Part 7.2 : Teror 2

2.7K 101 1
                                    

Keesokan paginya, saat aku hendak keluar apartemen aku menemukan sebuah amplop coklat tergeletak di depan pintu apartemen. Aku melihat sekelilingku untuk mencari siapa yang mengirimiku amplop ini. Namun, hasilnya tetap sama nihil, tidak ada seseorang pun yang aku lihat disini. Tanpa berpikir panjang aku pun mengambil amplop itu lalu memasukkannya ke dalam tasku.

Sesampainya aku di studio siaran aku pun langsung memulai siaran tanpa memperdulikan amplop coklat tadi yang ketemukan di depan pintu apartemen. Setelah siaran selesai pun aku langsung pergi ke Kedai Nusantara punyaku. Sesampainya aku di Kedai, aku pun langsung menuju ruanganku untuk mengecek beberapa dokumen keuangan Kedaiku.

"Nio, tolong kamu antarkan laporan keuangan kedai ya, sekarang aku tunggu diruanganku. Ada yang mau aku cek. Oh ya sekalian, kamu tolong panggil satu per satu karwayan kita karena ada yang mau aku tanyakan mengenai kinerja mereka disini ya. Makasih sebelumnya, Nio." Aku menelpon manager Kedai yang kebetulan merupakan teman kuliahku, Nio namanya. Nio adalah seorang manager perempuan yang berkompeten. Dia orang yang sangat jujur jika sedang berkerja dan dia juga perhatian kepada karyawan di kedai. Karena itulah aku sangat mempercayainya soal kedai ini padanya.

"Sorry, te lama ya kamu nunggu laporannya?. Soalnya tadi aku sempet nyelesain laporan keuangannya dulu yang sempet tertunda karena aku cuti kemarin." Ucap seorang perempuan muda dengan pakaian muslimah panjangnya yang membalut tubuh cantiknya. Ya, dia adalah manager kedaiku, Nio. Dia memang mengajukan cuti kepadaku beberapa hari yang lalu karena ia harus mengurus ibunya yang sedang sakit. Nio memang tinggal bersama ibunya dan adiknya di Jakarta. Ayahnya Nio sudah lama meninggal dunia, dan dia harus berusaha keras menjadi tulang punggung keluarga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya dan juga uang kuliah adiknya yang baru masuk universitas itu.

"It's okay, aku bisa maklum kok. Malahan seharusnya aku yang minta maaf sama kamu karena aku dadakan meminta laporan itu. Sorry ya, yoyo." Aku tersenyum meminta maaf padanya dan dia tertawa melihatku seraya duduk di kursi tamu ruanganku. Yoyo adalah nama panggilan Nio dariku dan aku sudah menganggap Nio sebagai bagian dari keluargaku juga.

"Kamu itu suka kebiasaan, Ute. Workaholic kamu itu kapan bisa dihilanginnya?. Kamu pasti habis siaran di Radio kan terus langsung tancap gas kesini?."

"Mau gimana lagi, yo. Ini udah jadi tanggung jawab akukan dan aku harus tanggung jawab sama kalian semua."

"Terkadang aku itu heran sama kamu ya, te. Apa kamu itu ngga lelah ngurusin kedai, EO, dan siaran Radiomu itu?. Aku aja yang cuman ngurusin Kedai ini aja udah pusing banget. Lah kamu, ngurusin semuanya sendiri."

"Kalau kita ngerasa beban buat ngurusin semuanya sih kita bakal ngerasa capek, yo. But, sebaliknya jika kita berpikir santai tentang semua ini maka insya allah semuanya akan baik-baik aja. You know me, yo."

"Iya, te aku paham. Aku tau kamu dan aku kenal baik dengan kamu, te. Dan karena itu aku malah khawatir sama kesehatan kamu. Aku liat akhir-akhir ini kamu keliatan lelah banget, ada masalah apa, te?. Cerita sama aku kalau misalnya kamu ada masalah, siapa tau aku bisa bantu kamu buat cari jalan keluarnya."

"Aku baik-baik aja kok, yo."

"Ayolah, Ute. Mata kamu itu ngga pernah bisa bohong, jujur sama aku ada apa?."

"Aku beneran ngga kenapa-kenapa kok, yo. Ya mungkin akhir-akhir ini aku sempet kepikiran soal Bayu yang lagi tugas di perbatasan Papua. Tapi, aku ngga ada masalah yang serius kok. Cuman ya, terkadang aku rindu aja sama dia. Rindu perhatiaannya sama aku, rindu candaan garingnya itu loh, yo. Rindu banget deh pokoknya." Jawabku pada Nio dengan tersenyum malu saat menceritakan kegelisahanku akibat mengkhawatirkan Bayu.
Nio tertawa mendengarkan ucapanku itu, "Kamu ini ya, te. Persis banget sama anak ABG yang lagi jatuh cinta, malu-malu gong-gong gitu."

Senja dan Ujung Rasa (COMPLETE and REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang