Chapter 52

2.6K 196 87
                                    

Hallo, tinggal 3 chapter lagi nih, siap-siap emosi kalian akan dipermainkan yah kuatkan mental untuk baca hehehe smoga menghibur malam minggu kalian
Happy reading!❤️

***

Edward duduk di bangku tunggu ruang Unit Gawat Darurat dengan keadaan tidak baik-baik saja. Tanpa peduli bagaimana kondisinya saat ini, kepala Edward hanya dipenuhi dengan Elora yang baru saja masuk ke ruangan tersebut setelah mobil ambulance mengantarnya.

Edward menoleh setelah dia mendengar suara isak tangis seseorang yang datang. Kedua orang tua Elora menghampirinya. Wilda yang sembab akibat tangisannya menoleh sekilas pada Edward, namun Edward tidak bodoh untuk tidak menemukan tatapan kebencian dari sorot mata wanita itu. Sedangkan Dokter Aron yang tampak cemas namun tetap tenang, mendekatinya dengan raut penasaran.

"Kau juga terluka. Ada apa sebenarnya?" Tanya Aron.

Aron bisa menemukan hidung Edward mengeluarkan darah segar, bibirnya robek, penipisnya membengkak akibat pukulan dan beberapa memar kebiruan di wajahnya. Hal itu menunjukan jika Edward tidak dalam keadaan baik-baik saja.

"Kami diserang saat perjalanan pulang. Aku tidak tau siapa mereka. Tapi aku yakin ini ada sangkut pautnya dengan teror yang selama ini aku alami." Tangan Edward terkepal kuat di atas lutut. "Aku lalai menjaga Elora. Maafkan aku, Dokter Aron."

"Lagi-lagi kau tidak bisa menjaga putriku!" Sahut Wilda, sedikit berteriak.

Berbanding terbalik dengan sang istri, Aron justru duduk di sebelah Edward sembari menghusap punggungnya. Edward sedang terguncang hebat dan tidak seharusnya Wilda meneriaki penderita Bipolar Disorder disaat seperti ini.

"Mintalah perawat untuk mengobati lukamu. Bukan hanya Elora yang terluka tapi kau juga."

"Aku tidak mungkin meninggalkan..—"

"Kami akan menjaga Elora. Jangan khawatir. Kau juga harus memikirkan kondisimu, Edward."

Edward yang menyerah pun akhirnya bangkit. Setidaknya Dokter Aron tidak menyalahkannya bahkan pria baik hati itu masih peduli dengan keadaannya. Sembari berjalan guna mencari seorang perawat, Edward merogoh ponselnya di saku celana. Tangannya yang bergetar mencari nomer Malik, dia adalah orang yang selalu Edward butuhkan disaat seperti ini. Katakan Edward tidak tahu diri.

"Hallo, Malik." Ucap Edward cepat. "Datanglah kemari! Aku butuh bantuanmu."

"Tunggu. Ada apa ini, Ed?"

"Aku dan Elora diserang. Dan Elora..—dia mengalami kecelakaan. Aku tidak bisa menjelaskannya di telepon. Aku akan mengirim alamat rumah sakitnya padamu."

"Oke. Aku berangkat sekarang juga!" Malik memutuskan sambungan telepon.

Edward tersenyum kecut memikirkan sesuatu. Malik memang tidak pernah bisa melupakan Elora. Nada khawatir Malik jelas membuktikan bahwa pria itu masih sangat peduli pada gadisnya. Dan mungkin setelah ini Edward harus siap menerima amukan dari Malik. Dia memang pantas menerimanya.

***

"Mereka berjumlah enam orang. Aku tidak bisa mengenali mereka karena tidak ada ciri-ciri khusus. Mereka semua berpakaian sama. Baju, jaket, celana dan topeng yang menutupi wajah mereka semuanya berwarna hitam." Jelas Edward kepada dua orang polisi yang datang untuk meminta keterangan.

Edward duduk diatas brankar dengan penuh emosi. Sedangkan Malik yang sedari tadi mendampinginya pun menyimak apa yang Edward jelaskan dengan wajah serius.

"Apa benar-benar tidak ada ciri-ciri yang lebih spesifik?" Tanya salah satu polisi.

Edward menggeleng, pasrah. Lantas sesuatu melintas di kepalanya. "Mereka menggunakan pisau dan bongkahan kayu untuk menyerangku. Sidik jari mereka pasti masih membekas pada benda-benda tersebut."

THE DEPRESSIVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang