7

380 25 7
                                    

TRING.

TRING.

Hanya jam bekernya yang dapat membuat Cessa terbangun. Dia melihat jam itu diatas nakas, masih pukul setengah enam pagi, cukup untuk bersiap ke sekolah. Pagi ini, udara terasa sangat dingin,  bahkan embun menunjukan dirinya di pintu kaca balkon Cessa yang sekarang sudah terbuka. Bau hujan bercampur tanah langsung menyeruak ke indra penciuman Cessa. Mungkin semalam hujan, pikirnya.

Setelah bersiap-siap, Cessa hanya melewati ruang makannya untuk sarapan pagi seorang diri. Hanya seorang diri. Entah kemana Imel, orang yang telah melahirkan Cessa itu berada. Bahkan Deva, ayah tirinya tidak makan bersamanya. Kadang memang Cessa lebih mengharapkan suasana sepi seperti ini daripada harus ramai dengan pertengkaran. Cessa benci keramaian.

Tak lama Harvey dan Darren, saudara laki-lakinya menangis dengan sangat kencang. Cessa mempercepat makan paginya. Jika tidak, mungkin Cessa akan terlambat sekolah sekarang karena Imel menyuruh Cessa menenangkan mereka. Kemudian Cessa langsung bergegas ke sekolah dengan supir pribadinya, Pak Dion. Rumah bagai neraka baginya. Dia tidak ingin pulang ke rumah yang sekarang seperti tempat asing saat ini.

- - - -

"Hey! Akhirnya dateng juga lo!" Sapaan Arya mengagetkan Reyno yang sedang asik mendengarkan musik melalui earphone-nya itu.

"Ngagetin aja lo."

"Bagi PR fisika dong hehe.. kayaknya tuh guru punya dendam ya sama kelas kita. Tiap materi dikasih PR terus."

"Dendamnya ke lo aja kali, bukan ke satu kelas." Reyno mengkoreksi sambil menyerahkan bukunya.

"Bisa aja lo kutang monyet." Kemudian Arya fokus menyalin tugas.

Reyno mengalihkan pandangannya ke Cessa yang sedang tertidur, tangannya berada di atas meja memangku kepalanya yang indah itu. Reyno hanya tersenyum tipis dan duduk di kursinya.

"Hai guys!!" Devon menggebrak pintu kelas hingga membuat pintu berdecit.

"Apaan sih lo ngagetin aja."

"Tau lo gak jelas banget."

"Kelas IPS ngapain masuk ke sini?" Sautan-sautan itu silih berganti dilontarkan membuat Cessa terbangun.

"Ya gue kan mau ketemu pacar gue, emang situ jomblo! Reyno sayang..."

"Najis apaan sih lo, Dev. Udah kayak janda gak dikasih anak lo!" Reyno menggidik geli dengan tingkah Devon.

"Jadi kamu gitu sekarang sama aku. Aku gak apa-apa kok kamu giniin, asal kamu bahagia." Ucap Devon dramatis.

"Najis lo kaleng rombeng. Itu baju minta dipotong ya? Keluar-keluar gitu."

"Ih biarin suka-suka gue lah. Samuel belom dateng ya?"

"Lah kan dia sekelas sama lo, kok nanya gue sih? Lo sakit ya?"

"Sensian amat lo jadi cowo ah."

"Salah lagi kan gue. Bea, urusin nih pacar banci lo!"

"Dih siapa yang pacaran sama dia gundul!" Beatrice langsung memprotes. Sebenarnya wajah Devon melebihi standar, hanya saja tingkah lakunya kadang membuat semua orang ingin mengeluarkan isi perutnya.

"Gak usah ngomel lo! Entar jadi suka sama gue aja!" Balas Devon tidak terima.

"Heh udah! Banci sama bencong kan cocok tuh ya.. terima nasib aja lah.." Cessa menengahi.

"Sialan lo!!" Balas keduanya bersamaan.

"Jodoh-jodoh." Balas Cessa sambil menggelengkan kepalanya.

"Kalian gak dengar bel sudah berbunyi?!! Baris di depan kelas, sekarang!! Kamu Devon, ngapain kamu ke kelas IPA?!" Teriak Bu Desi dengan sangat kencang.

"Aduh duh ibu sakit awww!!! Maaf bu saya kan cuma mau ketemu pacar saya." Devon menangisi telinganya yang sedang berada di jeweran tangan Bu Desi sekarang.

"Emang ada yang mau sama kamu hah?!"

"Ada kok bu.. Reyno bu pacar saya."

"Apaan lo! Gue lagi kan? Bunuh gue sekarang ya Tuhan!!" Teriak Reyno tidak terima.

"Heh!! Ada-ada aja kamu! Mau homo-an sama Reyno ya? Kamu transgender? Belom di sunat ya, Devon?"

Seluruh isi kelas saat itu tertawa terbahak-bahak kecuali Reyno yang mukanya sudah ditekuk.

"Sudah-sudah, pagi-pagi sudah bikin naik darah kalian!" Omel Bu Desi.

- - - -

Kantin adalah penyelamat perut Cessa saat ini. Sedari tadi perutnya sangat sakit seperti ditusuk-tusuk karena sudah kekurangan asupan gizi.

Cessa mengeluarkan beberapa lembar uang dari kantong roknya, "Pak, siomay nya dua porsi sama es tehnya dua ya pak."

Setelah dirasa cukup, Cessa bergabung dengan meja teman-temannya yang sudah lama bertenger di sana. Bukannya menyapa, Cessa malah menggerutu ke teman-temannya sambil memainkan ponsel, "Gila ya lo pada, bolos di pelajaran Bu Desi. Akhirnya gue juga yang kena tau."

"Sorry, Ces hehehe, abisnya lo gak mau diajak bolos." Cengir Archi tanpa ada rasa bersalah.

"Perut gue udah mules tau dengerin tuh guru ngoceh panjang lebar! Telinga gue serasa mau copot. Kok lu pada yang salah dia malah ngoceh ke gue sih apa-apaan coba najis!" Cessa mengoceh panjang lebar tanpa memedulikan sekitarnya. Tidak mendengar balasan temannya, Cessa mengalihkan pandangannya dari ponselnya itu. Tak lama telinganya terasa panas sekali dan perih.

"Aduh duh buu!!! Ampun bu sakit astaga Tuhan Yesus!!! Ibu maaf bu saya khilaf bu!!!" Cessa berteriak kesakitan sementara di dalam hatinya dia mengutuk Bu Desi yang seperti setan berkeliaran di mana-mana.

"Kamu, ikut saya ke ruang kepala sekolah!! Berani-beraninya kamu menggosipi guru!" Teriak Bu Desi yang mengundang seluruh perhatian di kantin. Cessa benci menjadi pusat perhatian.

Archi, Bea, Maya, dan Celine sudah mengendap-ngendap untuk kabur, "Kalian juga, ikut saya ke ruang bimbingan konseling!"

"Tapi bu.."

"Tidak ada tapi-tapi, sekarang!!" Bu Desi menyeret Cessa dengan telinga yang masih dijewer. Siomay gue sama es teh gue!!!

- - - -

"Gara-gara lo semua kan, kita nge-pel kamar mandi gini. Malah bau banget lagi."

"Yaudah terima nasib aja." Maya masih berani menyahuti Cessa sementara yang lain sudah bergidik ketakutan.

"Gimana mau terima nasib?! Dua puluh ribu gue melayang di kantin, perut gue udah sakit kayak ditusuk pisau, belom makan dari tadi, gimananya yang mau terima nasib?" Cessa duduk di tepi lapangan yang berada di dekat toilet karena perutnya semakin sakit.

"Cess, lo kenapa?" Tanya Celine. Seluruh sekolah terasa berputar, bahkan Cessa tak sanggup untuk menjawab pertanyaan Celine.

"Of course she doesn't feel well." Ucap Archi yang hanya duduk di kursi dekat lapangan sampai membersihkan kukunya.

Suara teman-temannya seperti berdengung di telinganya, dia sangat kesakitan saat ini. Hal terakhir yang dia ingat adalah rengkuhan seseorang, lalu tubuhnya melayang.

Panjang banget nih partnya.. gak ada niatan buat vote sama komen?

Rewrite The Scars ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang