40

197 13 3
                                    

Altera membolak-balikkan album foto di tangannya. Hanya ada beberapa foto dirinya saat berumur dua belas tahun, tanggalnya tepat sebelum dia pergi dari rumah dan kecelakaan Alegra. Matanya menangkap sosok lelaki, yang di duga adalah ayahnya. Altera tidak pernah menanyakan tentang ayah pada ibunya, lagi pula Vera tidak pernah bercerita. Tetapi kemudian otaknya memutar ulang kejadian beberapa waktu yang lalu, saat dia pertama kali datang ke rumah ini lalu dituduh sebagai penyebab kematian Tero. Siapa Tero sebenarnya?

"Ma, Tero itu siapa?" Tangan di gelas Vera jatuh dan pecahan kacanya langsung berhamburan di lantai. Matanya menatap Altera dengan pandangan kosong.

"Dia ayah kamu."

Tentu Altera terkejut sebelum bertanya, "Kenapa Altera dikatakan pembunuh Tero sama nenek?"

"Waktu itu kamu kabur dari rumah, mama telfon papa yang lagi tugas dinas di Dubai. Tero kecelakaan pesawat."

Altera menutup mulutnya dan menetralisir kerja jantungnya. Ayahnya meninggal, dan itu karenanya.

"Terus Arti? Kenapa Altera disalahin atas penyakit dia?"

"Semenjak tahu papa kecelakaan pesawat, keadaan dia semakin buruk. Mama mohon jangan bahas ini lagi, ya?" Pinta Vera dengan mata berkaca-kaca.

"Kapan Altera bisa ketemu Arti." Setitik harapan mucul dalam mata ibunya itu.

"Secepatnya."

Nyatanya memang bahagia itu sederhana, hanya satu kata itu pun dapat membuat Altera tersenyum. Seperti apa wajah adiknya?


- - - -


Hari demi hari berlalu, rasanya baru saja kemarin ia jatuh cinta pada Jovan. Tetapi mengapa sekarang Jovan seperti menjauh? Apakah Hans memberitahukan tentang perasaannya pada Jovan? Altera tidak mau jatuh cinta lebih dalam lagi. Tetapi hatinya berkata lain. Semakin Jovan menjauh, semakin rindu itu terasa berat mengganjal hatinya. Tetapi dia bingung akan kehadiran Alegra, apakah dia mencintai dua hati?

TOK

TOK

TOK

Altera bergegas membuka pintu. Dia tahu siapa yang datang, Alegra-nya.

"Hai!! Nih buat kamu." Cowok itu menyerahkan sebuket bunga mawar hitam di tangannya. Alegra tahu, itu bunga favorit Altera. Bahkan setelah koma dia masih ingat.

"Makasih, ya! Aku suka banget! Ayo masuk."

"Mama kamu di mana?"

"Tadi sih katanya mau arisan sama temen-temennya."

"Kalau nenek?"

"Tadi pergi juga, tapi aku gak nanya kemana."

"Kangen aku gak?"

"Kangen banget! Kamu koma kok bisa lama gitu? Terus kok kamu bisa nemuin aku di cafe itu? Terus kamu kok bisa langsung balik ke Indo?"

"Tunggu, nanyanya satu-satu dong, kebiasaan ya." Alegra mencubit hidung Altera pelan. Perlakuan manis itu membuat tubuhnya merinding seketika.

"Yaudah ayo cerita semuanya."

"Aku sembuh itu udah lama, cuma aku lupa ingatan dan karena itu aku sedikit gila," Alegra tertawa sebelum melanjutkan ceritanya. "Karena aku frustasi, mama bilang ke orang-orang terdekat aku kalau aku masih koma. Nah, beberapa bulan yang lalu aku sembuh, aku ingat semuanya. Aku mulai pergi ke Indonesia dan cari kamu berdasarkan alamat rumah yang mama aku kasih. Dan disitu aku ngeliat kamu jalan sama cowok makanya aku gak samperin dan berusaha ngikutin dari belakang."

"Oh, jadi yang aku liat di cafe beberapa bulan lalu itu kamu? Yang sama cewek itu?"

"Iya, dia temen aku di sana, dia calon dokter yang ngebantu aku balikkin memori itu."

"Kenapa kamu cepet ya, balikkin ingatan. Bahkan sampe sekarang ada potongan cerita hidup aku yang belum aku tahu."

"Ada yang gak bisa diubah di hidup ini. Yaitu takdir."

"Iya aku tahu, tapi kenapa?"

"Mungkin Tuhan tidak ingin kamu sakit lebih dalam."

"Kamu tahu gak penyebab aku kabur dari rumah yang bikin kamu koma dan... papa aku meninggal, serta penyakit Arti yang memburuk?"

"Hah?! Om Tero meninggal?" Ucap Alegra dengan rasa kaget yang begitu nyata.

"Kecelakaan pesawat, karena aku." Altera menangis, hanya di depan Alegra dia bisa bercerita bebas seperti sekarang ini.

"Jangan salahin diri sendiri, Ter. Mungkin itu emang udah takdirnya." Alegra merengkuh Altera. "Udah jangan nangis lagi."

"Jadi apa alesannya?"

"Kamu kabur dari rumah waktu itu karena gak kuat dengan sikap mama kamu yang tiap hari pulang larut ke rumah dalam keadaan mabok."

"Apa mama dulu sebejat itu?"

"Sekarang dia udah berubah, Ter."

"Banyak hal berubah."

"Apa perasaan kamu berubah ke aku?" Altera membeku di tempat, pertanyaan itu seakan memerangkap dirinya sendiri dalam penjara.

"Gak berubah, aku masih sayang kamu." Altera menjawab, walau nyatanya ia masih ragu.

- - - -

TING

Altera membuka aplikasi line-nya karena notifikasi pesan di ponselnya. Matanya terbelalak seketika.

Jovan

Gue boleh call lo ga?

Gue mau nanya

Penting banget

Altera Devinci

Ya

Altera menyiapkan mentalnya ketika Jovan sudah menelponnya, yang harhs dia lakukan hanya mengangkat panggilan itu.

"Halo, lo denger suara gue kan." Iya Altera mendengarnya, suara yang selalu membuat hatinya loncat-loncat tidak karuan.

"Iya."

"Jadi gue mau nanya, kalo misalnya lo temenan sama si A terus lo suka sama si B, nah tiba-tiba temen lo si A suka sama si B juga dan pacaran sama si B. Gue mau bantu temen gue, lo menjauh gak kira-kira?"

"Kalo lo kuat ya kenapa harus menjauh."

"Dia gak kuat, oke deh thanks ya, Dev."

"Ya." Telfon pun dimatikan.

Walau hanya telfon singkat, Altera merasa sangat bahagia. Setidaknya dia bisa mendengar suara Jovan yang selalu berhasil membuat Altera tenang. Dan, Devinci. Itu yang membuat Altera merasa dispesialkan oleh Jovan, Jovan selalu memanggilnya menggunakan nama belakang, Devinci. Sekarang dia bingung, kemana hatinya berlabuh?

Seseorang bisa pergi juga jika kehadirannya tidak dihargai, kan?



- - - -

next part bakal seru!! stay tuned

vote comment down bellow!

Rewrite The Scars ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang