20

247 12 0
                                    

"Kamu ke mana aja? Mama kan udah bilang, hari ini kita ke rumah nenek." Interogasi Vera saat Altera baru saja membuka pintu rumah berbahan kayu itu.

"Altera kan ketemu sama Jovan."

"Dari pulang sekolah sampai semalam ini?" Memang tidak wajar jika Altera baru pulang jam sepuluh malam karena bertemu Jovan. Tapi Altera tidak mungkin bilang jika dia bertemu Mahesa.

"Kamu ketemu Mahesa? Mama dengar, dia ada di Jakarta."

"Iya?! Kak Mahesa di Jakarta?!" Altera hanya pura-pura antusias agar Vera tidak curiga.

"Kamu jangan pernah ketemu Mahesa. Besok mama jemput kamu di sekolah, besok kita ke rumah nenek." Altera mengangguk lemah dan berjalan naik ke kamarnya di lantai dua.

Altera duduk di tepi kasur, sebelumnya dia tidak lupa untuk mengunci pintu kamarnya. Dia tidak ingin siapapun melihatnya dengan keadaan lemah seperti ini. Altera membuka tasnya dan mengambil amplop putih tadi, dia membaca kata per-kata yang tergores di kertas putih itu. Lagi-lagi dia menjatuhkan air matanya, mungkin Altera harus membiasakan diri. Karena di hari-hari selanjutnya, Altera akan terbentuk lewat air-air mata yang tertumpah itu.

- - - -

Altera memandangi pantulan tubuhnya di cermin, masih dengan raut wajah yang sama. Sendu dan menyedihkan. Altera memoles sedikit bedak di bawah matanya agar kantung matanya yang semakin hitam itu tersamarkan.

"Lo bisa, Altera." Semangatnya kepada dirinya sendiri, walau itu tak akan memberikan efek apa-apa pada dirinya.

Altera berjalan menuruni tangga, di meja makan sudah terlihat mamanya yang menunggunya untuk sarapan bersama. Belum menyadari keberadaan Altera, Vera membuka surat beramplop hitam di tangannya. Tak lama kemudian Vera menangis.

"Ma?" Vera terlonjak kaget dan langsung buru-buru memasukkan surat tersebut ke dalam tas tentengnya dan menghapus air mata yang menjejak di sana.

"Itu surat apa?"

"Bukan apa-apa."

"Kalo bukan apa-apa, mama kenapa nangis? Altera gak suka liat mama nangis."

"Ini surat kantor, sayang. Temen mama lagi berduka." Altera hanya ber-oh ria dan tidak berniat untuk membuka suaranya lagi.

"Nanti kita kerumah nenek ya?" Altera hanya mengangguk, dia benar-benar tidak mood berbicara saat ini.

"Nanti mama jemput kamu dari sekolah ya."

"Iya ma." Setelah itu tidak tedengar suara lagi selain dentingan sendok dan garpu.

Selesai sarapan, Altera berangkat dengan supir sementara Vera dengan mobil pribadinya. Altera melihat Vera sangat terburu-buru dan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi di depannya. Altera hanya menggeleng, berniat untuk menghilangkan pikiran negatif yang bersarang di kepalanya. Meski pikiran itu tak kunjung hilang.

Banyak pasang mata yang menatapnya ketika dia sudah memasuki gerbang sekolah ber-cat putih tulang itu. Mungkin mereka semua bertanya-tanya dalam benaknya ada apa dengan Francessa Adeline atau Altera Devinci yang ceria itu. Wajar saja, memang Altera tidak menyungingkan senyum sama sekali. Lama-lama hati Altera semakin hancur melihat Xira dan Reyno yang sedang bergandengan tangan tepat di depannya.

"Permisi." Altera langsung menerobos jalan dan berlari kencang menuju kelas sambil menumpahkan air matanya.

Kebetulan kelas sedang kosong jadi Altera bisa puas menangis dan berteriak di dalam sana. Altera menghapus air matanya kasar dan langsung duduk di tempat duduknya sambil menenggelamkan kepalanya di antara kedua tangannya.

Air mata sialan.

- - - -

"Halo, kak. Kenapa telfon?"

"..."

"Hah? Gak bisa sekarang, Altera ada janji sama mama."

"..."

"Hah? Dia kenapa?"

"..."

"Gak!! Gak mungkin!!"

"..."

TUT.

Panggilan itu Altera matikan sepihak. Dia tidak bisa menerima kenyataan pahit itu bertubi-tubi. Tak lama terlihat mobil hitam milik ibunya melaju ke arahnya dan kemudian berhenti tepat di depannya. Altera masuk ke dalam mobil tanpa suara. Saat air matanya kembali terjatuh, dia mengalihkan pandangannya ke arah luar.

"Gimana sekolahnya?"

"Biasa aja, gak ada yang spesial."

"Apa kabar sama Reyno, Reyno itu?"

"Dia? Udah mati."

"Kamu punya masalah sama dia? Cerita sama mama."

"Gak bisa. Mama juga gak mau cerita tentang Alegra."

"Mama udah ceritain semua yang mama tahu." Vera menepikan mobilnya di pinggir jalan.

"Apa lagi yang kamu ingin tahu?"

"Keadaan Alegra, yang sekarang." Altera sengaja menekankan kata 'sekarang'

Vera sedikit tertegun tapi berusaha menetralkan raut mukanya. "Keadaan Alegra semakin parah." Altera lagi-lagi menangis.

"Udah, Ter. Mama udah cukup liat air mata kamu. Sekarang jalanin semuanya seolah-olah kamu gak pernah tau, oke?"

"Altera gak bisa. Altera pengen pulang."

"Yaudah, minggu kita ke rumah nenek. Gak bisa dibatalin lagi." Altera tidak menjawab, hanya terdengar suara radio yang terus berkicau di dalam mobil. Mungkin sekarang lebih baik seperti ini.

- - - -

Cihuyy double update!!!

Rewrite The Scars ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang