Tiga

861 68 2
                                    

Hari berlanjut, aku semakin nyaman berada di lingkungan ini. Mereka sangat terbuka dengan kehadiran orang baru, tidak seperti apa yang ku bayangkan di awal menginjakkan kaki disini. Tidak ada lagi tatapan intimidasi yang aku dapatkan sebelumnya. Beda hal nya dengan Reynald, cowok sombong yang sok cool, yang semakin hari sikapnya dingin tak tersentuh. Dia hanya baik pada Hedry kurasa, itupun karena ia teman sebangkunya.

Setelah sebulan lebih beradaptasi, aku memutuskan untuk tidak dijemput jika pulang sekolah. Awalnya aku memang diantar-jemput oleh kakek dengan alasan 'sekalian ke lokasi batu'. Kakek dipercaya orang untuk memegang usaha tambang batu dan pasir, juga percetakan batako. Jadi ia justru sangat menikmati masa tuanya dengan penuh kesibukan. Terkadang aku tidak tega melihat kakek seringkali mengeluhkan pinggangnya yang sakit sebab kelelahan. Tapi jiwa kerja kerasnya dan kecintaannya dalam dunia bisnis membuat keluhannya diabaikan.

Meski sudah berani untuk pulang sekolah tanpa dijemput, aku masih membutuhkan kakek untuk mengantar berangkat sekolah. Mengingat aku adalah orang yang suka berangkat sekolah mepet bel masuk.

Aku baru tau ternyata jalan menuju rumahku, Nadin, Adel, Hedry, itu satu arah. Bahkan rumahku dan Nadin hanya terpisah beberapa rumah saja. Jelas aku senang karena ada temen barengan untuk naik angkot. Jika naik kendaraan sendiri rasanya aku belum berani, masih asing dengan lingkungannya.

''Wei, Dry! Ninggalin!'' Aku menengok ke sumber suara. Si cowok songong itu, ternyata kita juga satu arah. ''Ke arah Cibeureum juga?'' Tanyaku basa-basi, entah apa yang ada di otakku sampai mulut harus bertanya kepada manusia batu itu.

''Iya, baru tau? Anter jemput terus sih.'' Jawabnya lirih, mungkin hanya aku yang mendengar, sebab Nadin dan Adel sedang ribut berdua menonton video clip dari salah satu grup K-pop. Reynald menghampiri Hedry yang duduk di kursi tak jauh dari tempat kami berdiri, memang jaman sekarang semua serba terbalik, cewek berdiri dan cowok yang duduk.

Mataku tak bisa melepas pandangan darinya, kulihat Hedry cukup akrab dengannya. Mereka berbincang seru sambil menatap satu layar gadget yang ada di tangan Reynald, apalagi jika tidak sedang membahas game. Tangan Hedry menunjuk kearah layar benda tipis hitam itu, membuat Reynald mengangkat wajah yang sedari tadi menunduk, lalu tertawa.

Aku menahan nafasku melihat kejadian itu, untuk pertama kalinya aku melihat Reynald tertawa lepas, satu kata yang langsung terngiang di otakku, ganteng.

''Itu angkotnya, ayo, Mei!'' Adel menarik tanganku, kami masuk ke dalam angkot. ''Mang, Cibodas!''

''Cibodas nu mana? Ayana oge Cibeureum kaditu mah.'' (Cibodas yang mana? adanya juga Cibeureum kesitu mah.) Supir yang tadi sudah menginjak pedal gas langsung berganti menginjak rem.

''Nya he'eh pan kebalikanna Cibodas teh Cibeureum.'' (Iya, kan kebalikannya Cibodas itu Cibeureum.) Adel menjawab tidak mau kalah.

''Ari ieu rek ka Cibodas atau Cibeureum?'' (Ini mau ke Cibodas atau Cibeureum?)

''Atuh da sarua wae! Pan sodaraan, jiga anu di tipi tea.'' (Ya sama aja, kan mereka sodaraan kaya yang ditv itu.)

''Nya beda atuh,...''

''Cibeureum, Mang! Tong didengekeun, nu gelo manehna mah.'' (Ke Cibeureum, Mang! Jangan didengerin, gila dia tuh.)
Nadin memutus perdebatan tidak penting antara Adek dan supir angkot. Adel menyengir tanpa dosa ke arah Nadin yang sudah berwajah garang.

''Tumben naik angkot?'' Tanya Hedry.

''Udah biasa kali, lo aja yang gak tau, hehehe...'' jawabku dengan candaan sok asik. Hedry itu sama dengan Reynald, dari 16 orang laki-laki di kelas mereka berdua lah yang tidak banyak tingkah. Bedanya Hedry lebih ramah dan menyenangkan untuk diajak berteman.

''Alaaah... ngeles aja kayak bajaj!'' Hedry tertawa. Aku terpaku melihat Reynald dengan wajah tenangnya merasakan angin yang menerpa, rambutnya teracak-acak oleh hembusan angin membuat siapapun yang melihat akan berdebar jantungnya. Dia duduk di pintu angkot. Setelah beberapa kali pulang bersama aku jadi tau, itu adalah tempat favoritnya. Jika tidak bisa duduk di pintu angkot, dia rela menunggu angkot berikutnya.

***

Suasana kelas sangat ramai karena guru Matematika yang terkenal galak sedang izin mengurus anaknya yang sakit. Hebatnya lagi, beliau tidak meninggalkan tugas, YEAY!

Aku memilih untuk membaca novel fiksi berbahasa inggris sambil sesekali membuka kamus jika ada kosa kata yang tidak ku mengerti. Sedang Nadin sibuk dengan soal matematikanya, jika sudah begitu, maka mengganggunya sama dengan menganggu macan tidur. Anak lain ada yang bergosip ria, ada juga yang mencoret-coret papan tulis, hingga bergerombol di belakang kelas untuk bermain game bersama.

Tiba-tiba kegaduhan berasal dari sektor barisan kursi paling kanan, sontak aku menengok ke arah itu. Deri, si cowok pintar dengan senyum manisnya, ya, aku menyukainya. Deri berlari menaiki meja dan kursi sambil membawa buku kecil berwarna putih kusam dengan pulpen yang tersambung oleh tali kur. Bisa ku tebak itu adalah buku diary, ah, lucunya dia.

Dia tertawa sambil mengangkat buku itu tinggi-tinggi, dibawahnya ada Felia dengan mata berkaca-kaca dan muka yang memerah. Anak-anak lain yang tadinya sibuk dengan kegiatannya masing-masing kini hanya tertuju pada satu perhatian. Suasana kelas penuh dengan sorakan, tepuk tangan dan tawa yang menggelegar, seakan ini adalah pertandingan bola. Aku mengerutkan keningku, tebakanku salah, buku itu milik Felia. Aku dan Nadin tidak mau ketinggalan momen ini, kami tentu lebih memilih menyaksikan lebih lanjut apa yang akan terjadi daripada tumpukan kertas di meja kami.

''Wey... dengerin nih, Felia mau curhat!'' Dery berteriak masih disisa tawanya. Aku tau ini salah, tapi tidak bisa dibohongi bahwa semua orang pasti ingin tau apa isi diary milik temannya. ''Jangan atuh, Der!''

Air mata Felia semakin deras, sambil terus meloncat-loncat, tangannya masih mencoba meraih bukunya. Lisa dan Vani berusaha mencegah, mereka berdua adalah pentolan geng yang berisi hampir semua murid cewek dikelas.

Jika kalian bertanya siapakah yang tidak termasuk didalam geng-nya? Dengan bangga kujawab hanya aku, Nadin, Adel---yang sesekali diajak hanya untuk dimanfaatkan oleh mereka, dan satu lagi Yani, cewek yang selalu jadi bahan bully disekolah.

''Deeeaar... Reeeeeynald!'' Mendengar nama itu aku menoleh ke arah seseorang yang namanya disebut, seperti biasa, ia hanya tertunduk diam dengan gadget ditangannya seakan sedang tidak terjadi apa-apa.

Hedry nampaknya juga tertarik, entah karena kegaduhannya atau karena nama teman disampingnya itu disebut, yang jelas Hedry ikut mendekat ke kerumunan anak-anak cowok lalu merangkul Pendi sambil tertawa.

TBC

#SapaAuthor

Haaiiii... gimana part ketiga ini? Belum seru ya?
Tapi kira-kira Dery mau bacain apa nih dari buku diarynya Felia? Simak kelanjutannya di part selanjutnya ya...
Jangan lupa juga nih setelah baca klik tombol bintang, terus comment, dan share ke temen kalian juga. Lumayan buat bahan gosip daripada ngomongin orang lain, dosa kan... mending ngomongin Reynald sama Meira aja. ^^

Maaf kalau ceritanya ngebosenin, silahkan kasih kritik atau saran. Sangat teramat aku terima, makasih sudah meluangkan waktu untuk membaca ceritaku. I love you guys!!

One step closer with Author
@Maulidarzk_ on Instagram

CHAMELEONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang