Sembilan

551 44 0
                                    

Happy Reading!

Minggu pagi kali ini aku merasa semangat dalam tubuhku full. Setelah shalat subuh aku langsung memutuskan untuk ke dapur membantu nenek menyiapkan sarapan tanpa leha-leha terlebih dahulu di kamar.

Pintu depan rumah terketuk tiga kali membuatku langsung mengambil langkah cepat untuk membukakan pintu. Aku berfikir itu tamu kakek, karena sehari sebelumnya kakek bilang bahwa akan ada orang yang mau mengajak kerjasama dalam pembangunan proyek waterboom.

"Iya... tunggu sebentar."

Kubuka pintu dan terkejut melihat Reynald sudah tersenyum manis memamerkan jajaran gigi putihnya. "Aduh, baru bangun lo?" Ia menatapku risih. Aku tersadar bahwa aku belum sempat merapikan ikatan rambut yang berantakan dengan baju tidur bergambar kartun. Untung tamunya bukan tamu kakek, kalau iya, mau ditaruh mana muka kakek.

Refleks ku tutup lagi pintu untuk membenarkan ikatan rambutku, lalu mengusap-usap wajah terutama bagian mulut, takut ada bercak pulau yang menempel pada muka.

"Temenin jogging dong!" Teriaknya dari luar. Merasa cukup rapi, aku membuka lagi pintu dan dia menaikturunkan alisnya seraya tersenyum tipis.

"Gak bisa, gue lagi sibuk! Nanti mau ada tamu, terus ada janji juga sama Adel sama Nadin."

Ia mengangkat bahu lalu berbalik, berjalan menuju ke sisi rumah tepatnya arah dapur. "Heh, mau kemana lo?"

"Izin sama nenek-kakek lo."

"Kan gue bilang gak mau!" Gemas dan kesalku bercampur, Ia nekat mengetuk pintu dapur lalu kakek membukanya, "eh, iyaa... temennya Memei, ya?" Tanya kakek tersenyum ramah, mungkin beliau sudah mengintip dari balik jendela dapur.

"Iya, Kek, mau ngajak lari pagi."

"Oh iya, sok weh. Gak papa, paksa aja kalo gak mau." Setelahnya ia pamit dengan kakek, lalu menghampiriku dengan raut wajah sombongnya, tersirat rasa pamer kalau ia menang.

Reynald mengancam dengan kalimat yang kuyakinkan bukan dari kakek, karena jarak teras depan dengan pintu samping tidak terlalu jauh jadi aku bisa mendengar semua percakapan mereka.

Reynald bilang kakek dan nenek tidak akan memberiku jatah jajan dan makan selama sebulan jika tidak mau menerima ajakannya.

Malas untuk berdebat lagi, yang sudah tau akhirnya pasti akan kalah, aku memilih untuk tidak menjawab perkataannya.

Dengan berat hati dan langkah malas aku susah payah menyeret kaki menuju kamar untuk berganti baju. Ku hentak-hentakkan kaki sambil menangis kencang yang sebenarnya hanya ku buat-buat. Aku yakin Reynald sedang tertawa puas diluar sana.

Kamipun berlari mengelilingi komplek perumahan. Memang rumah kakek dan tempat tinggal Reynald hanya berjarak sekitar 1km. Baru berlari kira-kira 1,5 km aku mulai memelankan langkahku karena sudah tidak kuat.

Menyadari itu, Reynald menarik lengan kaos ku agar terus berlari.

"Pelan-pelan, Rey! Gue udah gak kuat!" Keluhku dengan nafas yang sudah menipis dan langkah yang mulai tertatih-tatih. Keringatku bahkan sudah mengucur deras, padahal ini masih pukul setengah 6 pagi. Memang Reynald menjemput ke rumah tepat setelah waktu shalat subuh.

"Ya elah, ini baru juga berapa meter. Ayo semangat dong, Memei!" Ia memelankan langkahnya menyeimbangkan ku, membuatku mencuri kesempatan untuk berhenti.

"Heh! Jangan panggil gue kayak gitu! Nama itu cuma buat orang khusus yang spesial aja!"

"Loh, gue kan spesial."

"Spesial apanya? Cowok rese, ngeselin kayak lo gak ada spesial-spesialnya!"

"Spesial dong, kan gue pake sosis sama telor dua. Gak percaya?" Ia menambah beban pada tubuhku dengan menaruh lengannya di bahuku.

"Lo kira nasi goreng!" Sahutku kesal sambil melepaskan rangkulannya. Ia tertawa kencang lalu melanjutkan larinya.

"Lo boleh duduk, tapi jangan coba-coba buat pulang!" Teriaknya seakan tau isi hatiku.

Aku memutuskan untuk duduk di taman bundaran di tengah perapatan gang komplek. Menunggu sekitar hampir setengah jam, sesekali memijat kaki yang terasa pegal. Tidak ada tanda-tanda Reynald akan kembali, menaruh curiga padanya yang pasti hanya mengerjaiku, lagi, akupun bangkit dari dudukku dan melangkah pulang.

Sesampainya dirumah, tebak siapa yang ku lihat? Ya, Reynald sedang duduk santai di kursi teras sambil berbincang dengan kakek, kulihat ada teh dan beberapa toples kue di atas meja.

"Reynaaaaaald..!" Teriakku hingga urat leher timbul semua.

"Itu Meira, Kek, tadi udah aku tawarin pulang eh katanya dia masih mau lari. Hebat loh dia, Kek, gak ada capeknya."

"Waduuuh... keren kamu, kuat juga ternyata! Kirain mah kamu kerjaannya tidur terus kalo suruh lari bakal loyo. Tapi jangan dipaksain, Mei, mending rutin nanti yang ada badan kamu sakit kalo kayak gini." Jawab kakek lalu menyeruput teh nya, "hayu, Jang, diminum heula." Ujang, panggilan orang sunda untuk anak laki-laki.

Reynald mengangguk lalu melempar senyum meledek ke arahku. Aku yang mendapat perlakuan seperti itu hanya bisa tertawa lirih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

Jika awalnya kalian mengira Reynald datang dengan sebotol air mineral untukku, memijat kakiku yang sakit, kemudian memapahku berjalan dan mengantarku pulang maka kalian salah besar. Reynald bukanlah cowok macam itu.

Aku yakin dia tidak pernah pacaran, karena gak akan ada satupun cewek yang mau sama dia.

Aku masuk melalui pintu dapur, kemudian memeluk nenek yang sedang menyiapkan sarapan, lantas menangis. "Nek, capek... dia tuh ganggu aku terus, ngerjain aku terus. Aku gak tau salahku apa ke dia..."

Aduku pada nenek yang malah tampak bingung dengan apa yang terjadu. "Kenapa, Neng? Kok pulang-pulang nangis? Udah gede atuh ih, ngerakeun... kalo gak kuat lari makanya jangan maksain." (Ngerakeun=malu-maluin).

Bingung harus menjawab apa lagi, karena jika dijelaskan pun rasanya percuma. Antara nenek tetap tidak paham juga nenek tidak percaya. Aku melepas pelukan nenek, hanya diam meski terus menangis sesegukan.
Rasanya beban menumpuk di hati dan otakku. Dengan langkah malas aku berjalan menuju kamar. Baru kali ini aku merasa seperti korban bullying.

Melupakan segala rencana ku hari ini, yang ku lakukan malah kembali tertidur pada kasur yang empuk.

TBC

CHAMELEONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang