Empatpuluh Tiga

465 31 3
                                    

Happy Reading!

"Masih suka gimana?" Reynald mulai menepikan mobilnya ke rumah makan padang.

Reynald turun begitupun denganku yang memilih berjalan dibelakangnya,

"Lo bukan ajudan gue!" Reynald meraih pundakku namun kutepis dengan cepat.

Aku hanya memesan lemon tea hangat berharap itu bisa mengobati keresahanku, sedangkan didepan Reynald ada sepiring nasi lengkap dengan rendang, udang kremes, dan sayur.

Sebenarnya aku tergoda, namun kutahan demi harga diri seorang wanita. "Kenapa gak mau makan?"

"Lo belum jawab pertanyaan gue!" sahutku mengabaikan pertanyaannya.

"Gue udah gak suka sama Jasmine, lagian waktu itu belum suka-suka banget kok."

"Bohong!"

"Kok lo ngeraguin gue?"

"Waktu Nadin nanya lo ditangga, lo gak bisa jawab." satu tetes air mataku jatuh, ternyata tidak semudah itu membiarkan pasangan kita dekat dengan cewek lain.

Terlebih kita tau, lawannya berada 10 tingkat diatas kita. Bukan rela atau tidak rela sekarang permasalahannya, melainkan takut kalah saing.

"Gue jawab! gue geleng-geleng kok waktu itu!" sahut Reynald dengan muka polosnya.

"Gak percaya."

Reynald mengangguk seraya tersenyum, "Ketika seseorang berbicara untuk meluruskan, dia akan menerima tiga resiko, pertama langsung dipercaya, kedua diragukan karena tidak punya bukti, dan ketiga tidak dipercaya mentah-mentah."

"...gue yakin, gue ada diposisi kedua, karena lo bukan gak percaya dengan apa yang gue omongin, tapi lo butuh bukti dan sayangnya gue gak punya cukup bukti kalau gue udah gak suka sama Jasmine."

"Tapi, Mei, gue bisa buktiin kalau lo selalu menang di hati gue. Setangguh apapun lawannya gue pastikan mereka bakal kalah, karena gue mau lo yang menang."

Aku terpaku menatapnya, satu tetes air jatuh kembali membasahi pipi membuatku tersadar, "Makan dulu." saranku padanya.

Ia mulai menyantap makanannya, sedang aku larut dalam fikiran tentang perkataannya tadi.

Terkadang hati gitu ya, lebih egois daripada logika. Logika sudah meminta diri untuk berhenti, namun hati selalu meminta ingin mencoba sekali lagi.

Percaya atau tidak ketika logika sudah menolak namun hati masih mau menerima, di menit selanjutnya logika akan mendadak setuju dengan kata hati.

"Kenapa lo gak pernah ngerasa bersalah setiap kali ngelakuin kesalahan?" Serangku ketika makanan diatas piringnya sudah ludes tak tertisa, bahkan sebiji nasipun.

"Ketika gue berkali-kali minta maaf sebab merasa bersalah, itu berarti gue mengiyakan apa yang ada difikiran lo. Tapi ketika gue diem, lo pasti mikir kenapa gue gak minta maaf, dan akan ada waktunya lo sadar kalau memang gak ada kesalahan yang harus dimaafkan."

"Tapi kalau lo diem kaya gitu tanpa penjelasan malah bikin gue sedih."

"Justru itu, karena lo sedih cara gue nunjukkin penyesalan, ya, dengan ngehibur lo, ngasih sesuatu yang bisa bikin lo seneng lagi, bukan minta maaf terus lo iyakan, padahal luka dihati lo belum sembuh."

"Nyogok?"

"Bukan nyogok, Sayang, tapi strategi. Dalam hidup itu kita harus punya strategi, gimana caranya biar langkah kita tepat sasaran."

"Terus kenapa lo ninggalin gue?"

"Hehehe... iseng aja, sebenernya gue balik ke kafe ambil tiramisunya, pas balik-balik lo udah gak ada, gue lacak ternyata lo udah nyampe Ciwalk."

"Terus?"

"Ya terus ketemu Jasmine, dia nanya ke gue ngapain mondar-mandir didepan air mancur, gue jawab aja lagi panik nyari pacar yang ilang."

"Ish!" aku mulai tersenyum mendengar ceritanya,

"Tapi kok bisa ke restoran bareng?"

"Dia maksa ngajak makan, katanya mau cerita basket di sekolah lama gue gitu, gue iyain aja dengan syarat harus bantu cari lo. Seenggaknya gue gak kayak orang bego yang keliling sendirian, ditambah lo gak mau angkat telfon gue."

"Jasmine mau?" tanyaku heran, gerak-gerik Jasmine kemarin tampak sekali kalau dia sedang modus, pasti dia tidak mau mencariku,

"Awalnya nolak." Tuhkan, apa kataku.

"...terus gue bilang, kalau gak mau ya gak papa gue bisa cari sendiri, soalnya gue kesitu mau ngedate, bukan mau dengerin dia cerita."

Tawaku pecah mendengar penuturannya yang nampak asli tidak dibuat-buat, Reynald memang bisa sekejam itu dengan orang.

Jangankan orang lain, hati pacarnya saja kadang tidak dia pedulikan.

"Terus dia bilang apa?" tanyaku semakin penasaran dengan kisah selanjutnya,

"Ya dia mau, biasa lah, pesona gue kan emang gak bisa ditolak."

"Ngeseliiiiin..." kujambak rambutnya yang berantakan sebab sudah mulai memanjang. Ia melepaskan tanganku dari kepalanya, "Udah terjawab semua?"

"Satu lagi, kenapa lo bersikap manis gitu sama dia? Pake narikin kursi segala, sama gue boro-boro."

"Lo yang bilang bukan, harus mulai baik lagi dengan orang lain, dan itu baik cara gue ke orang lain, dulu."

"Pantes aja pada salah paham! Baik-nya dikontrol juga kali, gak berlebihan."

"Seorang cowok narikin kursi untuk cewek itu biasa, menjadi luar biasa karena ceweknya gampang baper! Terlebih gue lagi yang ngelakuin, coba mas-mas pelayan yang narikin, pasti beda cerita kan?" Reynald terkekeh diujung ucapannya.

"Kalo menurut lo narikin kursi buat cewek itu biasa, terus yang gak biasa apa?" ucapku kesal,

"Yang gak biasa itu kalau cowok ngajak ceweknya duduk berdua di satu kursi." Ia menaik-turunkan kedua alisnya,

"Sompral lu!" ku semprot minumanku kearahnya menggunakan sedotan.

"Maksud gue ngajak duduk berdua di satu kursi pelaminan, otak lo udah kemana-mana kan pasti. Ck, payah, punya cewek otaknya kotor gak ketulungan." Ia mengusap rambutku seperti menyapu kotoran.

Dengan cepat kuraih pegangan gelas bersiap untuk menyiramnya, namun dengan sigap ia menahan. "Ada yang mau ditanyain lagi gak?"

"Udah..." kusauti dengan senyuman,

"Gak marah lagi?"

"Enggak."

"Gak diemin gue lagi?"

"Iya, enggak."

"Gak bakal bahas Iqbaal lagi?"

"Hahaha iya iya, enggak."

"Hahaha... lo itu kayak morfin."

"Kok bisa gitu?"

"Bisa menimbulkan euforia atau rasa senang berlebihan, kebingungan dan berkeringat kalau lagi marah kaya tadi, menyebabkan jantung berdebar, gelisah kalau gak ada kabar, dan perubahan suasana hati dengan cepat."

Hatiku berdentum dan bergejolak, rasa senang menyeruak mendengar semua penjelasan Reynald hari ini.

Aku sadar, selama ini memang Reynald hanya meminta maaf ketika dia berbuat salah. Sebagai contoh ketika ia mendiamkanku selama empat hari.

"Sekarang lo makan ya, gue pesenin, mau makan apa?"

"Gak usah, gue gak laper."

"Oke, ayam goreng kremes tanpa sayur tanpa sambel, pake kuah rendang sama kuah karinya dibanyakin, minumnya es teh gulanya sedikit. Ada permintaan lain?" ucapnya mengabaikan penolakanku.

Reynald sangat tau apa yang ku suka.
"Hahaha... Lo hafal banget."

"Nama bapak lo aja gue hafal."

"Ngapain juga ngafalin nama bapak gue!"

"Buat kita ijab nanti lah."

TBC

CHAMELEONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang