Chapter 26

5.5K 387 85
                                    

Warning : chapter ini mengandung unsur 18+

Yuk vote dlu sblm membaca, happy reading:)

***

Mata Elora fokus mengamati hasil alanisis obat yang baru saja ia lakukan di ruang laboratorium rumah sakit. Sisa teh yang kemarin hampir di minum oleh Edward ternyata mengandung campuran bubuk opioid.

Opioid sendiri adalah obat penghilang rasa sakit yang bekerja dengan reseptor opioid di dalam sel tubuh. Obat ini dibuat dari tanaman opium. Kandungan jenis narkotika dan psikotropika dalam bubuk ini biasa digunakan untuk menghilangkan rasa sakit. Namun pada dosis yang lebih rendah, opioid menimbulkan efek samping seperti mual, mengantuk, pusing, linglung dan depresi.

Benar-benar keterlaluan.

Gadis sejenis Riana tidak bisa dibiarkan tetap berkeliaran di hidup Edward. Mungkin ini menjadi salah satu faktor penghambat kesembuhan Edward selama ini. Ketika Elora susah payah untuk membuat Edward kembali normal, Riana malah dengan lancangnya mencampurkan obat terlarang yang berefek samping membuat seseorang menjadi depresi pada minuman bosnya sendiri. Dan Elora sangat yakin ini bukan kali pertama Riana melakukannya, ini hanya kali pertama Riana ketahuan olehnya.

Pukul 18.12. Jadwal praktek Elora hari ini bahkan sudah selesai sejak satu jam yang lalu. Lantas Elora bangkit untuk berjalan keluar dari ruangannya. Yang harus Elora lakukan sekarang adalah bertemu dengan Edward.

"Sepertinya aku datang tepat waktu."

Elora mendengus menyadari seseorang yang baru saja keluar dari sebuah mobil yang terparkir halaman rumah sakit. Pamela. Gadis itu datang dengan pakaian yang lebih santai dari biasanya. Mau apa dia kemari?

"Ah ya, Selamat malam. Kau sudah selesai bekerja rupanya." sapa Pamela ramah. Nadanya sedikit dibuat-buat membuat Elora mendesis tidak suka.

"To the point saja, mau apa kau datang kemari?"

"Ketus sekali." Pamea melipat kedua tangannya di depan dada. Tersenyum sambil geleng-geleng kepala. "Aku hanya ingin bicara sebentar padamu."

"Mengenai apa?"

"Calon suamiku."

Cih, siapa yang dia sebut calon suami? Edward? Mimpi. Elora memutar bola matanya. Sedikit kesal pada Pamela yang masih menggantungkan kalimatnya. Lantas Pamela melangkah dua kaki mendekati Elora. Wajah Pamela sedikit maju hendak membisikan sesuatu di telinga Elora.

"Aku sudah membantumu keluar dari tuduhan berita beberapa hari yang lalu, tapi sepertinya kau memang tidak henti-hentinya mencari sensasi melalui popularitas yang dimiliki Edward."

"Maksudmu apa?"

"Kau tidak pura-pura lupa dengan penolakan makan siang Edward padaku kemarin?"

"Itu sama sekali tidak ada urusannya denganku. Permisi, aku mau pulang."

"Tidak ada urusan katamu?" Pamela memandang Elora tajam kemudian kembali berbisik, "Jangan lupakan ada berapa banyak pasang mata yang menyaksikan kau, aku, Edward dan Ramon di depan pintu lift seusai meeting kemarin. Edward menghakimi Ramon hanya karena melihatmu menangis. It's crazy. Dan hal yang paling memalukan adalah sebuah artikel yang keluar pagi tadi berjudul 'Pamela Hendrik di tolak mentah-mentah oleh Edward Doris'. Kau memang tidak tahu terimakasih, Elora."

THE DEPRESSIVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang