Selepas jam makan siang, panggilan ke sekian dari Syera akhirnya Shaka angkat. Membuat wanita itu bernapas lega. Sebentar lagi emosinya akan terluapkan jua.
"Halo. Siap--"
"Yang kamu telantarin di rumah calon mantan mertuanya!!! Shaka kamu gila, ya?!"
Shaka yang duduk santai di balik meja kerja, lantas melihat layar ponselnya. Apa Syera sengaja menelepon dengan nomor lain agar dirinya angkat? Karena jika tahu Syera yang menelepon, Shaka tak akan angkat.
Dia takut mimpinya tadi pagi akan menjadi kenyataan. Meski dia mencintai Syera, bukan berarti ia rela mati di tangan wanita itu. Dia masih ingin hidup lama, agar bisa mengisi singgasana ratu di hatinya yang kosong karena pemilik terdahulu kepincut lelaki lain.
"Syera?"
"Bukan!! Anak setan!"
Syera kemudian melihat ke belakang, memastikan pintu kamar ia tutup rapat. Jangan sampai Vita maupun Kholis mendengar makiannya. Kemudian kembali pada Shaka, menyemprot pria itu lagi dengan semua unek-uneknya. "Maksud kamu apa sih, Ka?! Kamu dendem ya sama aku, sampai harus bawa aku ke sini?! Ngerti ngga sih, aku udah ditolak!! Di-to-lak!! Tapi kena--"
"Syer, aku ngga bisa bawa kamu ke Bandara. Kondisi kamu ngga memungkinkan."
"Ngga memungkinkan apanya?! Aku sakit?! Aku sekarat?! Duh, Ka. Kalau kamu cuma mau lihat aku ngemis-ngemis minta diterima--"
"Kenapa kamu harus mengemis? Kamu ngga perlu ngelakuin itu!"
Apa dia harus menjelaskan pada Shaka jika hatinya kini sudah serapuh kapas? Dia sudah seperti hamba cinta, jika berhadapan dengan Erik. Ya ampun!! Mana mungkin dia menahan diri untuk tidak meminta satu kesempatan lagi pada Erik, kalau laki-laki itu ada di hadapannya? Hatinya sudah begitu lemah menghadapi calon mantan suaminya itu. Jadi dia menghindari hal seperti ini, atau jika tidak ia harus kembali menelan kekecewaan karena ditolak.
"Kamu ngga ngerti! Kamu ... brengsek! Shaka aku bakar mobil kamu!"
Dia menggeram, menekan emosinya agar tak meledak.
"Kamu tau mobilnya belum lunas, Syer!"
Shaka di seberang sana pura-pura memelas. Dan Syera yang kini sudah duduk lesu di atas lantai bersandar di ranjang, sangat tahu jika Shaka tak merasa bersalah sekarang. "Ini ngga lucu, Ka." Mendadak tenaga yang digunakan untuk memaki Shaka menguar di udara.
Dia menunduk, membiarkan air matanya menetes. "Aku ngga siap harus nerima penolakan lagi."
Desah berat Shaka terdengar. "Aku bingung harus bawa kamu ke mana."
Menghapus air matanya, Syera membuang muka pada foto Erik yang terpampang cukup besar di atas meja pria itu. Erik yang selalu menggoda bahkan di gambar sekali pun. "Ke mana? Kamu bilang ke aku mau bawa aku ke bandara! Aku ingetin kalau kamu lupa!"
Shaka malah tertawa. "Aku ngga bisa. Kamu kurang sehat, Syer. Terus ... Itu tangan kamu luka. Tadi pagi sempet aku obatin, ganti plester, karena darahnya merembes. Lukanya cukup dalam. Kamu obatin lagi, takut infeksi."
Syera mengangkat telapak tangan kanannya, melihat plester yang juga sudah dirinya ganti tadi saat mandi. Rasanya memang nyeri atau sangat nyeri. Digenggam sedikit saja darah akan kembali keluar. Tapi bukan ini yang dia obrolkan dengan Shaka. Pria itu selalu bisa mengalihkan pembicaraan. "Ka aku ngga ngomongin luka--"
Tut tut tut!
"Halo. Halo, Ka! Shaka!!" Wanita itu menatap layar ponselnya yang menunjukkan jika panggilannya dengan Shaka sudah terputus. Kembali menggeram, Syera mengangkat tinggi ponsel di tangan kirinya, namun kemudian urung ia lempar saat sadar itu milik Rika. Bisa dipotong dia dengan wanita itu kalau sampai melempar ponsel mahal hadiah dari Richard.

KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Agreement
RandomTak ingin menikah karena dijodohkan. Tak ingin pernikahannya dikontrol oleh orang asing tak dikenal. Pria dan wanita yang tak cukup akur sebagai teman apalagi sahabat ini memutuskan untuk menikah dengan alasan yang sama. Pernikahan yang tak diatur a...