11

340 17 2
                                    

Maya yang melihat gerak gerik aneh temannya itu pun mengalihkan pemandangannya. Saat melihat cowo yang sedang tertawa bersama cewe di salah satu kursi di cafe itu, emosinya kian memuncak dan berniat untuk melabrak mereka. Tetapi baru satu langkah di jalan, Cessa menahan tangannya lalu menggeleng pelan. Maya atau siapa pun di sana pasti bisa melihat kekecewaan yang mendalam tersirat di balik mata kecoklatan Cessa.

"Kalian kenapa sih? Kok kita gak duduk, udah kayak orang udik rasanya jadi patung di depan pintu doang." Reyno menyenggol tangan Rafi yang tidak mengerti keadaan.

"Weh, Cessa pucet banget. Kayaknya kita mending pulang aja deh ya." Cessa berterima kasih kepada Maya lewat mata.

"Yaelah laper gue nih."

"Yaudah kita makan di tempat lain aja. Di sini ga halal, kan Archi gak bisa makan makanan yang gak halal."

"Yaudah mau di mana?"

"Di sebrang aja tuh biar gak jauh." Mereka berempat mensetujui usulan Celine.

"Apa yang lo sembunyiin, May?" Tanya Reyno.

"Gak ada."

"Gue tahu itu, kalo enggak, kenapa tadi tiba-tiba berhenti?"

"Cessa pusing tadi tapi sekarang udah engga, itu doang."

Reyno tahu bukan itu yang Maya dan Cessa sembunyikan tapi kelak Reyno juga akan mengetahui apa yang seharusnya diketahui. Kenapa Reyno merasa peduli kepada Cessa. Kenapa setelah kejadian kemarin pagi, Reyno tidak takut kepada Cessa. Hanya waktu dan keadaan yang bisa menjawab itu semua.

Ponsel Cessa berbunyi menandakan pesan masuk. Cessa merogoh kantong celananya dan mendapatkan pesan dari nomor tak dikenal.

From: xxxxxx56890

Gimana kabar lo, Cessa?

Dari Alegra

Deg.

Jantung Cessa rasanya ingin berhenti saat itu juga. Entah kenapa ini rasanya tidak mungkin. Apa benar Alegra dapat kembali hadir di sisinya? Cessa tidak memedulikan pesan itu dan hanya berlalu pergi ke cafe seberang. Seolah tau gerak-gerik Cessa, Maya menghampirinya.

"Dari siapa?"

"Gak tau, salah sambung kali." Maya hanya ber-oh ria saja.

Alegra, lo di mana?

- - - -

"Bye, Cess. You sure, you alright?" Maya sangat khawatir jika orang tua Cessa marah besar, Cessa hanya mengangguk pelan dan melambai saat mobil Reyno sudah meninggalkan pekarangan rumahnya.

Jujur saja ada sedikit ketakutan untuk mengetuk pintu rumahnya itu. Tapi sepertinya tidak akan ada yang terjadi memgingat tidak ada satu pun anggota keluarganya yang mencari keberadaan dirinya. Cessa membuka pintu utama dengan sepelan mungkin.

"Kamu dari mana aja?" Interogasi ibunya saat Cessa masuk.

"Aku pingsan di sekolah terus dibawa ke rumah sakit."

"Pingsan doang langsung ke rumah sakit? Dapet uang dari mana kamu?"

"Temen aku patungan buat bayarin. Aku kan gak mungkin punya uang." Jawab Cessa setenang mungkin, jika dia memberi tahu yang sejujurnya, pasti uangnya akan diambil oleh ibunya itu untuk keperluan rumah tangga mereka.

"Yaudah, sana kamu belajar. Jangan nulis blog, atau engga laptop kamu mama sita. Mama mau ke salon, nanti papa kamu bentar lagi pulang kamu bukain pintu sama masakin makanan buat dia. Kalo adek biar Bu Isah yang ngurus, tadi Bu Isah baru dateng dari kampung" Bu Isah mungkin pembantu barunya.

"Iya ma." Cessa menaiki anak tangga satu per satu. Kenapa rumah ini rasanya dingin dan sepi sekali. Sepertinya memang keceriaan yang pernah ada sudah tidak akan terwujud kembali. Cessa menutup pintunya dan mulai berbaring di kasurnya. Dia meringkuk, mengelus-elus seprainya, memeluk bantal gulingnya dan seketika dia terlelap. Dia merindukan kasurnya. Sangat merindukan kasurnya.

- - - -

"Imel, saya ingin kamu jaga Altera. Jangan biarkan dia terluka, saya akan kembali beberapa tahun lagi. Tolong jaga Altera seperti anak kamu sendiri. Saya akan mengirimkan sejumlah uang untuk Altera. Tolong juga agar kiranya Altera tidak mengetahui identitas dirinya dan saya, saya tidak mau dia kehilangan kebahagiaannya. Saya pergi dulu, jaga Altera."

Cessa bangun dengan penuh peluh di dahinya. Mimpi apa itu tadi? Siapa Altera? Dan kenapa ada nama ibunya di mimpi itu? Cessa tidak ambil pusing dan melirik jam di nakas. Pukul tujuh malam, Cessa telat membuka pintu untuk ayahnya! Cessa dengan terburu-buru turun ke bawah dan berhenti seketika saat melihat ayahnya dirangkul oleh dua wanita jalang.

"Papa?"

"Eh, Cessa. Mama kamu mana?"

"Dia siapa?" Tunjuk Cessa pada kedua perempuan jalang itu.

"Ini teman kantor papa, nak. Sini papa kenalkan."

"Ga! Aku gak mau kenalan sama pelacur!" Cessa kemudian masuk kembali ke kamarnya tanpa memedulikan teriakan mengglegar ayah tirinya itu. Cessa mengunci pintu kamar dan menangis sejadi-jadinya di sana. Jika keluarga adalah tempat bersandar, bagi Cessa keluarga adalah tempat terkutuk.

Haruskah nasib ku terus begini?

Comment ya.. nambahin mood buat ngetik next part nih!!!

Rewrite The Scars ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang