Chapter 10

6.3K 596 87
                                    

Elora tidak dalam kondisi yang baik. Dia tidak tidur selamam suntuk, lebih tepatnya dia tidak bisa tidur walau sudah berkali-kali mencoba memejamkan mata. Kedua matanya sembab dan kantung matanya menghitam. Elora ingin sendiri, tidak ingin ditemani siapapun termasuk Malik yang sejak kemarin malam mati-matian membujuknya untuk keluar dari kamar.

Ini adalah resiko yang dia tanggung, Elora sangat mengerti. Namun dia tidak tahu jika rasanya akan menyakitkan seperti ini.

Hari sudah berangsur sore, itu artinya sudah hampir seharian Elora menyiksa dirinya tanpa sebuah jalan keluar yang dia dapatkan. Lantas suara ketukan pintu terdengar, Elora bangkit dari tidurnya dan dia memiliki sedikit harapan untuk kembali seperti semula.

"Elora." Pemilik suara itu adalah Wilda. Ibu Elora. "Ibu memasakan makanan favoritmu. Kita makan bersama ya."

Ada sebuah rasa bersalah dihati Elora, dia sudah membuat orang-orang yang peduli padanya menjadi cemas. Langkah gontai Elora mengantarnya pada pintu kamar, dia membukanya perlahan. Dan Wilda bisa melihat betapa berantakannya penampilan Elora yang belum mengganti pakaiannya sejak kemarin malam.

"Maafkan Elora, Ibu." Dia memeluk sang ibu penuh rasa bersalah. Dan lagi dia menangis.

"Ibu mengerti apa yang kau rasakan. Jangan meminta maaf." Wilda menghapus air mata puterinya, "Sekarang kau mandi dulu ya, kau harus menyegarkan tubuh dan pikiranmu."

Elora mengangguk sambil tersenyum tipis sebelum kembali menutup pintu dan bergegas mandi. Dia berendam di bathup selama setengah jam dan hal itu membuatnya merasa sudah cukup tenang. Sebelum keluar menuju meja makan, Elora sempat mengambil ponselnya yang berada di dalam tas semalaman. Dia pasti sudah mengabaikan banyak orang.

20 panggilan tidak terjawab dari Malik Algibson.

15 pesan dari Malik Algibson.

3 panggilan tak tejawab dari Helena Doris.

1 pesan dari Helena Doris.

Helena Doris?

Elora diam memikirkan kemungkinan apa yang membuat Helena menghubunginya beberapa menit yang lalu. Lantas ponsel Elora kembali berdering menampilkan nama yang sama pada layarnya. Elora tidak langsung mengangkatnya, dia masih memikirkan apa yang harus dia katakan. Untuk kedua kali ponselnya kembali berdering. Elora menyerah, dia memutuskan untuk mengangkat panggilan tersebut.

"Jesus, akhirnya kau menjawab telponku, Dokter Elora." Ucap Helena tergesa-gesa, ada nada cemas disana. "Atas hal buruk apapun yang Edward lakukan padamu, aku mohon maaf sebesar-besarnya. Dia sedang terlibat masalah, aku tidak tahu harus meminta tolong pada siapa."

Kening Elora mengerut, "Ada apa dengan Edward?"

"Edward...." Helena menahan suaranya, terdengar seperti orang yang sedang menangis, "Dia sedang ditahan di kantor polisi."

Apa? Seketika tubuh Elora terasa lemas lagi.

"Bagaimana bisa?"

"Dia tertangkap menyimpan obat-obatan terlarang dan dia juga terlibat kasus pengeroyokan disebuah club malam."

Astaga.

"Apa yang harus aku lakukan sekarang? Bantu aku, Dokter Elora."

Untuk alasan apapun Elora tidak mungkin bisa menolak untuk menolong Edward dalam kondisi seperti ini. Elora pejempit ponselnya pada bahu dan telinganya sambil mencari kunci mobilnya pada rak meja tidur.

"Bisa kau kirim alamat kantor polisinya padaku."

"Tentu saja. Tolong aku."

"Baik, aku berangkat sekarang."

THE DEPRESSIVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang