3

477 30 7
                                    

Siang ini, Cessa pulang sendirian tanpa Maya. Maya sudah terlebih dulu dijemput orang tuanya. Sambil menunggu, Cessa memikirkan kejadian kemarin. Sepertinya dia terlalu jahat kepada Reyno. Reyno kan menolongnya, lalu kenapa dia marah?

Cessa merasa bersalah pada Reyno. Pagi ini saja, Reyno yang biasanya meminjam buku PR kepadanya malah meminjam buku PR Archi. Tepat di depan mata Cessa, Reyno mengobrol dengan Archi dengan tawa yang terus menghiasi bibirnya.

Entah mengapa, Cessa yang melihat itu sedih. Padahal memang itu salahnya sendiri.

"Hey. Bengong aja." Sapa Celine.

"Eh kaget!"

"Bengongin apa sih.."

"Mikirin kamu nih." Sedetik kemudian Celine mendelik geli.

"Minta dirobek tu mulut ye." Cessa tertawa.

"Eh lu belom pulang? Tumben amat biasanya paling cepet pulang."

"Abis latihan dance sama Xira, Greyna, Billa."

"Oh, pantes." Memang Celine dan kawan-kawannya itu sering mengisi acara di sekolahnya.

"Eh tu bokap gue udah jemput, duluan ya!" Ucap Celine lalu berlalu pergi.

"Iya hati-hati!!" Dan Cessa sendirian lagi.

TUK.

Bola basket berwarna oranye yang menggelinding mengenai ujung sepatu Cessa. Cessa memungut bola itu dan melihat sekeliling. Tidak ada siapa-siapa.

"Woi, Cessa. Denger-denger, lo jago basket ya?" Ucap seorang gadis dibelakangnya.

"Gak juga sih. Masih belajar kok." Cessa tersenyum tipis sedangkan gadis dibelakangnya itu menatapnya tajam. Salah gue apa?!

"Gue tantang lo buat lawan basket sama gue." Kata gadis itu.

"Maaf sebelumnya, lo siapa ya?"

"Gue Rivanya. Panggil aja Vanya."

"Tanding basket lo bilang? Maaf bentar lagi gue mau pulang." Tolak Cessa sopan.

"Gak sekarang kok. Besok pas pulang sekolah. Lo ekskul basket kan? Gue juga, jadi besok ayo tanding." Tantang Vanya.

"Yaudah, besok kan? Gue pulang dulu." Vanya pergi dan Cessa pun berlari kecil ke mobil jemputannya.

- - - -

"Archi, lo tau Vanya gak?" Tanya Cessa langsung ketika memasuki kelas.

"Tau, emang kenapa, Ces?"

"Kemaren dia ngajakin gue tanding basket. Dia tuh siapa sih, kok gue gak pernah liat?" Tanya Cessa penasaran.

"Dia itu seangkatan sama kita, dia pas itu gak ikut MOS makanya lo gak pernah liat. Tapi dia itu jago banget sama yang namanya basket. Dan pas gue cari tau sih dia itu sombong. Terus yang lebih unggul dari dia dalam bidang apa pun bakal dia singkirin." Jelas Archi panjang lebar.

"Jadi? Gue harus gimana nanti tanding basket sama dia?"

"Mendingan lo ngalah dari pada di kejar terus sama dia."

"Oke deh." Setelah itu obrolan mereka terputus karena Reyno mengajak Archi bicara.

Cessa hanya tertegun dan berniat untuk membuka obrolan dengan Reyno. Tapi Reyno yang memakai jaket hitam, kemeja dikeluarkan, serta rambut acak-acakan khas baru bangun tidur itu membuat hatinya berdegub tidak karuan.

- - - -

"Yang namanya Cessa bisa dong langsung ke lapangan outdoor." Tiba-tiba Vanya berteriak dari lapangan tetapi masih terdengar hingga ke kelas Cessa, padahal jaraknya begitu jauh.

Cessa menghampiri Vanya dengan jersey basket yang sudah melekat pas ditubuhnya, begitu juga dengan Vanya. Banyak penonton di pinggir lapangan karena ingin menyaksikan pertandingan satu lawan satu itu. Pertandingan yang sangat sengit. Cessa sudah berkeringat. Bukan karena dia takut, melainkan Reyno juga berada di alun-alun lautan penonton itu. Malah Reyno yang paling depan.

Pertandingan dimulai. Dua puluh menit pertama skor diungguli oleh Cessa dengan skor 12 - 5, suporter-suporter semakin ricuh.

"CESSA PASTI BISAA!!"
"SEKOLAH KITA GAK AKAN KALAH DENGAN ANAK PINDAHAN!!"
"CESSA SEMANGATTTT!!!!"

Dari semua teriakan itu sama sekali tidak ada suara Reyno. Hanya suara teman-temannya yang sudah histeris di barisan paling depan.

"Mendingan lo ngalah daripada di kejar terus sama dia."
Tiba-tiba omongan Archi terlintas di benaknya, Cessa melamun sebentar lalu bola direbut oleh Vanya. Cessa sedang tidak fokus. Dia memutuskan untuk mengalah dan membiarkan menit terakhir dimenangkan oleh Vanya.

Di akhir pertandingan Vanya menyombongkan dirinya dengan melakukan three point, sayangnya serangan Vanya itu tidak masuk dan malah membuat malu dirinya sendiri. Kemudian Vanya menghampiri Cessa.

"Gue lebih unggul kan? Sekarang lo gak usah deh sok-sokan ikut basket lagi. Lo gaada apa-apanya." Ucap Vanya sinis. Cessa hanya mengacuhkannya lalu pergi, tidak berniat untuk membuat kericuhan.

"Heh, Cessa!" Panggil Vanya.

BUK.

Bola basket mengenai hidung Cessa dengan sempurna. Hidung Cessa sudah megeluarkan darah.

"Vanya!!! Keterlaluan lo!!" Cessa menyadari, itu suara Reyno. Lalu semuanya gelap.

- - - -

Saran dari pembaca sangat dibutuhkan nih.. please support ya makasih banyak semuanya yang udah rela vote and comment!!

Rewrite The Scars ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang