• 3 •

6.9K 374 14
                                    

“Darimana, Dek?” tanya Eva yang sedang memotong sayuran.

“Anter Raka beli kado, Bu,” jawab Tara seraya membuka lemari es.

“Kado?”

Tara menuangkan air es ke dalam gelas, lalu menegaknya sekaligus. Tak menghiraukan Eva.

“Ih, Adek mau ke mana? Ibu 'kan lagi nanya.” Eva menatap putrinya yang beranjak dari dapur.

“Ya buat siapa lagi kalau bukan pacarnya, Bu. Udah, ah, aku mau ke kamar.” Tara sungguh malas membahas Raka hari ini.

“Terus kenapa Raka gak disuruh mampir dulu?”

“Buat apa?” Tara menatap Ibunya malas.

“Ngobrol sama ibu lah.”

“Gak penting.”

“Kamu jealous, ya?” Eva memicingkan matanya. “Kamu gak dibeliin apa gitu sama Raka? Masa cuma antar beli kado aja? Gak beli donat? Biasanya ‘kan dia beliin tuh kalo ke sini, selusin lah minimal.”

“Kenapa Ibu jadi kayak cewek yang gagal move on dari Raka?” tanya Tara jengah.

Eva tergelak.

“Udah ya, Bu, Raka itu bukan siapa-siapa lagi, dia anak orang, pacar orang, calon menantu orang juga. Udah lupain aja.”

“Kamu kok icemoci¹ gitu?”

“Ah, susah ngomong sama Ibu.” Tara memasuki kamar dengan kesal, Eva selalu saja menggodanya.

Sebelum Tara benar-benar menutup pintu kamarnya, Eva berseru, “Tadi papa nelepon, kamu mau berangkat ke Makassar kapan?”

“Lho, bukannya Dio yang ke sana?” kata Tara yang kembali menghampiri Eva.

“Dio kan udah kelas sembilan, dia sibuk bimbel, kamu aja sana.”

“Gak mau! Lagian papa ribet amat deh, ngapain harus ada salah satu diantara kita yang tinggal sama dia?” kesal Tara.

“Kamu gak boleh gitu, Tante Gita ‘kan belum hamil, pasti di sana sepi, buat mancing-mancing juga siapa tau jadi.”

Meskipun orangtua Tara sudah tidak tinggal bersama lagi, tapi hubungan keduanya sangat baik. Mereka sering berkomunikasi agar tidak terjadi kerenggangan antar orangtua dengan anak.

“Biar aku yang ngomong sama Dio.”

[].

“Assalamualaikum, Raka pulang!” seru Raka yang berjalan ke arah ruang keluarga. Di sana sudah ada Bian yang sedang menonton TV.

“Waalaikumsalam, anak papi yang gantengnya kerendahan,” jawab Bian.

Raka duduk di seberang orangtuanya. “Oh, gak pa-pa, rendahnya masih di atas Devano Danendra, kalem.”

“Rendahnya di atas Devano Danendra gimana tingginya, Ipul?” tanya Bian.

“Semacam Shawn Mendes lah,” ucap Raka dengan raut sok berpikir.

“Nah, papi itu setara sama Shawn Mendes!”

“Astagfirullah, coba Mi, ini nyawa papi masih di kasur, jemput dulu kenapa, sih?” ucap Raka pada Kiera yang berada di dapur. Jarak antara ruang keluarga dengan dapur hanya dihalangi sekat setinggi pinggang, yang secara langsung obrolan mereka didengar oleh Kiera.

Kiera tertawa mendengarnya. Ia berjalan ke arah keduanya seraya membawa kue kering yang baru saja dibuatnya. “Maksud papi kamu, setara sama babu-nya Shawn Mendes.”

Raka tergelak. “Mami ih, suka bener kalo ngomong.”

“Padahal papi baru aja rencana mau nawarin tas Gucci keluaran terbaru, ya udah cancel aja ya, Mi.”

Mendengar itu, Kiera mengecup pipi Bian. “Jangan lah, sayang.” Lalu menyandarkan tubuhnya pada bahu Bian.

Raka memutar matanya malas. Ia memilih memasuki kamarnya, sebelum melihat hal yang lebih dari itu. Di dalam kamarnya ternyata sudah ada Arlan dengan setumpuk mainan di lantai.

“Coba ya ini Mi, Pi, kalo mau mesra-mesraan tidurin dulu Arlan-nya.” Raka meletakkan Arlan di tengah-tengah Kiera dan Bian.

“Aaaa ... au aen mama Aka!” jerit Arlan.

“Tuh, Arlan aja mau maennya sama kamu!” kata Kiera.

“Ettt, ettt,” Raka menggelengkan kepalanya. “Raka capek, mau bobo siang,” tolak Raka dengan nada sok imut.

Sementara Arlan menangis, Raka memasuki kamarnya. Ia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur lalu terlelap.

[].

¹emosi

Heyhoo!!
Ada scene Kiera–Bian nich hwhw
Banyak gaia emang mereka pengen dipanggil Mami Papi 😅😅
VOMMENTS yess ^_*



—Salam donat;)
05/04/19

TARAKA ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang