Part 11.3 : Ibu, Bapak, dan Trauma.

2.5K 82 0
                                    

Keesokan harinya...

"Adnan, semalam kok mbah mimpi Ate mu pulang ke rumah ya." Ibuku sedang sarapan pagi bersama Adnan di meja makan seraya membicarakan diriku.

"Morning..." ucapku seraya meraih cangkir dimeja makan lalu menuangkan air dan meminumnya. Ibu dan Adnan terkejut melihat kehadiranku di meja makan pagi ini.

"Lah, kamu kok disini dek?. Kapan kamu sampai?. Setau ibu semalam, kamu belum datang saat ibu mau tidur."

"Aku sampai tengah malam, bu. Ibu sama Adnan udah tidur semalam. Jadinya, Mang Didin yang bukain pintu."

"Kok ngga ngasih kabar kalau kamu mau pulang. Ibu cuman masak nasi goreng untuk sarapan, buah dikulkas juga udah mau habis. Kamu sarapan nasi goreng ini aja ngga kenapa-kenapa?."

"Hmmm, ndak apa-apa kok, bu. Adnan nanti kamu Ate aja yang anter ke sekolah ya. Ate udah lama ngga liat sekolah kamu."

"Hmmm"

"Yaudah, Ate mau mandi dulu bentar." Aku pun langsung meraih satu sendok nasi goreng dipiring Adnan lalu langsung kabur ke kamar mandi untuk mandi pagi karena aku akan mengantar Adnan ke sekolah.

Setelah mengantar Adnan sekolah, aku pun langsung pulang ke rumah. Saat itu ibu sedang menyiram beberapa tanaman hiasnya di halaman depan rumah. Ibu memenag sangat menyukai beberapa tanaman hias untuk dijadikan objek tanamannya didepan rumah. Aku pun langsung menghampiri ibu dan memeluknya dari belakang. Ibu hanya tersenyum melihat tingkah manjaku padanya. Jika dibandingkan dengan saudara-saudaraku yang lain, aku adalah anak ibu yang paling manja. Aku memang tipe anak bungsu yang sangat manja terhadap ibuku. Jadi, tak heran jika aku terkadang bersikap sangat manja terhadap ibu seperti saat ini. Aku masih betah memeluk ibuku sampai beliau selesai menyiram tanamannya.

"Ada masalah apa?." Inilah yang mungkin disebut ikatan batin Ibu dan anak. Ibu selalu saja tau dimana saat aku sedang banyak masalah dan galau. Jika ibu sudah menanyakan 'ada apa' maka aku sudah tidak bisa bohong dengannya dan mengatakan aku tidak apa-apa.

"Bayu melamarku semalam, bu." Ibu melepaskan pelukkanku dan mengajakku duduk di sebuah bangku dibawah pohon mangga didepan rumah.

"Terus kamu jawab apa?."

"Ute belum jawab lamarannya. Ute bilang sama Bayu kalau Ute butuh waktu untuk berpikir dan Bayu menyetujuinya."

"Apa yang menjadi bahan pertimbanganmu?."

"Banyak, bu. Pernikahan ibu dan Kak Vani contohnya." Ibu terdiam sejenak mendengarkan ucapanku barusan. Kemudian beliau menggengam tanganku erat dan tersenyum terhadapku.

"Kamu sudah dewasa, dek. Tahun depan umurmu sudah 24 kan?. Itu artinya kamu sudah siap untuk memiliki hubungan yang serius. Ibu tau mungkin anak-anak ibu ini memiliki trauma terhadap pernikahan karena melihat pernikahan kedua orang tuanya hancur. Tapi, kamu tidak akan bisa selalu menyalahkan trauma itu sendiri, nak. Kamu harus bersikap dewasa sekarang." Ibuku menjeda ucapannya sebentar seraya menarik nafas untuk menasihatiku kembali.

"Ibu tau mungkin sulit untuk kamu dan Aty melangkah ke jenjang pernikahan karena berpatokan dengan pengalaman orang tua kalian dan juga kakakmu itu. Tapi nak, kamu harus belajar melupakan trauma itu. Kamu harus mencoba meyakinkan dirimu bahwa ada Allah yang mengatur semuanya. Ibu dan Almh. Vani memang sudah ditakdirkan memiliki takdir seperti ini. Ibu dan bapakmu bercerai bukan karena kami sudah tidak saling mencitai satu sama lainnya. Namun, kami bercerai karena memang sudah takdir Allah. Begitu juga dengan Almh. Vani, itu sudah takdirnya mendapatkan suami yang kasar dan suka memukulnya sampai ia harus meregang nyawa. Nak, jujur dari dalam hati Ibu dan Bapakmu yang paling dalam. Kami menginginkan kamu mendapatkan jodoh yang terbaik. Dan mungkin Bayulah orang yang dikirimkan Allah untuk kamu. Jangan terlarut-larut dalam traumamu itu, nak. Ibu dan bapak serta kakakmu akan sedih melihatmu seperti ini. Kamu berhak bahagia, nak. Ikuti kata hatimu, jangan ingat trauma itu. Ibu percaya dengan pilihanmu."

"Ibu." Aku memeluk ibuku dengan erat seraya menangis sesenggukan didalam pelukkannya.

"Bahagialah, nak. Kamu berhak atas semuanya."

"Ute, akan pikirkan semua ucapan Ibu tadi. Terima kasih sudah membantuku untuk sedikit melupakan trauma itu, bu. Aku akan mencobanya." Ibuku tersenyum melihatku tersenyum. Inilah sosok asli ibuku. Beliau adalah sosok perempuan tegar yang selalu ada untukku. Beliaulah yang merawatku dam membesarkanku hingga seperti ini. Beliau adalah ibu sekaligus ayah bagiku.

Keesokan harinya, saat aku pulang dari menjemput Adnan di sekolah. Aku terkejut saat aku melihat ada mobil Mas Pandu dan Mbak Aty di halaman depan rumah Bogor. Dan yang paling membuatku terkejut adalah saat aku melihat laki-laki tampan yang kemarin membuat aku galau berkepanjangan memikirkannya yang tak lain adalah Bayu yang sedang duduk bercerita didepan teras bersama Bapak dan Mas Pandu.

"Mbak Ute, itu pacarnya ganteng juga ya." Ucap Mang Didin seraya menghampiriku saat aku keluar dari mobilku.

"Mang Didin seperti tau aja yang mana pacar saya. Sini Mang saya tunjukkan." Aku menyeret Mang Didin untuk mendekat ke depan teras. Sontak saja orang-orang yang sedang berbincang-bincang didepan teras terkejut melihatku yang menarik-narik Mang Didin mendekati mereka.

"Ute, kenapa Mang Didinnya ditarik-tarik begitu, nak. Kasihan Mang Didinnya." Bapakku menegurku karena melihat aku menarik-narik mang Didin.

"Ini loh, pak. Mang Didin kepo sama pacarnya, Ute. Makanya Ute tarik-tarik Mang Didin untuk Ute perkenalkan secara langsung."

"Mang Didin, perkenalkan pacar baru Ute yang sangat tampan rupawan melebihi ketampanan Nabi Yusuf ini." Aku menunjuk Bapakku sebagai pacar baruku yang sangat tampan ini.

Puk...

Mang Didin menepuk pundakku pelan, "Mbak Ute, suka bercanda ah. Mamang tau pacarnya Mbak Ute itu yang itukan?." Mang Didin menunjuk Bayu saat mengucapkan kata 'pacar'.

"Iih, Mang Didin mah ngga percayaan sama aku. Udah dibilang ini pacarnya Ute malah ngga percaya. Ute aduin ke Ibu loh ini Mang Didin habis melakukan tindakan kekerasan terhadap anak kecil biar Mang Didin dibawa ke KPAI sama Ibu." Mang Didin hanya tertawa mendengarkan celotehanku barusan. Begitu pula dengan Bapak, Mas Pandu dan Bayu. Mereka ikut tertawa melihat tingkahku dan Mang Didin.

"Udah ah, mbak. Mang Didin mau ke depan aja, Mang Didin suka pusing kalau deket-deket sama Mbak Ute mah. Mari pak, mas, saya tinggal kedepan dulu." Mang Didin kabur kembali ke depan untuk minum kopi bersama satpam-satpam depan rumah tetangga yang lain.

"Bapak kok bisa ada disini?. Kenapa ngga bilang sama aku kalau mau datang kesini. Akukan bisa jemput bapak di bandara." Ucapku seraya memeluk bapakku.

"Bapak kesininya dadakan, kangen kamu soalnya. Tadi bapak dijemput sama Masmu dibandara. Terus kita langsung berangkat ke sini, nyusulin kamu sama Ibu." Bapak kemudian melepaskan pelukkanku.

"Sekarang udah puas belum liat muka anaknya yang cantik jelita ini?." Bapak tertawa mendengarkan ucapanku.

"Mual yang ada liatnya, dek." Ucap Mas Pandu.

"Apaan sih, mas."

"Udah-udah nanti berantem. Mending kamu masuk sana bantu Ibu masak didapur." Ucap Bapakku.

"Yaudah Ute masuk dulu ya." Aku pun masuk kedalam rumah setelah mencium pipi kiri Bapakku dengan cepat.

.

.

.

.

.

Hai, semumanya... 

Hari ini aku update nih, dibaca ya. Dan jangan lupa untuk Vote dan Komen...

Thanks All^^

Senja dan Ujung Rasa (COMPLETE and REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang