Empatpuluh satu

330 32 0
                                    

Happy reading!

Sesampainya dirumah, respon nenek sama seperti Mang Jajang saat pertama kali melihatku. Nenek langsung menyusulku masuk ke dalam kamar.

"Meiii, kenapa, Geulis?"

"Reynald selingkuh..." jawabku dengan sesegukan,

"Selingkuh kumaha? yang bener atuh ceritanya."

Aku menceritakan kejadian itu dengan lengkap, tidak kutambahi dan tidak kukurangi. Nenek mendekapku sambil mengelus rambut hitamku yang kusut karena tertidur diperjalanan pulang.

"Kamu kan belum dengerin penjelasannya, gimana bisa tau dia selingkuh?"

"Reynald tadi romantis banget, Nek, sama ceweknya! pake narikin kursi segala, aku mana pernah digituin sama dia."

"...aku tau alesannya kenapa pas di kafe dia sok manis, dia berharap aku gak marah karena mau ketemu selingkuhannya." jelasku dengan terbata-bata sebab sambil menangis.

Mataku sudah sembab membuatku pandanganku memburam.

"Iiih... gak boleh su'udzon atuh dosa."
Aku kembali menangis dipelukan nenek, jika begini memang hanya nenek yang bisa menenangkanku, sejak dulu tidak ada yang bisa menandinginya.

Ibuku itu galak dalam mendidik anak, wajar jika bukan tenang malah aku takut padanya.

***

Aku menceritakan pada nenek tentang kue tiramisu yang enak tadi, lalu iseng ku cari resepnya di internet.

"Nek, bikin tiramisu yuk, gampang nih..."

"Iya sok, kamu beli dulu bahannya gih."

Aku menerima uang dari nenek untuk membeli bahan kue.

Langkahku memasuki swalayan besar bercat merah, kuning, dan biru. AC yang dingin membuat mood ku kembali baik, tentu juga berkat deretan makanan yang memanggil-manggil untuk dimasukkan kedalam keranjang belanjaanku.

Setelah merasa cukup, aku bergegas menuju ke kasir untuk membayarnya.

Sampai dirumah kulihat mobil sedan yang tak asing lagi sudah terpakir cantik di halaman rumah kakek, kulirik pemiliknya yang terduduk di kursi teras masih belum sadar dengan kehadiranku sampai aku memakirkan motor disamping mobil milik kakek.

"Assalamu'alaikum..."

"Wa'alaikusalam... itu ada Reynald, ditemuin dulu."

"Nenek aja, aku males."

"Gak boleh gitu, kalau memang kamu mau selesai ya selesaikan baik-baik. Kan udah 18 tahun harus dewasa, jangan kayak gini, lari dari masalah."

"Nek, aku butuh waktu buat gak ketemu dia dulu."

Nenek yang memegang kedua bahuku lalu menatapku, kali ini tatapannya beda, terlihat sayu dan lelah, kutepis segala fikiran burukku.

"Ya udah, kamu siapin alat sama bahannya aja ya." Nenek mengusap lenganku, entah perasaanku saja atau memang begitu keadaanya, wajah Nenek sangat pucat.

CHAMELEONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang