• 37 •

4.2K 247 4
                                    

“Makasih, ya, Ka,” ucap Kaila seraya memeluk lengan Raka.

Raka menoleh ke sebelahnya. “Udah seharusnya aku hibur kamu.” Ia mengusap puncak kepala Kaila dengan tangan yang bebas.

“Padahal aku berharap banget kalau semester ini masuk sepuluh besar.” Kaila menatap koridor Lab Biologi yang sepi itu dengan gamang.

Mereka baru saja keluar dari taman belakang sekolah, setelah menghibur Kaila yang baru saja mendapat nilai empat puluh tiga di ulangan geografinya.

“Belajar lebih giat lagi.”

Tiba-tiba Kaila menepuk dahinya. “Ya ampun!”

“Kenapa?” Raka menatapnya cemas.

“Aku harusnya belajar tambahan sama Tara sampai pekan ulangan nanti.”

“Hari ini?”

“Dari hari senin.”

Raka tersenyum geli. Artinya Kaila sudah membolos selama empat hari. “Kok bisa lupa, gitu?”

Kaila menggaruk pelipisnya. Bukan lupa, tapi ia memang sengaja tak ikut. “Hm ... gimana lagi, hehe.”

“Jadi, mau langsung pulang aja?”

“Ih, tadi kan mau ke Deopoe Doenan!” Kaila merenggut.

“Tapi kamu harus belajar. Liat ‘kan tadi, nilai geografi kamu empat puluh tiga.”

“Masih ada satu minggu ke depan. Jadiin, ya, ya?” Kaila mendahului Raka, lalu berjalan mundur.

“Nggak, Kai.”

“Ah, gak asik.” Kaila melipat tangan di depan dada. Merenggut kesal.

“Belajar sama Tara lebih asik, lho.”

“Asik apanya? Tara orangnya cuek gitu.” Ia menggeleng tak setuju.

“Serius. Dia sebenarnya baik kok.”

“Kamu pernah belajar sama dia?”

“Sering."

Kaila memicingkan matanya.

“Ma-maksudnya, dulu.” Raka mengusap tengkuknya kaku. “Jalan yang benar, dong. ‘Kan gak lucu kalau kamu jatuh.” Ia memegang bahu perempuan di depannya, memaksanya membalikkan tubuh.

Kaila tetap tak mau berbalik. Melepas tangan Raka di bahunya, lalu kembali melipat tangan di atas dada. “Oh. Kamu ‘kan udah lama, ya, sama Tara. Pasti tahu banget seluk-beluknya. Sampai pas aku sakit aja kamu bawain donat, padahal aku gak suka. Masih suka kebayang Tara?”

“Gak gitu, Kai.” Gerakannya yang ingin menarik lengan Kaila tiba-tiba berhenti, Raka membeku di tempat, membuat Kaila ikut menghentikan langkah mundurnya.

"Kok diam? Kenapa?"

Raka menelan ludahnya dengan susah payah. Tepat di pintu masuk kantin, mereka berpapasan.

Kaila mengikuti arah pandang Raka, ikut terkejut. “Lho, Tara, Karina, kok ada di kantin?”

“Kenapa? Gak boleh?” tanya Karina dengan sinis. Ia berjalan lebih dulu memasuki kantin. “Lo mau numpang dikatain rajin, doang tanpa mau berusaha?”

Tara yang di belakangnya berjalan ke stand snack, meninggalkan Karina dan kedua sejoli itu di depan mesin pendingin.

“Apaan, sih, Karin?” Kaila membentuk lipatan di dahinya.

“Gue heran, yang kayak gini bisa masuk kelas unggulan." Karina tersenyum culas.

Kaila mengepalkan kedua tangannya.

Raka merasa atmosfer di sekitarnya memanas. “Karin, gak sebaiknya lo bilang kayak gitu.”

“Diam, lo.” Karina mengabaikan Raka. Kemudian beralih menatap Kaila, yang juga menatapnya. “Kalau lo gak mampu wujudin kemauan bokap lo, gak usah bilang bisa dan nyusahin teman gue.”

Setelah itu, Karina membayar minumannya, membalikkan tubuhnya, dan menabrak bahu Kaila yang masih di tempat semula.




[].

Apdet lagi kan😆😆
Vomments gaes!! 😍😍💓💓





—Salam donat;)
12/07/19

TARAKA ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang