19 Hati Itu Telah Bercabang

102K 7.3K 557
                                    

Syera mengambil di tangan Erik setengah ragu. "Tapi, Rik. Kalau nganterin gue muter loh. Kayaknya gue naik ojek aja, deh."

Erik melihat ke belakang, terpampang padanya jalanan ke arah kantor Syera yang sesak dengan kendaraan lain. "Iya, sih." Dia menatap istrinya lagi. "Ya udah, pesen ojek online? Aku pesenin."

"Ngga usah. Lama lagi kalau mesti nunggu. Naik ojek biasa aja." Meletakkan helm pada stang motor. "Minta duit. Gue ngga bawa dompet."

Erik mengerutkan keningnya. "Tadi kamu mau pergi sama temen-temen kamu masa ngga bawa dompet." Namun meski heran, Erik tetap mengeluarkan dompetnya.

"Gue emang gitu. Dibayarin dulu, terus nanti gue balikin. Abis kalau bawa dompet suka ketinggalan. Lagian duitnya juga udah ngga seberapa. Akhir bulan, mas." Lalu mengambil begitu saja dompet kulit milik suaminya, melihat jajaran pak Soekarno dan pak Hatta di dalamnya. Wanita itu lantas mengerucutkan bibirnya. "Kok duit lo banyak, duit gue dikit?" protesnya.

Erik mengedikkan bahu. "Kamu gimana ngatur keuangan kamu?"

"Ya mau gimana, orang hape aja belum lunas kreditannya. Terus kemaren beli gelang kredit juga. Terus arisan. Udah dapet di awal, jadi sisanya bagian bayar tiap bulan. Uang yang lo kasih juga cuma cukup buat keperluan rumah satu bulan. Lebih-lebih juga...."

Syera terus saja membicarakan kemana uangnya dihabiskan, sementara Erik mulai memikirkan tentang peraturan keuangan di rumah tangganya yang memang belum pernah ia bicarakan dengan Syera selama ini. Mungkin, dengan kondisi keduanya yang lambat laun mulai saling terbuka, Erik harus mengatur secara serius perihal urusan rumah tangga mereka.

"Syer."

Pria itu menghentikan Syera yang masih saja membicarakan perihal kredit dan arisan.

"Apa?" Wanita itu mengambil dua lembar si merah dari dompet Erik, lalu mengembalikannya pada si empunya.

"Kita bicarakan keuangan kita di rumah."

Syera menyengir lebar. Dia dan Erik sama saja. Jika pria itu membicarakan seks di tempat umum, maka Syera tak sungkan membicarakan keuangan bahkan di lahan parkir sekalipun. "Ya udah, gue per--"

Erik menahan tangan istrinya, lalu mengeluarkan lagi lembaran uang dari dompetnya dan menyerahkan pada Syera. Wanita itu melotot tak percaya dengan jumlah yang Erik berikan. "Buat gue? Ya Allah, suami hamba abis nelen apaan?" Dia menatap Erik berseri, sebelum kemudian cemberut kala mengingat sesuatu. "Ini bayaran buat gue yang nerima tawaran lo buat ena--"

Erik mengetuk kening Syera lumayan keras, membuat wanita itu mendesis sakit. "Biasakan untuk berpikir positif. Lunasi hape kamu. Nanti soal gelang yang kamu beli kita bicarain di rumah." Dia turun dari motornya, menarik lembut pergelangan tangan Syera. "Ayo cari ojek."

Syera menurut, mensejajarkan langkah. Dia memperhatikan suaminya, merasa jika Erik berbeda dengan Erik yang menikahinya beberapa minggu yang lalu. "Rik."

"Hem?"

"Lo ngga semenjengkelkan dulu, ya? Eh kemaren masih ngeselin sih sebenernya."

"Tergantung kamunya aja, Syer. Kalau kamu bikin kesel terus ya aku bakal jengkelin juga." Pria itu menghentikan ojek yang lewat. "Jadi kamu mikir-mikir kalau mau bikin aku kesel."

Syera mencibir. "Udah. Gue duluan."

Erik mengangguk. "Nanti aku jemput jam lima."

"Oke!"

*

Syera berjalan cepat menuju kubikelnya, hendak merampungkan pekerjaan agar jika nanti Erik menjemput, pria itu tak perlu menantinya. Menahan bosan yang menyerang karena tumpukan baris kata di berkas yang ia baca, Syera meraih ponsel yang ia tinggal di laci kerja. Sebelah tangannya membuka layar ponsel, baru kemudian ia menatap benda pipih yang ternyata belum lunas cicilannya itu.

Perfect AgreementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang