22 Pengakuan

99.4K 8.2K 548
                                    

Syera duduk di ruang tamu, sesekali melihat ke arah jendela, berharap ada sorot lampu kendaraan Erik yang masuk ke halaman rumah. Namun sudah lebih dari dua jam dia menanti, yang melintas hanya lalu lalang kendaraan tetangga. Tepat saat jarum pendek jam nyaris mendekati angka sebelas, sebuah mobil masuk ke perkarangan rumahnya.

Dia ingin membuka pintu dan memastikan siapa yang datang. Tapi menahannya, karena jika itu Erik, ia tak ingin pria itu tahu jika dirinya tengah menanti dengan gelisah.

Pura-pura membaca koran tiga hari yang lalu, Syera tak melirik ke arah pintu yang terbuka dan menampilkan sosok Erik yang kuyu. Pria itu berhenti sebentar di depan pintu dengan kening berkerut, heran mendapatkan Syera yang belum tidur di jam malam seperti ini.

Tapi karena lelah, dia menutup pintu dan menyeret langkahnya masuk ke dalam rumah. Dia tak ingin membuka suara di hadapan Syera, mengutarakan rasa penasarannya terhadap sang istri yang masih terjaga tengah malam begini. Dan tak biasanya duduk di ruang tamu sambil membaca koran. Hal yang patut dicurigai. Tapi Erik sedang tak ingin menebak-nebak sekarang.

Merasa Erik tak menyapanya. Syera mengalah untuk membuka suara terlebih dahulu. "Jadi sekarang kamu juga main sama 'mantan'?"

Pria yang baru Syera tuduh tanpa alasan mendasar berhenti, untuk menatap istrinya dengan kening berkerut dalam. "Maksudnya?"

"Jangan pura-pura ngga tau aku ada di rumah makan itu tadi."

"Ooh. Helen? Kamu lihat?"

Syera menekan kuat rahangnya saat mendengar Erik menyebut nama mantan calon istri pria itu tanpa beban sama sekali.

"Kebetulan aku ngga buta."

Erik mengangguk-angguk dengan wajah lelah. "Oh. Ya udah. Aku mandi, ya? Aku capek."

"Dia hamil anak kamu?"

"Ya ampun!" Erik batal menghindari Syera. "Kapan pikiran kamu itu bersih dari hal-hal negatif, Syer? Serius aku capek."

"Terus tadi kalian ngapain? Reunian?"

Pria itu menarik napas dalam, menerima pertanyaan sarkas Syera. Dia mengusap rambutnya ke belakang, kemudian memijit pangkal hidung, menunjukkan betapa pusingnya ia menghadapi sang istri yang jalan pikirnya tak pernah bersih dari emosi dan ego. "Cuma ketemuan, seperti kamu dan mantan kamu ketemuan."

Erik berbalik, melangkah menjauhi Syera yang terpaku diam. Wanita itu menunduk, merasa ada sesuatu yang mendadak tak nyaman setelah mendapatkan jawaban dari Erik. Rasa yang pernah ia rasakan sebelum ini. Sesak dan sakit.

Matanya memerah, seperti akan menangis. Tapi sebelum hal itu benar-benar terjadi, Syera kembali menyusul Erik yang berada di dapur, menikmati air putih dingin dari kulkas.

Erik yang mendapati eksistensi Syera di dekatnya langsung mengembuskan napas lelahnya. Untuk saat ini dia sangat berharap memiliki mantra untuk menghilangkan manusia.

"Rik."

"Hem?" Erik meletakkan gelas, lalu menyandarkan pinggul pada meja bar di belakangnya. "Kenapa?"

"Kalau kita sama-sama punya pasangan, kita ngga perlu melanjutkan pernikahan ini, kan?"

Pria itu diam, tersenyum miring mendengarkan pertanyaan Syera yang sepertinya keluar tanpa dipikir terlebih dahulu.

"Kamu mau apa, Syer?"

"Aku capek kita berantem terus." Kini mata Syera merahnya semakin parah. Air mata sudah benar-benar mengambang di mata bulatnya

"Kalau gitu ngga perlu berantem."

"Tapi nyatanya kita terus berantem."

"Mungkin karena niat kita nikah udah salah. Makanya dikasih cobaan begini," jawab Erik menahan kantuk.

Perfect AgreementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang