Chapter 11

6.1K 554 38
                                    

Mobil Elora berhenti di depan rumahnya tepat pukul tiga dini hari. Setelah kejadian tersebut, Elora merasa sangat terpukul. Dia melampiaskan isi hatinya dengan berkendara di tengah jalan dengan kecepatan yang tidak biasa. Hingga dia kembali pulang setelah dia merasa cukup tenang. Air matanya sudah mulai kering. Dia lelah menangis.

Tiba di ruang tamu, Elora cukup terkejut melihat Malik dan Wilda sedang duduk di sofa. Keduanya langsung berdiri setelah melihat kehadiran Elora. Mata Elora kembali berair membayangkan jika Ibu dan kekasihnya itu sudah menontonnya di televisi beberapa saat yang lalu.

"El." Wilda berucap pelan.

"Maafkan aku." Air mata Elora kembali turun. Wilda mendekatinya, memberi pelukan yang sedikit mampu mengobati kesedihan Elora. "Elora hanya ingin menolong. Itu saja, Bu."

Wilda mengangguk lalu menghapus air matanya sendiri karena rasa bangga terhadap puterinya itu. Walau di lubuk hati dia sangat tidak rela jika setelah ini akan ada banyak orang yang salah sangka terhadap anak perempuan kesayangannya itu.

Tatapan Wilda beralih pada Maik yang berdiri disebelahnya kemudian dia kembali menatap Elora, "Malik sudah lama menunggumu."

Elora mengangguk lalu berjalan mendekati kekasihnya itu. Tersirat kekecewaan besar pada tatapan Malik. Elora tidak tahu harus melakukan apa selain menangis.

"Malik,"

"Kita perlu bicara, El."

Mendapat persetujuan dari Wilda, Elora berjalan menuju kamarnya dengan langkah pelan. Malik yang biasanya akan berjalan di sampingnya sambil menggenggam tangannya kini lebih memilik untuk berjalan di belakang Elora dengan jarak yang cukup jauh.

Kamar bernuansa peach itu berubah sesak. Malik hanya diam, tidak melontarkan sepatah kata pun. Elora tahu jika Malik sangat marah atas apa yang sudah dia perbuat dan dia tidak tahu lagi bagaimana cara untuk membela diri. Keputusannya memang salah.

"Malik, aku minta maaf."

Malik menatap kedua mata Elora yang sembab, "Aku tidak pernah melarangmu untuk melakukan apapun yang kau mau. Aku selalu percaya jika kau bisa mengambil keputusan yang benar. Namun ini balasanmu atas rasa kepercayaanku terhadapmu selama ini."

"Malik.."

"Kenapa kau melakukannya, El?"

"Aku bingung." Elora menghembuskan napasnya berat, "Hanya itu yang terlintas dipikiranku."

"Kau boleh menolong orang lain tapi tidak dengan mengorbankan dirimu sendiri."

"Aku hanya tidak ingin Edward semakin tertekan bila harus mendekam di penjara."

"Dengan mengatakan jika kau adalah pemakai obat-obatan terlarang itu?" Malik maju satu langkah dengan wajah marah, "El, keputusan yang kau ambil akan menghancurkan karir yang sudah susah payah kau bangun selama ini."

"Aku tahu." Elora berlutut sambil mengacak-acak rambutnya frustasi. Dia menangis sejadi-jadinya di hadapan Malik, "Aku salah, Malik. Aku tahu tapi hanya ini yang bisa aku lakukan untuk menolong pasienku. Aku sudah gagal, aku bukan seorang psikiater yang baik."

Malik yang merasa iba melihat Elora seperti itu pun ikut berlutut. Meletakan kedua tangannya di bahu Elora sebelum menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Selama Malik mengenal Elora dia tidak pernah melihat gadisnya serapuh ini. Mengetahui jika Edward alasan dibalik ini semua tentu membuat Malik sangat marah.

"Keputusanku memang salah. Kau pantas marah, aku bodoh sekali."

"El, aku memang marah. Aku sangat marah pada diriku sendiri karena tidak bisa melindungimu. Seharusnya aku tidak membiarkan dia membawamu pergi. Kau jawab aku dengan jujur, apa Edward menyakitimu?"

THE DEPRESSIVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang