Erik masih diam membaca berulang kali pesan Syera yang bertuliskan permintaan rujuk. Dia bingung harus apa selain menjawab tertawa, karena takutnya Syera bercanda.
Ketika mendapatkan balasan Syera sebelum wanita itu pamit karena dipanggil ibunya, Erik tersenyum kecut. Permintaan rujuk itu memang benar cuma bercanda.
Mengalihkan pandangan ke laptop yang menanti belaian tangannya, mendadak otak pria itu kosong. Dia berusaha untuk hidup normal, mencoba berkencan beberapa kali dengan wanita yang kemudian hanya berakhir pada minggu pertama. Sekarang seorang wanita mendekatinya, tetapi dia sudah tak niat melayan ketika hatinya terus saja mengumandangkan nama si pembohong ulung dan keras kepala itu.
Sialan!
Dia kesal karena tak tahu apa mau hatinya. Ingin Syera menyesal karena sudah menyakitinya, tapi jika ternyata Syera bahagia di sana bagaimana? Ingin Syera kembali padanya, tapi mengapa ia masih ingin melihat wanita itu memohon padanya?
Sialan dua!
Dia kini sedang beradu dengan ego. Berharap egonya kalah, satu sisi berharap egonya menang.
Dia serba salah. Merasa bercerai dari Syera adalah benar. Merasa bercerai dari Syera adalah salah.
Demi Tuhan, dia mencintai wanita itu. Masih. Bahkan sampai sekarang. Tapi dia juga masih terlalu kecewa. Ingin rasanya membalas semua tindakan wanita itu, andai logika dan nurani tak bekerja sama.
Jadi sekarang ia mau apa?
Ego pria memaksanya membiarkan Syera, menunjukkan pada wanita itu dia sudah tak peduli dan sudah tak lagi mencinta. Tapi hatinya ingin bersama lagi.
Dia merindukan wanita itu. Ucapannya, pandangannya, gerakannya, terlebih keras kepalanya. Begitu rindunya, hingga setiap rasa itu datang ia akan membuka foto pernikahannya dengan Syera lalu tersenyum sendiri, tak lama marah sendiri.
"Ck!" Pria itu membuang napas gusar. Dia harus belajar melupakan wanita itu, yang mungkin kini sedang berbahagia menikmati kesendirian. Yah ... meski nyatanya ia tak tahu jika saat ini Syera masih diam di ranjang, menatap balasan Erik yang hanya berupa emot tertawa.
Bibirnya bergetar, pun dengan hati yang rasanya ngilu. Saat debaran jantungnya bergerak kuat karena sapaan singkat Erik tadi, kini rasanya detak jantung mulai melemah dengan tangis yang lagi-lagi mengiringi kesedihannya.
Hingga kemudian pintu kamar diketuk oleh ibunya yang masuk, memergoki Syera menghapus air mata dengan cepat. "Teteh kenapa?"
Syera menggeleng, lalu memeluk sang ibu yang duduk di sampingnya. "Mah ... tiga bulan tuh singkat, ya? Tinggal empat minggu lagi, dan setelah itu teteh nikah. Pisah sama mamah lagi, deh."
"Waktu terus berjalan, teh." Hasna menatap putrinya yang ia rasa jauh lebih kurus dari saat pertama datang. Bagaimana tak kurus, jika makan saja hanya syarat asal makan. Tidur juga, tak lebih dari empat jam dalam waktu 24 jam. "Teteh tau ngga kenapa mamah ngga pernah balas kalau papah marah?"
"Karena mamah ngga mau menyesal kalau udah nyakiti papa."
Hasna tersenyum karena anaknya masih mengingat jawabannya dulu ketika bertanya mengapa Hasna diam saja saat Andra berlaku kasar sebagai suami, meski sampai kini Andra tak pernah memukul istrinya. Pria itu menggembleng anak-anaknya mati-matian, tapi tidak dengan istrinya. Namun ucapan kasar pria itu terkadang jauh lebih menyakitkan.
"Karenanya, mamah selalu bilang. Ngga apa-apa disakiti. Kecewa dan sakit itu berangsur akan hilang apalagi kalau kita ingat kebaikan yang diberi orang yang menyakiti kita. Kayak kemaren, abis marah karena mamah masak keasinan. Malemnya papah beliin mamah martabak mesir. Terus nanyain teteh, udah makan apa belum? Pipinya biru apa ngga? Ya begitu resiko orang yang menyakiti. Menanggung beban penyesalan. Semaleman papah ngga tidur karena mikirin teteh."

KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Agreement
De TodoTak ingin menikah karena dijodohkan. Tak ingin pernikahannya dikontrol oleh orang asing tak dikenal. Pria dan wanita yang tak cukup akur sebagai teman apalagi sahabat ini memutuskan untuk menikah dengan alasan yang sama. Pernikahan yang tak diatur a...