Tigapuluh empat

368 32 2
                                    

Happy reading!

Raut wajah Nenek pucat, sesekali ia terbatuk sambil memegang dadanya. Katanya kepalanya pusing, dan perutnya perih seperti terlilit.

Aku selalu khawatir jika melihat Nenek sakit, fikiranku selalu melayang kemana-mana.

Kusuruh Nenek untuk beristirahat saja di kamar, aku bisa sarapan disekolah.

Pintu samping rumah terketuk, aku sudah tau siapa pelakunya, Reynald. Setelah berpamit pada nenek dan memastikan kalau nenek sudah minum obat, aku keluar menemui Reynald.

Ia tersenyum lebar mengucapkan selamat pagi.
"Cocok jadi pegawai swalayan lu." ucapku membuatnya menyentil dahiku.

Aku sudah siap dengan tas punggung berwarna biru laut berpadu dengan abu-abu.

Kulihat tidak ada motor atau mobil yang terparkir di depan rumah. "Motor atau mobil lo mana?"

"Dirumah."

"Terus kita jalan?" tanyaku dengan nada yang terdengar meremehkan.

"Sejak kapan lo jadi cewek matre?" ia meniru gaya bicaraku.

"...kita naik angkot."

Aku menatapnya aneh, "gak mau?" tanyanya lagi.

"Mau kok..."

Setelah kedua tali terikat sempurna aku lantas berdiri lalu berjalan, berbeda dengan Reynald yang hanya terdiam ditempat dengan kedua tangan ia masukkan kedalam kantung hoodie-nya, seperti orang sedang berteluk pinggang.

"Nungguin apa lagi?" tanya ku menengok kepadanya.

Ia terdiam menatapku dan melirik kearah lengan kanannya seperti memberi kode.

Aku mengernyit tak paham, ia memutar bola matanya menghampiriku. Tangan kirinya meraih tanganku lalu disangkutkan pada lengan kanannya.

"Biar kaya pengantin..."

"Idih, najong!" aku langsung menggeplak bahunya, tawanya pecah melihatku bergidik sambil berjalan memimpin tiga langkah didepan.

Aku masuk ke dalam angkot, seperti biasa Reynald duduk di bagian pintu. Aku meyukai Reynald seperti ini, yang tenang tidak pecicilan juga bersikap tengil, karena kadar kegantengannya akan bertambah 10 kali lipat, lebay deh.

"Kiri..." ia menghentikan angkot ketika hampir sampai Gang Jambu, aku mendesah malas.

Reynald memberi kode padaku untuk turun, dengan berat hati kuturuti kemauannya.

"Ayo kita balap lari, nge-test kemampuan lari lo setelah sekian lama gak gue turunin disini." Katanya dengan semangat,

"Males ah..."

"Yang kalah nraktir mi ayam..." katanya,

"Yaudah gue ngalah aja, nanti gue traktir! mi ayam doang."

"Nraktir mi ayam anak sekelas..." Reynald mencuri start membuatku kelabakan, ku kejar ia dengan segenap daya dan upaya.

"Curang lo!" teriakku kesal, menyerah sebab larinya secepat kilat tak terkejar.

Reynald sudah menungguku didepan gerbang sekolah, ia tertawa meledek ke arahku. "Inget! istirahat nraktir anak sekelas mi ayam."

"Gak ada, lo curang!" kesalku berjalan melewatinya, ia mensejajarkan langkahnya denganku masih dengan sisa tawanya.

Sampai dikoridor kelas 11 Reynald menarik tanganku untuk mempercepat langkah, aku tak menolak sebab akan percuma, menghabiskan tenaga saja.

Reynald berada satu langkah di depanku, sedangkan dua langkah didepan kami ada Fandi, murid pindahan SLB yang sering dijadikan bahan olok-olokan oleh murid cowok.

CHAMELEONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang