Erik melahap sarapan kesiangannya dengan rakus, karena memang dirinya tengah kelaparan berat. Pukul delapan pagi dirinya dan Syera keluar dari kamar, kemudian menunggu istrinya masak selama dua jam dan berakhir dengan makanan yang tak layak makan. Akhirnya pria itu pergi untuk mencari makanan di rumah makan paling dekat, kemudian membawanya pulang dan makan bersama sang istri.
"Kamu serius ngga bisa masak, Syer?"
Erik membuka suara setelah nasi padangnya hilang, masuk ke dalam perut.
Syera diam sejenak, lalu menggeleng pelan. "Ngga pernah masuk dapur dari dulu. Mama semua yang ngurus soal makan."
"Memang ngga diajarin?"
Erik heran. Karena dirinya yang seorang pria saja, oleh ibunya tetap disuruh masak dulu saat masih tinggal dengan orangtuanya.
Sekali lagi Syera menggeleng. "Papa ngga kasih waktu aku untuk ke dapur, buat sekedar ngiris bawang."
Erik lantas meringis, mengingat wajah ayah mertua yang memiliki brewok tipis dengan kumis pak Raden. Tubuhnya cukup besar untuk seorang pria berusia 58 tahun. Masih gagah, dan garang.
"Rik," panggil Syera, mengundang perhatian Erik yang membayangkan wajah ayah mertuanya yang memang terlihat angkuh itu.
"Apa?"
"Kalau ada apa-apa jangan nelpon ke rumah, lah! Aku ngga mau papa tau."
Kening Erik berkerut. "Aku nelpon mama tadi." Bibir pria itu agak mencebik memperhatikan perubahan air muka istrinya.
"Tapi papa tetep tau." Syera menggeser piring berisi nasi padangnya yang masih tersisa banyak dengan lauk lumayan utuh. "Habisin, ya?" Kemudian berdiri, berjalan ke arah dapur. "Papa tuh orangnya suka-suka dia," lanjut Syera. "Semua hal harus sesuai sama kehendak dia." Wanita itu kembali lagi ke meja dengan tangan yang sudah bersih. "Kalau ngga dituruti atau aku bikin salah atau ngelakuin hal yang ngga dia suka, papa ngga segan-segan buat--" Syera menggantung ucapannya, ragu melanjutkan.
"Buat apa?"
Syera lantas menggeleng. "Pokoknya mah jangan lapor ke sana. Urusan kita, kita selesaiin sendiri."
"Selama kamu bisa diajak kompromi sih, oke!"
Syera mengembuskan napas dari mulut, pelan. Kompromi dengan Erik dan memenangkan argumennya adalah hal yang sulit. Jadi apa itu kompromi atau menuruti semua keinginan suami?
Wanita itu memperhatikan Erik yang melahap makanan yang ia sodorkan. "Rik."
"Apa?" Pria itu melihat istrinya sekilas, lalu kembali fokus ke makanannya. Pria ini memang tak pernah kenal kata kenyang.
Syera memutar gelas berisi setengah air putih di atas meja, dengan tangan lainnya memangku dagu. "Kamu ... kamu masih ada rasa sama He ... Helen?" Rasanya lidah Syera kelu saat menyebut nama yang paling tak ia sukai itu.
Semua wanita bernama Helen itu memang menyebalkan. Buktinya Helen teman kantornya. Tak beda jauh dari Helen mantan calon istri Erik.
Erik menatap Syera, kemudian mengedikan bahu kala wanita di hadapannya menyatukan pandang. "Kalau aku masih ada rasa, yang aku ajak pulang kemarin itu dia. Bukan kamu."
Syera diam masih dengan tatapan yang saling bersirobok. "Yakin?"
"Memangnya jawabanku meragukan, ya?"
Pria itu menggeleng pelan, memilih melanjutkan makannya. Mungkin bercinta membuat otak Syera agak terganggu, sampai menanyakan hal yang tak penting bagi pria itu.
"Terus kenapa kamu masih simpen barangnya dia?"
Suapan yang akan masuk ke dalam mulut Erik melayang di udara, seiring kemudian tawa meledak dari bibir pria itu. Jelas saja Syera merengut tak suka. "Kamu liat yang di laci kamarku?" tanyanya di sela-sela tawa yang menurut Syera tak lucu sama sekali. "Ya ampun!" Erik meneguk segelas air hingga tandas, lalu membersihkan mulut dengan tisu. "Kapan kamu lihat?" Pria itu mencoba meredakan tawanya, sebelum kemudian benar-benar bertanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Agreement
AléatoireTak ingin menikah karena dijodohkan. Tak ingin pernikahannya dikontrol oleh orang asing tak dikenal. Pria dan wanita yang tak cukup akur sebagai teman apalagi sahabat ini memutuskan untuk menikah dengan alasan yang sama. Pernikahan yang tak diatur a...