Empat puluh

323 27 0
                                    

Happy reading!

Perjalanan dari Lembang ke Bandung cukup jauh,  jadi aku memilih untuk masuk kedalam Ciwalk untuk berkeliling sebentar menenangkan fikiran dan mencuci mata, barangkali beruntung ada cowok baik hati, perhatian, lembut dan yang pasti jauh dengan sifatnya Reynald.

Keluar masuk toko pakaian dan sepatu adalah hal wajib jika aku mengunjungi pusat perbelajaan, meskipun tidak membeli. Aku tidak mau memaksakan membuang uang hanya karena rayuan diskon besar, jika aku tidak suka barangnya maka untuk apa dibeli.

Setelah puas berjalan-jalan perutku mulai keroncongan, terbayang makan ayam bakar dan sambal kemangi siang-siang begini bikin liur ingin berjatuhan, apalagi jika disantap bareng nasi liwet.

Kumasuki restoran dengan suasana sunda-modern karena berada di dalam pusat perbelanjaan.

Sayup-sayup lagu sunda yang mendayu menggema di semua sudut ruangan. Seperti menenangkan hatiku yang sedang tidak baik.

"Wilujeng sumping, Teteh, untuk berapa orang?"

"1 aja."

Setelahnya greater itu mengantarku menuju meja berisikan dua kursi.

Sialan! aku bilang kan satu, kenapa kursinya dua, dia mau meledekku yang baru saja ditinggal oleh pacar tidak bertanggung jawab? Sudah berhasil bikin baper, lalu ditinggal tanpa basi-basi.

"Langsung pesen aja ya, Teh!" ucapku sambil melihat menu-menu yang kebanyakan paket keluarga atau minimal dua orang, kayaknya aku beneran salah pilih restoran, harusnya restoran khusus jomblo yang kumasuki.

"Yang paket personal gak ada ya? Kok ini paling kecil pake berdua"

"Ada, Teh, dibagian belakang sendiri, kebetulan memang kita spesialis restoran untuk keluarga."

"Pokoknya saya mau ayam bakar satu, nasi liwet, sama sambelnya yang paling enak!" aku berbicara dengan nada kesal, moodku sudah benar-benar tidak bisa diajak kerjasama.

"Tapi, Teh, untuk nasi liwetnya hanya bisa dipesan satu ketel, biasanya untuk 3-4 orang."

"Ya gimana caranya, saya mau nasi liwet, untuk saya sendiri!"

"Maaf gak bisa..."

"Untuk tiga orang, tolong tambah kursi satu lagi." potong seseorang dari belakang pelayan itu, Reynald, dibelakangnya ada perempuan cantik dengan dress hijau tosca dan pita minimalis menghias rambutnya.

Tipe cewek yang sangat feminim, anggun, dan cantik. Berbeda jauh denganku yang saat ini hanya memakai kaos polos berwarna maroon dan celana jeans serta rambut yang kugelung asal. Belum lagi make up yang sudah memudar sebab drama tangisanku tadi.

"Duduk, Jes." Reynald tersenyum ke arah perempuan itu sambil menarik kursi dihadapanku.

Bilang aku tidak sopan, sebab kini aku menatap perempuan dihadapanku ini dari ubun-ubun kepalanya sampai ujung jempol kakinya. Perfect, lirihku dalam hati.

"Kak, maaf pesanan saya yang barusan batal ya." ucapku pada pelayan itu yang masih setia berdiri memandang kami.

Aku tidak cukup percaya diri dan pandai mengatur hati serta emosi dalam keadaan seperti ini, jadi lebih baik pergi daripada memalukan diri sendiri.

"Sekarang saya yang bayar, jadi fokus dengan apa yang saya bilang. 2 ayam bakar, tahu goreng, sayurnya kol goreng, 1 nasi liwet... kamu mau apa, Jes? Ohiya, sama minta sambel tomat dikasih perasan jeruk nipis dikit sama kecap ya." Reynald hafal sekali apa makanan favoritku ketika makan di restoran sunda dan pesanan kami selalu sama, sudah kubilang bukan? Lidah kami satu selera.

Ponselku berbunyi menunjukkan kontak Mang Jajang memanggil, tepat waktu.

"Gue udah dijemput, jadi makasih traktirannya." Aku menyambar slingbag hitam yang tergeletak di atas meja.

Baru hendak melangkah, Reynald memblokir jalanku dengan badannya.

"Makan dulu." Reynald berbicara dengan lembut kepadaku,

"Gak!" kubalas teriakan tepat didepan wajahnya, sudah cukup, aku muak.

Air mataku kembali luruh tepat saat ku dorong bahu Reynald yang berdiri didepanku, "Lo beneran brengsek!" jangan tanyakan keadaan hatiku saat ini, aku membiarkan Reynald menggenggamnya terlalu kuat tanpa sadar apapun yang digenggam dengan kuat, pasti akan hancur.

Aku berjalan dengan cepat, mengabaikan Reynald yang memanggilku tiga kali dengan suara lantangnya.

Sepanjang jalan banyak orang menoleh kearahku yang sudah penuh air mata. Aku berharap cepat sampai didalam mobil.

Pandanganku tertuju pada mobil besar berwarna hitam yang kuyakini milik kakek.

"Aduh, Neng, kenapa ini teh?" Mang Jajang yang sedang bersantai di jok mobil langsung kerepotan mencari tisu, mimik wajahnya menyiratkan kepanikan.

"Gak papa, Mang."

"Kelamaan nunggu?"

Aku menggeleng dan kembali terisak, beribu anak panah seperti memenuhi dada. Kupukul-pukul pelan dadaku untuk mengurangi sesak, sembari menghela nafas kucoba untuk berhenti menangis.

"Mang, makan dulu ya."

"Mau makan apa, Neng?"

"Pokoknya yang ada nasi liwetnya."

Mang Jajang mengangguk lalu mobil kakek mulai berjalan menembus keramaian Bandung di sore hari, cuaca hari ini sangat cerah, tapi yang kurasa gelap, dingin dan sendu. Untuk pertama kalinya, Bandung tidak masuk dalam daftar kota paling didambakan, versiku, biasanya Bandung selalu menempati posisi nomor satu sebelum Lembang, Jakarta, dan Bali.

TBC

CHAMELEONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang