Chapter 54

3.4K 223 259
                                    

Hi, aku kembali membawa kelanjutan kisah El-Ed. Siap bertarung dengan emosi sendiri ya hehe. Ini chapter terpanjang yang pernah aku tulis. Jadi, mohon dipencet VOTE nya dulu sebelum membaca.

Happy reading❤️

***

Pernyataan bahwa seseorang akan bahagia ketika melihat orang yang dicintainya bahagia walaupun tidak bersamanya, bagi Elora adalah omong kosong. Kenyataannya sulit sekali untuk mengorbankan apa yang seharusnya menjadi milik kita kepada orang lain. Elora tidak pernah melupakan janji manis yang sering Edward katakan padanya yaitu pernikahan. Walau kenyataan tidak sejalan dengan harapan Elora, hari ini Edward akan melangsungkan pernikahan bersama Pamela dan Elora hadir sebagai tamu undangan. Bukankah itu mengenaskan?

Elora manatap pantulannya pada cermin sembari menyisir rambut panjangnya. Dia berekspresi sebanyak mungkin. Bisa dikatakan dia sedang melatih diri untuk tidak terlihat lemah di acara tersebut.

"Berikan senyum terbaikmu, Elora." Gumamnya, meyakinkan untuk lebih percaya diri. Elora menarik keras sudut bibirnya membentuk lengkungan. Walau kenyataan matanya tidak bisa berbohong. Dia pura-pura bahagia. "Tersenyumlah seolah kau memang benar-benar bahagia."

Dugh.

Elora menoleh cepat ketika mendengar sesuatu dari balik balkon kamarnya yang tertutup. Matahari bahkan belum menampakan diri dengan sempurna. Ini masih pukul enam lewat lima belas dan orang iseng sudah mencoba untuk mengganggunya.

Menyibak tirai jendelanya, Elora bisa melihat kaca jendela balkonnya yang retak. Dia menemukan bongkahan batu berukuran sedang disana. Tak hanya itu, beberapa tangkai bunga krisan berwarna merah tua terikat rapi di lantai balkon kamarnya. Lengkap dengan secarik kartu ucapan ditengahnya.

Bunga krisan adalah lambang duka cita.

Elora meremas kartu tersebut setelah membaca isinya. Jantungnya mendadak terguncang hebat. Apa maksudnya? Lambang duka cita? Ah sialan. Siapa pula yang meletakan bunga ini disini? Elora bahkan sadar bahwa kamarnya adalah ruangan yang paling privasi.

Setelah melempar bunga tersebut dari lantai kamarnya, Elora segera masuk untuk mencari letak ponselnya dan mencoba untuk menghubungi seseorang yang dia rasa bisa menolong. Entah mengapa dia benar-benar takut. Perasaannya tidak tenang, sangat berbeda dengan sebelum-sebelumnya.

"Malik, datanglah kemari. Aku takut."

***

Edward menatap kosong pada altar yang sudah selesai dibentuk sebagai tempat untuk mengikrarkan janji suci pernikahannya sebentar lagi. Tidak ada kebahagiaan sedikit pun yang ia rasakan. Semua terasa hampa dan dia menyadari bahwa Pamela sama sekali tidak memiliki tempat lagi di hatinya.

Senyumnya terulas ketika dia menatap luka pada buku-buku tangannya akibat kejadian siang kemarin. Bukankah ini bukti bahwa dia masih sangat mencintai Elora? Bahwa dia tidak bisa mengontrol emosinya ketika melihat Elora bersama Malik? Tentu saja! Edward sangat mencintai gadis itu. Pernikahan ini adalah sebuah pengorbanan. Dimana tak hanya Elora yang merasakan sakitnya di tinggalkan, Edward juga merasakan sakit karena harus mengorbankan perasaannya sendiri.

"Apa yang harus aku lakukan untuk menghentikan semua ini, Edward?" Kehadiran Helena yang tiba-tiba membuatnya terkejut. "Aku tahu kau tidak menginginkan semua ini."

"Tidak ada yang bisa aku lakukan, Nek. Menikahi Pamela adalah satu-satunya cara untuk menolong Elora. Aku tidak ingin dia mengalami hal buruk. Aku sudah cukup membuatnya menderita selama ini."

THE DEPRESSIVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang