53

296 12 6
                                    

Vera mengetuk pintu kamar anak bungsunya itu, Arti-adik Altera. Kebetulan Arti sudah boleh pulang dari rumah sakit karena rasa sakitnya sudah sedikit reda. Altera masuk ke kamar Arti. Kamarnya tidak begitu luas tetapi cukup untuk anak seumur dua SMP itu. Arti tidak sekolah karena pengobatannya. Tetapi mungkin nanti Vera akan menyekolahkannya kelak, Altera tidak tahu. Hati dan pikirannya masih terbongkar dan terobrak-abrik karena kabar Reyno.

"Halo, ma. Arti akhirnya bisa pulang lagi! Arti kangen banget sama mama!" Ucap anak itu sangat gembira, padahal usianya sudah terbilang cukup dewasa.

"Mama juga kangen banget sama Arti. Eh, ini kakak kamu, Altera."

"Kakak?"

"Banyak hal yang perlu disampaikan. Mama tinggal kalian berdua dulu, ya." Suasana di dalam kamar menjadi canggung. Canada sedang musim dingin saat itu, tetapi kenapa hawanya panas sekali?

"Um.. hai, Kak." Ujar Arti dengan malu.

Altera tersenyum, bagaimanapun keadaannya dia harus tetap bersyukur dapat bertemu adik semata wayangnya itu, "hai, Arti."

"Arti Devinci, nama Kakak?"

"Altera Devinci."

"Wah.. nama kita mirip ya?"

"Kan kakak adik."

"Oh iya, lupa." Anak menggemaskan itu tercengir, menampilkan deret giginya yang rapih.

"Mau kakak ceritain kenapa kakak bisa di sini?" Arti mengangguk semangat.

Setelah menceritakan segalanya, Arti tertidur. Mungkin karena kondisi tubuhnya belum benar-benar fit. Altera menaikan selimutnya ke pangkal leher sehingga udara dingin tidak akan menelusupi tubuh adiknya itu. Altera menutup pintu, melihat Vera sedang duduk di sofa dengan koper-koper yang masih ada di tempat semulanya. Vera diam, tidak menonton televisi apalagi mendengarkan gosip-gosip seperti ibu-ibu biasanya.

"Ma, kamar Altera di mana?"

"Di sebelah kamar Arti. Kamu beres-beres dulu saja. Kalau capek tidur dulu. Besok kita keliling." Altera mengangguk dan menggeret kopernya ke lantai dua dan merebahkan tubuhnya. Dia lelah sekali. Tak butuh waktu lama untuknya terlelap.

- - - -

Ponselnya tiba-tiba berbunyi, membuatnya terbangun karena kaget. Melihat jam dan sudah pukul delapan pagi dengan baju dari bandara yang masih melekat di tubuhnya. Panggilan dari Alegra.

"Halo?"

"Halo, Ter. Gue turut berduka cita ya atas kematian Reyno."

"Iya, makasih, Al." Jujur saja Altera ingin memaki Alegra, karena dia Altera jadi ingat kembali.

"Ini juga ada Jovan dan Mahesa. Mereka khawatir karena lo gak jawab telfon mereka."

"Iya, mana Kak Mahesa?"

"Mahesa doang yang dicariin? Gue enggak gitu?" Tiba-tiba suara Jovan menginterupsi.

"Gue pikir lo masih marah sama gue karena kejadian Retha waktu itu."

"Udah lah, udah lewat."

"Berkat kejadian itu gue balikan sama Retha, Ter." Ucap Mahesa tiba-tiba membuat Altera mengukir senyum tipis di bibirnya.

"Altera turut seneng deh."

"Ya udah kamu baik-baik di sana."

"Iya, bawel nih tiga cowo ini."

"Pikirin aku juga ya jangan Reyno terus." Altera benar-benar ingin mencabik-cabik mulut Alegra sekarang.

"Ya udah, bye semuanya."

Altera turun dari kamarnya dan berniat untuk jalan-jalan sebentar di depan rumahnya. Tiba-tiba saja dia melihat surat di depan pintu rumahnya. Altera mengambil surat dengan sampul biru tua yang sudah terpita rapih itu. Dari Indonesia. Siapa yang rajin sekali mengirim surat jauh-jauh dari Indonesia ke Canada? Altera membuka surat itu, tetera nama Reyno di sana membuatnya semakin penasaran.


Hai, Altera Devinci
Duh gak pandai bikin surat nih gue. Oh ya, Ter. Kalau lo dapet surat ini, tandanya gue udah gak ada di dunia ini lagi. Capek, Ter, sakit terus. Sakitnya sakit luar dalam lagi. Oh ya, jangan nangis ya pas baca surat ini. Jangan ketawa juga, gue tahu lo kalau lo nangis atau ketawa. Yang jelas gue mau minta maaf, Ter. Maaf banget gue udah ngejauhin lo secara tiba-tiba tanpa alasan pas lo lagi sayang-sayangnya sama gue. Gue bener-bener minta maaf. Gue punya alasan, bukan karena gue suka Xira, tetapi karena gue takut lo ngejauhin gue waktu lo tau gue adalah cowok penyakitan yang harus dihindari.

Oh ya, maaf juga gue gak bisa nepatin janji purple promise kita. Gue gak bisa nemenin lo, atau ada di samping lo pas prom night nanti pas kita kelas XII. Jujur aja gue mau banget. Tapi gak ada gunanya kan melawan takdir? Maaf kalo gue ninggalin luka terlalu dalam buat lo, Ter. Gue bener-bener salah. Kata mama gue, ada yang bisa diubah di dunia ini, yaitu takdir buat gue dan rasa dari gue ke lo. Bicara tentang rasa, jujur aja gue gak tahu apa yang gue rasain. Gue cuma takut kehilangan lo saat berada dekat lo. Kata orang-orang ini namanya gue sayang sama lo. Bisa iya bisa enggak. Jangan pernah mencintai terlalu dalam lagi, Ter. Sakitnya akan semakin terasa kalo itu terjadi lagi.

Karena lo, gue ngerti, beberapa cinta hanya terlalu elusif rupanya. Beberapa cinta hanya begitu penuh jenaka tanpa ada korelasi antara dua manusia. Beberapa cinta hanya lewat tanpa kata, dengan luka.
Beberapa cinta hanya.. terlalu sempurna untuk hati penuh cendala.

Duh, gue gak mau terlalu panjang atau terlalu mellow nih suratnya. Yaudah sampe sini aja ya, Ter. Semoga lo bakal nemu temen cowok yang seperhatian gue lagi hahaha. Anyway.. kayaknya iya, gue sayang lo. Soalnya gue deg deg an pas nulis surat ini. Eh dokternya udah dateng, bye, Ter. Gue selalu menikmati setiap momen kita bersama.

Emang ya, jarak dan juga waktu, kompilasi tepat untuk membuat gue dan lo gak pernah mungkin menjadi satu. Makasih buat semuanya, Ter.

Regards, Reyno Marvello Linanta.


Air matanya menetes lagi. Tidak mungkin dia tidak menangis mendapatkan surat semacam itu. Altera masuk ke dalam kamarnya, dia membatalkan semua acara yang akan dilakukan hari ini. Altera mengunci pintu kamarnya, tidak perduli dengan panggilan Vera atau Arti. Dia benar-benar butuh sendiri. Kehilangan Reyno rasanya.... seperti kehilangan dirinya sendiri.

- - - -

vote comment yu.. jgn sider"

Reyno udh pinter bikin surat blm nih?

Rewrite The Scars ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang