38. Father

7.3K 692 52
                                    

Begitu tiba di New York, yang aku pikirkan adalah mengurus cafeku. Walaupun urusan café ada Bunda yang mengurusnya tapi beliau tetap ingin aku terlibat. Jadi, di sinilah aku sekarang, duduk di salah satu pojok café bersama manajer café, James. Cafeku cukup ramai dikunjungi pelanggan, entah untuk pelanggan yang dine in atau take away. Tentu saja konsep di sini hampir sama dengan kebanyakan coffee shop lainnya yang tersebar di kawasan sibuk New York, hanya saja kami juga menyajikan kopi dengan cita rasa Indonesia yang banyak disukai oleh warga negara Indonesia yang merasa rindu dengan kampung halamannya. Bahkan tidak jarang warga lokal pun memesannya karena mereka menyukai rasa dan aromanya.

Segera setelah urusanku selesai, aku pergi menemui Bunda yang sedang sibuk di vintage shop miliknya yang terletak di samping café. Masih ingat kan dengan konsep café ini?

"Renata, nanti temui Ayahmu. Ada yang ingin dia bicarakan denganmu," ucap Bunda sambil menata dagangannya di dalam etalase.

"Ayah bilang kapan dia ingin bertemu denganku?" sahutku sambil mengamati sekeliling. Ada beberapa pelanggan yang sedang memilih-milih dan dilayani oleh pegawai Bunda.

"Dia bilang kamu kabari dia kapan ada waktunya."

"Baiklah," sahutku seraya mengambil ponselku dan segera menghubungi Ayahku. Ada urusan apa beliau mencariku?

"Hai. Kata Bunda, Ayah ingin bicara denganku. Ada apa?" ucapku begitu tersambung dengan Ayah.

"Iya, ada yang ingin Ayah sampaikan. Kamu kapan ada waktu? Bisa datang ke kantor Ayah?"

"Sekarang? Aku sudah selesai dengan urusanku di café."

"Baiklah, sekalian bawakan Ayah kopi dari cafemu ya. Tanya Bunda kalau kamu tidak tahu kopi yang Ayah suka."

"Latte Machiato. Aku tahu Ayah."

"Wah masih ingat, ya."

"Aku akan segera ke sana."

"Okay. Love you, Princess."

"Love you, too, Ayah," ucapku mengakhiri panggilan. Sudah lama sekali rasanya sejak terakhir kali dia memanggilku seperti itu.

Aku memandang Bunda yang tersenyum memandangku.

"Apa sih, Bunda?!" tanyaku malu. Aku dapat merasakan wajahku sedikit memanas.

"Our little princess has grown up," sahut Bunda yang semakin membuatku merasa malu, "kamu nanti malam ada acara? Kita makan malam bersama, ya," imbuhnya sambil tersenyum.

Hah? Kapan terakhir kali makan bersama? Apakah aku akan melewatkan kesempatan ini? Tentu saja tidak!

"Tidak ada. Cuma berdua atau bertiga dengan Ayah?"

"Tentu saja dengan Ayahmu juga. Apa kamu akan membiarkan Ayahmu kelaparan sementara kita akan makan enak?"

"Haha baiklah. Aku ingin menemui Ayah dulu. Bye, I love you, Bunda."

"Love you, too, Princess. Hati-hati."

Aku bergegas pergi ke kantor Ayah yang letaknya 3 blok dari cafeku dengan berjalan kaki sambil membawa kopi pesanan Ayah. Aku menikmati perjalananku seraya mengamati kesibukan orang-orang yang berlalu lalang di trotoar yang memang diperuntukkan khusus pejalan kaki. Sesekali aku mengamati pertokoan yang berjejer di sepanjang jalan yang aku lewati. Aku memasukkan salah satu tanganku ke dalam saku jaketku, cuaca sangat dingin saat ini, 4°C. Maklumlah masih musim dingin. Beanie hat menutupi kepalaku, syal aku lilitkan di leherku agar merasa hangat dan aku memakai kacamata hitamku. Bagaimanapun, aku sudah sangat terbiasa dengan iklim tropis Indonesia. Kapan lagi aku bisa berjalan sesantai ini di tengah kota? Di Indonesia sekalipun cuaca dingin, tidak akan sampai membuatmu mengenakan sarung tangan dan menutup seluruh tubuhmu dengan seksama agar tidak kedinginan.

Back To You (GxG)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang