47

156 7 0
                                    

Sepulang mengantar Altera, kepala Reyno terasa sangat sakit hingga dia pingsan di tepi minimarket. Beberapa orang langsung mengevakuasinya ke rumah sakit dan menelfon ibunya. Kebetulan memang kontak ibunya dibuat sebagai panggilan favorit. Sekarang di sinilah dia, terbaring lemah di atas brankar rumah sakit ditemani sang ibu yang sudah menangis sejak datang ke situ.

"Ma, udah dong nangisnya. Entar kalo Reyno gak ada siapa yang nenangin mama? Papa kan sibuk kerja."

"Ma, tau gak sih. Reyno lagi deket sama cewek. Cantik, tapi sayang galak kayak singa betina gak dikasih makan. Tapi Reyno bingung, entah Reyno suka dia atau sayang dia atau bahkan cuma takut kehilangan. Tapi rasa takut kehilangan itu rasa sayang kan ma?" Tangis ibunya berhenti, dia sangat antusias membahas tentang pasangan anaknya.

"Siapa namanya? Kenalin ke mama."

"Namanya Altera Devinci dan Francessa Adeline."

"Loh, kamu deket sama dua cewek?"

"Bukan gitu ma, mereka orang yang sama."

"Maksudnya?" Reyno menjelaskan semuanya secara detail sedangkan yang diajak bicara hanya mendengarkan dengan antusias. Sudah lama anaknya tidak bercerita seperti ini. Bahkan mungkin tidak pernah menyangkut tentang wanita yang disukainya.

"Menurut mama gimana?"

"Reyno, ada hal yang gak bisa diubah di dunia ini. Takdir kamu dan rasa kamu. Kamu mau gimana? Menciptakan luka di hatinya sekarang atau nanti?"

"Nanti. Reyno gak mau liat dia nangis karena Reyno lagi. Reyno gak mau egois lagi. Reyno gak mau salah langkah lagi."

"Itu keputusan kamu, dan ada beberapa konsekuensi yang kamu harus tanggung. Semua keputusan ada konsekuensi."

"Dokter bilang apa, ma?"

"Kemungkinan kamu hidup hanya beberapa bulan lagi."

"Ma, kalo gak ada Reyno jangan telat makan terus, jangan kerja terlalu capek, jangan tidur terlalu malem, jangan mikirin Reyno terus. Reyno pasti bahagia di sana, ma."

"Iya, mama tahu Reyno bakal bahagia." Air mata Reyno mencelos. Sudah lama dia tidak menangis. Dia menangis bukan karena dirinya sakit luar dalam, melainkan karena melihat orang lain terluka karena dirinya.

"Eno jangan nangis, mama bakal selalu ada di sini."

"Ma, Reyno mau nangis. Gak bakal jadi banci kan?"

"Gak, sayang. Lelaki itu menangis bukan karena dia lemah tetapi itu menunjukkan kalau dia masih punya hati."

Benar kata ibunya. Perasaan Reyno sangat halus. Berbanding terbalik dengan tampangnya. Reyno, adalah nama yang akan kita semua rindukan nantinya. Terutama rindu Altera.

- - - -

"Mahesa. Mahesa buka pintunya. Gue gak akan pergi sebelum lo denger penjelasan gue!" Retha menggedor-gedor pintu apartemen Mahesa.

"Apaan sih, Reth. Pergi! Gue gak ada rasa sama lo. Gak berminat."

"Setidaknya lo denger penjelasan gue dulu, Sa. Buka pintunya!" Mahesa akhirnya membukakan pintu, dia tidak mau tetangganya terganggu dan membuat masalah karena cewek di hadapannya ini.

"Sa, gue bener-bener minta maaf soal adik kesayangan lo itu, tapi tolong denger penjelasan gue dulu."

"Gue denger."

"Pertama emang gue benci sama Altera terus Vanya tahu dan kemudian dia ajak gue kerja sama untuk buat kapok Altera, biar dia gak deket-deket lo lagi. Dan kemudian gue sadar, Vanya udah terlalu sadis buat Altera menderita. Beberapa kali gue udah coba buat nentang Vanya. Tapi tetep aja dia keras kepala. Tolong maafin gue, Sa."

"Lo gak perlu minta maaf ke gue. Silahkan ngomong ke Altera."

"Gue udah ngomong ke dia kemaren. Sekarang tinggal maaf dari lo."

"Kalo dia maafin, gue gak punya alasan buat tetep marah."

"Makasih, Sa." Saking senangnya Retha reflek merentangkan tangannya, ingin memeluk Mahesa.

"Maaf bukan berarti kita deket!"

"Oke, maaf reflek."

"Gak ada urusan lagi kan? Pintunya ada tepat di belakang lo." Retha tersenyum miris.

"Oke, gue akan pergi. Makasih ya udah maafin gue. Gue harap kita bisa jadi teman walau rasa lo gak bisa lagi sama." Retha berbalik, berniat untuk pergi.

"Reth, tunggu. Lo bisa peluk gue. Terakhir kali."

Retha tersenyum lebar kemudian memeluk Mahesa. Menumpahkan segala rindu dan kesesakkan batinnya selama ini. Walau pelukan Mahesa dingin, Retha tahu ini semua karena salahnya. Retha melepaskan pelukkannya kemudian pergi tanpa kata-kata.

"Maafin gue juga, Reth."

- - - -

Sudah lima hari sejak kejadian Altera menolak cinta Alegra. Lima hari pula Altera tidak dihubungi oleh cowok itu. Lima hari pula Alegra tidak datang ke rumahnya walau hanya sekedar mengantarkan martabak manis coklat kesukaan Vera. Altera khwatir, takut terjadi sesuatu pada Alegra. Karena Altera mengenal Alegra, Alegra nekat, dia ambisius untuk mendapatkan sesuatu yang dia inginkan. Terkadang cenderung memaksakkan.

"Ma, mama tahu Alegra di mana? Udah lima hari dia gak kabarin Altera."

"Mungkin dia sibuk, khawatir banget kamu. Sayang banget ya sama dia?" Altera diam, dia tidak ingin pusing untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ibunya yang tak kunjung berhenti untuk kedepannya.

"Mama coba telfon mamanya Alegra boleh? Atau mau Altera yang telfon?"

"Orang tuanya Alegra kan di Canada. Gak mungkin mereka tahu Alegra di mana. Coba kamu hubungin Alegra lagi, siapa tahu diangkat."

"Oke, aku coba." Panggilan telfon itu pun terhubung.

"Alegra, lo di mana? Kenapa gak kabarin gue?"

"Gue lagi pengen sendiri selama beberapa hari. Jangan telfon gue dulu ya, bye." Panggilan terputus. Walau hanya jawaban singkat, setidaknya Altera tidak khawatir lagi. Dia tidak ingin orang lain terluka, apalagi karena dirinya.


- - - -

end part brp nih?

vote n comment!

Rewrite The Scars ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang