1

5.4K 513 2
                                    

"Nama lo siapa?"

Oceana mengerjapkan matanya. Cowok di depannya ini masih terfokus dengan ponselnya, diam tanpa suara setelah melemparkan pertanyaan pada Oceana.

"Siapa?" Tanya Cean menatap cowok itu. Cowok itu menyimpan ponselnya kedalam saku celana, membalas tatapan Cean.

Cean memalingkan wajahnya ketika iris hitam itu menatapnya. Cean tidak ingin munafik, cowok di depannya ini memiliki fisik yang mampu memikat semua orang. Mata dengan iris gelap yang indah dengan bulu mata panjang menanungi, rahang tegas serta bentuk bibir yang indah berwarna merah muda yang sehat.

"Lo lah. Memangnya siapa lagi? Batu?" Katanya terkekeh pelan. Cean memutar bola matanya, cowok yang baru ia temui ini menurutnya sedikit menyebalkan. Walaupun cowok itu ganteng, tapi tetap saja balasan nya itu membuat Cean sedikit kesal.

"Oceana, panggil aja Cean." Jawab Cean setengah hati. Cowok itu menaikan sebelah alisnya, tersenyum miring.

"Kalau jawab yang ikhlas dong. Gue Hendery, terserah lo mau manggil apa." Ucap Hendery lalu tersenyum setelahnya.

Untuk sekarang Cean tidak peduli dengan cowok itu, ia hanya peduli dengan dirinya yang cemas karena jemputannya tidak kunjung datang. Bahkan ia tidak tahu nama cowok itu, padahal ia mengatakannya.

Berulang kali Cean menelpon kakaknya namun tidak kunjung ada balasan. Bahkan dering itu selalu terputus otomatis. Langit mendung, Cean takut kalau tiba-tiba hujan turun dan ia akhirnya terjebak disini bersama cowok yang baru ia kenal.

Membayangkan betapa membosankan dan lelahnya ia menahan emosi agar tidak mencaci cowok itu membuat Cean bergidik. Ia terus menekan tombol hijau di ponselnya, dan panggilan itu masih tidak terjawab.

Cean menghembuskan nafasnya gusar. "Mana sih." Dan alis Hendery terangkat sebelah.

"Belum di jemput?" Tanya Hendery.

"Ya menurut lo aja sih." Jawab Cean ketus. Hendery mendengus. "Ya udah sih santai, gak usah ngegas gitu."

Cean kembali menatap langit yang kelabu, mungkin dalam waktu dekat butiran air itu akan jatuh dan membasahi seisi kota. Dan untuk kesekian kalinya ia menekan tombol hijau di teleponnya.

Sementara itu, Hendery yang tadinya duduk, bergerak berdiri dan mengambil helmnya. Cowok itu mengenakan bomber hitamnya, lalu mengenakan helmnya. Cean yang tidak peduli dengan cowok itu hanya memandang dengan kosong.

"Hujannya bakal turun setengah jam lagi, rumah lo dua puluh menit dari sini. Daripada lo nunggu sampai akhirnya hujan, mendingan sekarang ikut gue. Gue anter lo pulang." Hendery berucap sembari menjulurkan topi hitam yang ia bawa dan menunjuk jok belakang dengan dagunya.

Cean sempat berfikir sebentar sebelum pada akhirnya gadis itu mengambil topi yang di berikan Hendery dan duduk berpegangan di balik tubuh berotot Hendery.

"Lo tinggal kasih tau belok mana, gue lupa soalnya." Ucap Hendery dengan sedikit lantang. Cean mengiyakan dan Hendery kembeli mamcu kecepatan motornya.

Sejujurnya, Cean bingung siapa gerangan Hendery. Cowok yang baru ia temui kurang dari tiga puluh menit yang lalu ini sepeeti tahu semua tentangnya. Bahkan tadi Hendery mengatakan kalau lupa dengan letak rumah Cean, padahal Cean rasa mereka belum pernah bertemu sebelumnya.

Motor yang di kendarai Hendery berbelok masuk ke pekarangan rumah bercat putih. Cran turun dari goncengan dan mengembalikan topi hitam yang dipinjamkan oleh Hendery.

Dari arah teras keluarlah laki-laki berkaus hitam sambil memutar kunci di jarinya. Laki-laki itu Kun, kakak Cean yang baru saja ingin menjemput adiknya namun orang yang ingin ia jemput sudah lebih dulu tiba di rumah.

"Gue pulang ya," ucap Hendery memutar motornya.

"Iya, makasih tumpangannya." Balas Cean melambaikan tangan.

Setelah motor itu melesat pergi, Kun bertepuk tangan. Ia menyuarakan isi hatinya yang bahagia, tentu saja karena ia cukup terkejut melihat adiknya sudah berani pulang bersama cowok.

"Apa?!" Tanya Cean setelah mendapati kakaknya yang berdiri di teras sambil tertawa cengengesan.

Suara; HenderyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang