Tigapuluh satu

383 36 4
                                    

Happy reading!

Aku terbangun bukan karena suara alarm yang setiap malamnya kusetel untuk bangun pagi. Ini sudah panggilan kelima yang membuatku mendesah malas.

Kulihat jam wekerku ini masih pukul 01:00 dini hari. Tanpa melihat nama aku langsung menggeser tombol hijau.

"Hmm..." sapaku malas, namun tidak jua mendapat balasan suara dari seberang sana.

"Haloo..." kusapa lagi masih dengan suara lemas khas bangun tidur.

"Mei..." suara bariton yang terdengar lirih itu membuat mataku melek sempurna,

"Ada apa, Rey? Kok malem-malem telfon." sahutku sedikit gelisah.

"Oma..." suaranya semakin memelan, membuat hatiku tak tenang.

"Kenapa?" aku mencoba mengontrol rasa panikku,

"Oma bilang selamat ulang tahun buat Meira Xavira." Aku menghela nafasku yang beberapa detik lalu sempat tertahan, tanpa sadar aku menangis terharu.

"Loh kok nangis?" kudengar kekehannya.

"Lo selalu bikin gue deg-degan." ucapku disela tangis.

"Hahaha... keluar dong! lilinnya keburu mati."

Aku langsung mematikan sambungan telfonnya. Turun dari kasur lalu menyibak gorden kamarku, kulihat ia melambaikan tangan dari atas motornya.

Dengan terburu-buru aku merapikan rambut dan baju tidurku, perlahan membuka kunci pintu takut mengganggu tidur nenek dan kakek.

Udara malam itu kelewat dingin karena sejak siang hujan sudah mengguyur kota ini tanpa ampun.

"Ngapain sih malem-malem, kayak gak ada besok aja..." ucapku sambil membuka kunci gerbang, kulihat tidak ada kue tart atau kado melainkan hanya satu batang lilin mati lampu yang ia pegang di tangan kanannya, tangan kirinya memeluk tubuhnya untuk mengurangi dingin yang menusuk.

"Ditiup dulu dong lilinnya..."

"idiot." ucapku sambil terkekeh lalu meniup lilinnya.

Sebelumnya ia menyuruhku membuat harapan, aku menurutinya. Sejujurnya aku tidak percaya dengan hal seperti itu, aku hanya ingin menghargainya.

Beberapa saat setelah lilin mati ia merogoh kantongnya mengambil korek api dan menyalakan lilin itu kembali, ku tiup lagi.

Ia kembali menyalakan dan terus ku tiup sampai percobaannya yang ketiga,
"Jangan ditiup terus ih." katanya kesal namun terkikik geli,

"...Gue kedinginan tau." lanjutnya.

"Salah lo ngapain tengah malem keluar, kurang kerjaan! Gue ngantuk banget..." keluhku sambil memijat dahi, dibangunkan secara tiba-tiba membuat kepala sedikit pening.

"Lo cantik deh."
Aku mengangkat wajahku menatapnya, ia tersenyum tipis.

Untungnya tidak ada yang tau kalau Reynald punya senyum maut semacam ini, jika ada, jelas sainganku akan tambah banyak.

"Maaf ya, buat semua yang udah gue lakuin ke lo, bikin lo nangis, bikin lo kesel bahkan marah. Gak ada maksud sedikitpun bikin lo gak nyaman sebenernya. Seneng bisa kenal lo juga keluarga lo sejauh ini. Sampai rasa sayang gue ke nenek sama kaya sayang gue ke oma."

Bibirku kelu tidak bisa menjawab, air mata haru perlahan turun tanpa perintah.

"Terimakasih sudah menjadi sosok cewek yang menyebalkan sekaligus menyenangkan, terimakasih sudah membuat ruang kosong diotakku terisi, terimakasih sudah menyebabkan rindu yang seringkali tidak mengenal waktu. Tapi sejauh ini aku senang, senang karena aku tidak memikirkanmu sendirian, senang karena rinduku selalu berbalas."

CHAMELEONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang