Part 17.1 : Perjalanan menuju Jogja

2.8K 79 0
                                    

“Bukan Paris. Bukan pula Maldives. Tapi, Jogja. Salah satu kota paling indah dan bersejarah yang ada di Indonesia”
- A. Putih Andini

Setelah mendengarkan ucapan May waktu itu. Perasaan dan pikiranku sudah lumayan cukup baik. Walaupun ketakutan dan kekhawatiran itu masih ada. Namun, tidak sebesar sebelum aku bercerita pada May. Menurutku, apa yang May katakan padaku waktu itu juga ada benarnya. Aku akan selalu berdo'a, bersabar, dan bertawakal agar hubunganku dan Bayu akan baik-baik saja setelah kami memutuskan untuk jalan sendiri-sendiri. Aku juga masih mempunyai waktu sekitar 1 Minggu lagi untuk memikirkan hubunganku dan Bayu sampai nanti kita akan bertemu lagi. Aku dan Bayu memutuskan untuk menyelesaikan waktu break kami setelah aku pulang dari Jogjakarta 1 Minggu kedepan.
Saat ini, aku sedang berada di salah satu bandara tersibuk di Indonesia bahkan di dunia. BANDARA INTERNASIONAL SOEKARNO-HATTA. Aku akan melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Jogjakarta. Dan 10 menit lagi pesawat yang akan membawaku terbang ke Jogjakarta akan berangkat. Aku sedikit merasa deja vu saat ini. Aku merasa seperti terbawa kembali ke waktu dimana aku dan Bayu bertemu 2 tahun yang lalu. Dulu, saat kami bertemu untuk yang pertama kalinya di pesawat menuju Jogjakarta aku merasa terdistraksi oleh pesonanya. Mengenalnya dalam perjalanan yang singkat cukup membuatku terpesona pada sikap dan cara Bayu dalam membawa dirinya. Bentuk tubuh yang sempurna sebagai abdi negara dan juga kepribadian yang menyenangkan sebagai teman baru. Bayu yang aku kenal pertama kali di pesawat adalah Bayu yang saat ini aku rindukan keberadaannya. Bayu yang menyenangkan dan juga menyebalkan.

Aku berjalan menuju tempat dudukku di dalam pesawat. Setelah menemukannya, aku pun langsung duduk dan mulai membuka buku novel yang hendak aku baca. Aku kembali merasa deja vu saat ini. Tapi, untungnya penumpang yang duduk disebelah tempat dudukku adalah ibu-ibu paruh baya. Jika saja yang duduk di sampingku saat ini adalah seorang laki-laki, maka aku sudah pasti merasakan kembali ke kejadian 2 tahun yang lalu.

“Sendirian, nak?”, tanya Ibu-ibu paruh baya yang duduk di sebelahku tiba-tiba.

“Iya, Bu saya sendirian. Ibu sendirian juga?”, tanyaku kembali pada Ibu-ibu paruh baya itu.

“Iya, Ibu juga sendirian. Suaminya ngga ikut juga ke Jogja?”, aku terdiam mendengarkan pertanyaan Ibu-ibu paruh baya itu soal 'suami'. Dan aku baru sadar jika Ibu itu salah paham soal cincin pertunanganku dengan Bayu yang aku taruh di jari manisku. Pantas saja Ibu itu mengira bahwa aku sudah menikah. Aku tersenyum pada Ibu-ibu itu.

“Pasti suaminya sibuk kerja ya?”, tanya Ibu-ibu itu kembali.

“Saya belum menikah, Bu. Itu cincin pertunangan saya, Bu”, jawabku singkat.

Ibu-ibu paruh Bayu itu tersenyum malu-malu padaku, “Lah saya pikir sudah menikah ternyata belum ya. Maaf ya, nak”, Aku pun ikut tersenyum mendengarkan perkataan maaf dari Ibu-ibu itu.

Satu jam lebih aku menempuh perjalanan dari Jakarta ke Jogja. Dan selama penerbangan itu, aku banyak berbincang-bincang dengan Ibu-ibu paruh baya itu. Kami berkenalan satu satu sama lain. Tante Wik, nama Ibu-ibu paruh baya itu. Tante Wik bercerita padaku mengenai kehidupannya selama ia tinggal di Jogja. Sebenarnya, Tante Wik adalah orang Indramayu asli. Tapi, ia sudah lama tinggal di Jogja semenjak suaminya memutuskan untuk pensiun bekerja. Suaminya Tante Wik adalah orang Jogja asli. Karena itu, mereka memutuskan untuk kembali ke Jogja. Namun, suami Tante Wik sudah meninggal sejak 2 tahun yang lalu akibat serangan jantung. Tante Wik tinggal sendirian di Jogja. Sedangkan, anaknya Tante Wik cuman satu dan ikut suaminya tinggal di Jakarta. Saat aku tanya pada Tante Wik mengapa ia tidak mau ikut anaknya tinggal di Jakarta, Tante Wik mengatakan bahwa setiap sudut Jakarta punya cerita sendiri akan kehidupan Tante Wik bersama suaminya. Tante Wik tidak mau mengenang masa-masa itu. Karena ia akan sedih jika mengenang mendiang suaminya. Aku menyukai cara Tante Wik bercerita. Ia tidak akan pernah bosan untuk menceritakan kisah hidupnya dan suaminya.

Flashback On

“Perjalanan kisah cinta saya dan Alm. Suami saya itu ngga mudah, Nak Ute. Selalu saja ada cobaan disaat kami ingin melanjutkan hubungan kami ke jenjang yang lebih serius lagi. Dimulai dari keluarga besar kami yang menentang hubungan kami sampai soal pekerjaan saya setelah menikah”, ucap Tante Wik. Aku menyimak cerita Tante Wik.

Tante Wik menunjuk salah satu pramugari yang ada di depan kami. Aku pun melihat apa yang ditunjukkan oleh Tante Wik, “Dulu, saya seperti mereka. Pergi dari suatu tempat ke tempat yang lain. Menjelajahi semua tempat-tempat yang menjadi persinggahan burung besi ini. Saya dulu seorang pramugari. Sedangkan, suami saya adalah seorang pelaut. Saya bekerja di atas langit dan suami saya bekerja di atas laut. Kami punya pekerjaan yang sangat berat dan beresiko. Kami sangat jarang menghabiskan waktu bersama-sama di daratan. Kalau saya libur, suami saya sedang berlayar. Kalau suami saya yang libur, saya yang bekerja. Kami tidak punya banyak waktu untuk sekedar berkencan seperti pasangan-pasangan pada umumnya. Itulah mengapa keluarga besar kami tidak menyetujui jika kami ingin menikah. Tapi kami tetap memaksakan kehendak kami untuk menikah. Dan akhirnya, keluarga besar kami pun menyetujui kami untuk menikah. Tapi, saat beberapa bulan lagi kami menikah. Suami saya menyuruh saya untuk berhenti bekerja di penerbangan. Waktu itu saya sangat-sangat menentang keputusan suami saya yang menyuruh saya untuk berhenti bekerja. Kami ribut dan memutuskan untuk menunda pernikahan kami. Dulu kami itu sama-sama masih egois. Kami mementingkan diri kami sendiri-sendiri. Saya yang masih tetap kekeh untuk bekerja dan suami saya tetap kekeh untuk menyuruh saya berhenti bekerja Sampai akhirnya, Ibu saya mengetahui jika saya dan suami saya lagi tidak baik-baik saja dan dia memberikan saya beberapa wejangan untuk saya”

Aku masih menyimak cerita Tante Wik soal kehidupannya sebelum menikah. Tante Wik menghela nafasnya dan menatapku dalam, “Ibu saya dulu bilang, kalau pernikahan itu bukan hanya untuk satu hari dua hari, tapi pernikahan itu untuk selamanya sampai ajal kita menjemput kita masing-masing. Pernikahan itu bukan hanya dilandasi oleh komitmen, kepercayaan, dan cinta. Tapi juga dengan komunikasi yang baik. Pernikahan itu bukan hanya soal kita menikahi pasangan kita masing-masing. Tapi, kita juga menikahi keluarganya, menikahi apa yang dia suka dan apa yang dia tidak suka, menikahi pekerjaannya, menikahi hobinya, menikahi adat istiadatnya dan juga menikahi semua kekurangan dan kelebihan yang ada pada diri pasangan kita nantinya. Jika kita tidak bisa menerima salah satunya. Maka, kita tidak akan bisa hidup di atas pernikahan itu. Kita akan terus bermasalah. Meributkan apa yang tidak kita sukai dari pasangan kita masing-masing. Dan dari situlah, saya mencoba untuk berpikir ulang tentang semuanya. Berpikir apakah saya akan siap untuk melepaskan apa yang saya sukai demi orang yang saya cintai atau tidak. Dan akhirnya, saya mencoba untuk mengikhlaskan apa yang menjadi pilihan saya dengan melepaskan pekerjaan saya itu. Dan ternyata, menikah itu menyenangkan. Menikah itu lebih membahagiakan daripada saat saya melihat semua panorama-panorama yang saya lihat saat saya bekerja”

“Nak, seenak-enaknya pekerja kita sebagai perempuan itu adalah menjadi Ibu rumah tangga yang sesungguhnya. Kamu akan merasakan bagaimana bahagianya kamu kalau kamu sudah menjadi Ibu rumah tangga dan melahirkan anak-anakmu nantinya. Kamu akan menjadi perempuan seutuhnya kalau kamu bisa merasakan kebahagiaan itu. Ngga ada pekerjaan yang lebih baik dari Ibu rumah tangga. Pekerjaan itu sangat mulia, Nak. Jadi, jangan takut kalau tunangan kamu menyuruh kamu untuk menjadi Ibu rumah tangga yang sesungguhnya. Saya tau kalau kamu lagi bermasalah dengan tunangan kamu kan? Saya paham kok apa yang saat ini, Nak Ute rasakan. Tapi, saya bisa berpesan jangan sampai kamu menyesal dikemudian hari kalau tunangan kamu sampai berpaling dari kamu. Saya dapat melihat cinta yang sangat besar di mata kamu untuk tunangan kamu. Kejarlah, Nak Ute. Jangan sampai kamu kehilangan sesuatu yang sangat berharga untuk kamu”

Flashback Off
.
.
.
.
.
Hai, Selamat pagi! Hari ini aku publish lagi nih. Selamat membaca teman-teman.

Oh iya, sekedar informasi buat semuanya kalau cerita ini tinggal 1 part lagi ya. Saat ini, aku sedang mengerjakan part yang terakhir, do'akan  ya teman-teman, semoga aku ngga mager ngerjain  part terakhirnya.
Kemungkinan cerita ini ngga ada epilog, karena diawal cerira aku ngga kasih prolog. So, kalian jangan menunggu epilognya ya. Tapi, Insya Allah aku akan kasih kalian extra part ya. So, ditunggu aja ceritanya.

Jangan lupa vote dan komennya ya
Thanks^^

Senja dan Ujung Rasa (COMPLETE and REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang