Tujuh belas

437 39 0
                                    

Hari ini aku diantar kakek, karena sampai pukul 06:30 Reynald tidak juga datang. Tidak seperti biasanya, sesampai di disekolah hatiku mendadak gelisah. Aku berjalan menunduk hanya sesekali mengangkat wajah untuk memberi senyum kepada orang yang kukenal.

Tiba di koridor kelas XII, lantai 2. Gerombolan Deri, Dadang, Cecep, Iwan dan tiga anak laki-laki lain yang tidak ku kenal, mereka berjalan menuju tangga berlawanan arah denganku.

"Ternyata kayak gitu ya..." celetuk Deri ketika jarak kami berbeda 2 langkah, aku tersenyum menyapanya namun tak terbalas.

"Laporin aja lah." Ucap anak berambut botak di samping Iwan.

"Laporin, laporin!" Mereka saling bersautan berlalu melewatiku.

Aku berusaha tidak peduli meski kegelisahan hatiku pagi ini seperti terdukung oleh perkataan mereka. Tidak mau ambil pusing, mereka hanya berbicara tanpa menatapku, mungkin mereka sedang bergosip atau sedang mengolok-olok satu sama lain seperti yang kebanyakan anak laki-laki lakukan ketika bergerombol.

Masuk ke dalam kelas dan benar saja Reynald atau minimal tasnya belum mengisi singgasana-nya.

Bel masuk berbunyi, kelas yang tadinya hanya terisi 6 orang kini mulai ramai. Aku melihat Reynald baru saja masuk, tas punggungnya tersampir di salah satu pundaknya. "Kesiangan..." dia berbicara tanpa suara ke arahku dengan memamerkan giginya. Aku membalas dengan anggukan dan kekehan melihat, ganteng sekali dia hari ini.

Pak Asep masuk ke dalam kelas bersama dengan gerombolan Deri yang tadi ku temui di koridor, bedanya tiga anak lain tidak ikut karena mereka beda kelas.

Mendengar dari obrolan anak-anak, empat jam pelajaran pertama hari ini kosong sebab beberapa guru ada yang ikut kumpulan PGRI daerah. Mungkin Pak Asep adalah guru piket hari ini, atau bisa juga Pak Asep adalah satu-satunya guru yang tersisa di sekolah.

"Selamat malam, anak-anak."

"Pagiiiii, Paaaak!"

"Luar biasa semangatnya!!! Tepuk tangan untuk kita semua." Pak Asep bertepuk tangan diikuti seluruh kelas yang juga turut meramaikan dengan tawa, tepuk tangan, dan gebrakan meja.

"Pelajaran pertama hari ini apa?"

"Sejarah..." jawab kami dengan kompak.

"Sejarah itu berarti masa lalu ya anak-anak, siapa yang disini belum move on?"

Kelas menjadi ramai oleh suara kami yang saling tunjuk-menunjuk. "Meira!"

"Iya, Pak."

"Udah move on belum?"

"Hahaha... move on dari siapa, Pak?"

"Gak punya mantan?"

"Punya..." jawabku malu-malu.

"Masih sayang?"

"Ya enggak atuh, Pak. Kalo masih sayang mah gak bakal jadi mantan."

Pak Asep dan anak-anak lain tertawa mendengar jawabanku, beberapa bersorak mendukung. Aku menengok ke Reynald, mengedipkan satu mataku ke arah Reynald. Ia terkekeh sebab tingkah genitku.

"Bisaan euy! Memang ya anak-anak mantan itu hanya untuk dikenang, bukan di sayang." Ucap Pak Asep

Suasana kelas sangat ramai pagi ini, cukup membuatku lupa dengan kegelisahan yang sejak tadi mengganggu fikiran.

"Pak, mau ngomong." Deri yang sedari tampak tak minat kini buka suara.

"Lah itu kan ngomong." Saut Pak Asep dengan muka berlagak kaget. Suasana kelas menjadi hening, semua mata tertuju pada Deri.

CHAMELEONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang