
"Entah, dia sepertinya menghindariku. Biasanya dia chat aku untuk sekedar bertanya aku di mana dan menanyakan kabarku tapi chat aku saja sekarang hanya dibaca saja tanpa dibalas. Kalau bertemu pun dia seringkali seperti berpura-pura tidak melihatku. Baru tadi malam aku ngobrol lagi dengannya walau hanya sebentar karena aku langsung buru-buru pergi," jawabku.
"Menghindarimu? Lantas kenapa kamu malah buru-buru pergi tadi? Kenapa tidak kamu gunakan kesempatan itu untuk bertanya dengannya?"
"Aku takut." Aku menarik kakiku dan menekuknya hingga menyentuh dadaku dan meletakkan kepalaku di atas tanganku yang kulipat di lututku. "Saat itu aku kaget dan merasa senang karena bertemu dan bicara lagi dengannya, tapi saat itu juga timbul keinginanku untuk memeluknya. Sesaat aku tersadar dan memutuskan untuk segera pergi sebelum aku gila berada di dekatnya lebih lama lagi."
"Dia mengejar kamu atau memanggil kamu saat kamu pergi meninggalkan dia?"
Aku menggeleng. "Dia bahkan tidak ada menghubungiku lagi setelah kejadian tadi," sahutku sambil tersenyum getir.
Mbak Ningsih mengusap pelan kepalaku sambil tersenyum. "Mungkin dia lagi sibuk atau dia sudah tidur."
Tanpa terasa air mataku menggenang di sudut mata. Seketika aku merasa sesak di dada. "Kenapa aku merindukan dia? Kenapa aku merasa tersiksa dengan sikap cueknya? Kenapa aku merasa nyaman berada di dekatnya meskipun dia bersikap dingin? Kenapa aku sering merasa senang walau hanya melihatnya dari jauh dan merasa tenang mengetahui dia baik-baik saja? Dan aku merasa sedih saat melihatnya murung seperti waktu dia baru pulang dari Jakarta."
"Karena kamu menyayanginya. Kamu menyukainya sebagai seorang perempuan," sahut Mbak Ningsih lembut.
"Aku lesbian maksudnya? Tapi, aku masih menyukai laki-laki, Mbak!" tandasku seraya menatap Mbak Ningsih yang tersenyum padaku.
"Ada yang namanya biseks, Yara sayang. Menyukai laki-laki dan perempuan, nah mungkin kamu begitu. Tapi, aku berharap Rain satu-satunya perempuan yang kamu sukai, tidak akan ada lagi yang lain."
Aku terdiam, aku tidak tau mesti bicara apa lagi. Apa aku benar memiliki perasaan seperti itu terhadap Rain? Bukankah ini salah? Bukankah ini seharusnya tidak terjadi, tidak seharusnya aku merasakan hal ini terhadap seorang perempuan juga yang sama sepertiku.
"Ini salah, Mbak," bantahku.
"Mbak tahu ini salah, tapi Mbak juga tidak menyalahkan Yara. Mbak tidak berhak untuk menentukan salah tidaknya. Jalani apa yang membuatmu nyaman dan bahagia, apapun itu Mbak dukung."
"Makasih, Mbak. Tapi," ucapku sambil menggigit bibir bawahku, "apa Rain juga merasakan hal yang sama? Bagaimana kalau ternyata hanya aku yang merasakan ini?" imbuhku.
"Lantas? Apa itu akan mempengaruhi perasaanmu? Apa perasaanmu akan hilang dalam sekejap kalau saja dia tidak merasakan hal yang sama? Kalau iya, berarti kamu tidak tulus dong karena kamu berharap sesuatu yang lebih. Kalau kamu tulus sayang dengannya, kamu tidak mengharapkan balasan dari dia. Ketika namanya selalu kamu lantunkan dalam doamu hanya untuk kebahagiaannya, saat itulah kamu akan menyadari betapa indahnya menyayangi seseorang dengan ketulusan."
Aku tersenyum mendengar penjelasan Mbak Ningsih.
"Tapi ingat satu hal, kamu sudah punya Dafa. Sekarang apa yang akan kamu lakukan?"
Aku tersentak kaget menyadari ada hal yang aku lupakan. Dafa. Aku mungkin menyayangi Dafa tapi tidak seperti rasaku dengan Rain.
"Entah, Mbak. Aku bingung. Aku sendiri merasa tidak nyaman dengan sikap Dafa yang berubah akhir-akhir ini. Aku sayang Dafa tapi aku juga merasa tidak takut kehilangan dia seandainya hubungan kami ini tidak berjalan dengan baik."
"Apa karena Rain?"
"Bukan karena dia. Mbak tadi lihat sendiri bagaimana perlakuan Dafa. Entah kenapa dia sekarang berubah, bukan lagi Dafa yang dulu." Aku mengambil hapeku dan memeriksa layarnya. Tidak ada notifikasi apapun. "Dia bahkan tidak menghubungiku sejak kejadian tadi siang bahkan untuk sekedar minta maaf."
"Sekedar chat seperti yang biasa dia lakukan juga tidak ada?" tanya Mbak Ningsih heran.
"Tidak ada. Ya sudahlah, sudah larut malam, Mbak. Hampir jam 1 pagi astaga. Besok ada kuliah pagi. Aku pamit, ya. Makasih sudah mendengarkan ceritaku."
"Ugh kirain kamu bakal ngomong sampai shubuh. Akhirnya sadar juga," sahutnya sambil ketawa kecil.
Aku ikut tertawa. "Nanti aku bakal cerita 24 jam non-stop, Mbak."
"Hih! Awas saja. Aku lempar kamu keluar kamar. Sana balik kamar, aku mau tidur. Kamu juga tidur biar mimpiin Rain. Hihihi.." Mbak Ningsih malah menggodaku. Aku menimpuknya dengan bantal sebelum aku beranjak berdiri dan keluar dari kamarnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Back To You (GxG)
General FictionPeringatan : Tidak disarankan untuk yang emosian 😈 Yang penasaran dengan cerita masa SMA dari dua tokoh di cerita ini bisa baca karya berjudul Denial. ➷ 29 Juli 2017 ➹ 1 Februari 2019