PEMURNIAN JIWA SANG KSATRIA PANDHITA

1.1K 69 0
                                    

"seorang ksatria dikenal akan keberaniannya"

"dan pengorbanannya bagi tanah tumpah darahnya"

"bagi ambisinya dan juga keluarganya"

"sebuah pengorbanan tanpa mengenal rasa takut"

"lebih baik pulang nama daripada gagal di medan laga"

Raden Wijaya turun tahta setelah 16 tahun memerintah Majapahit. Masa pemerintahan yang penuh keadilan dan kedamaian. Selama itu pula Raden Wijaya membesarkan Jayanagara hingga dirasanya cukup untuk menjadi penerus tahta Majapahit. Seorang ksatria yang bergelar Ksatria Pandhita dan menjalani hidup layaknya brahmana. Sebuah gelar tertinggi dalam pencapaian hidupnya. Tak banyak ksatria mampu mencapai tataran tertinggi tersebut. Raden Wijaya tak hanya cakap dalam olah kanuragan, namun juga olah rasa, dan memiliki batin kuat layaknya seorang Brahmana.

Rasa kehilangan tak hanya meliputi jagad Majapahit saja, namun juga dirasakan oleh jagad alit dan jagad ageng. Pertanda bahwa Raden Wijaya seorang yang sangat gigih dalam mempertahankan harga dirinya sebagai ksatria, dan mengharumkan nama keluarga besarnya. Menjadi seorang pelindung bagi rakyatnya.

Hari itu adalah perayaan hari Tri Cakti Pancadatu. Hari dimana Raden Wijaya telah kembali pulang menghadap Sang Hyang Jagad Girinata. Seluruh Majapahit berduka, tak hanya keluarga, rakyat dan sahabat dekat Raden Wijaya namun alam pun turut menghaturkan duka. Suasana di hari itu sangatlah kelabu. Jayanagara, sang penerus tahta Majapahit mengumumkan "Pada hari ini, Rama tlah menyelesaikan tugas mulianya dan kembali kepada Sang Pencipta." Jayanagara tak kuasa menahan tangis. Begitupun juga dengan Permaisuri Gayatri. Tangisnya pecah tak kuasa menahan rasa kehilangan yang teramat dalam. 

"hari itu seluruh semesta turut menyaksikan"

"kepergiannya"

"tlah memberikan kita sebuah pelajaran berharga"

Jayanagara sendiri yang memimpin upacara pendharmaan Raden Wijaya. Diiringi oleh para pandhita Shivabudha dan juga para Brahmana serta seluruh masyarakat dan pasukan Majapahit. Bergerak bersama meninggalkan wilayah Tarik. Raden Wijaya hendak diberikan sebuah tempat khusus sebagai pendharmaan terakhirnya. Menempuh perjalanan panjang dari Tarik menuju Dahapura. Sepanjang perjalanan hanya isak tangis dan ratap pilu mengiringi para pengiring Raden Wijaya.

Dahapura adalah sebuah tempat kecil dekat Trowulan yang menjadi tempat Raden Wijaya menghabiskan waktunya semasa muda. Belajar menjadi seorang ksatria hingga mampu membuktikan kepantasan dirinya. Di Dahapura jualah Raden Wijaya banyak belajar tentang kehidupan, tentang tata cara kepantasan seorang ksatria. Sebuah tempat yang tepat bagi Raden Wijaya untuk  berpulang dan beristirahat.

Jayanagara telah meminta para Stapaka untuk menyiapkan tempat khusus bagi pendharmaan Sang Rama. Tempat itu lengkap dengan arca perwujudan Raden Wijaya dalam bentuk avatara Vishnu Mahadeva. Sebuah arca pendharmaan yang pantas bagi seseorang seperti Raden Wijaya. Bijaksana namun tegas dalam bertindak, mengayomi sekaligus melindungi rakyat Majapahit disegani kawan dan lawan.

"kelamnya hari ini adalah sebuah pertanda"

"kehilangan seseorang paling berharga bagi Majapahit"

"seseorang yang belum tentu ada gantinya di kemudian hari"

Masih segar dalam ingatan Jayanagara melihat keseharian Sang Rama. Menghabiskan waktu dengan bermeditasi, dan mendekatkan diri dengan Sang Hyang Jagad Girinata. Jayanagara juga mengingat segala hal yang tlah dipelajarinya. Tentang kehidupan, dan juga kebijaksanaan. 

Perjalanan ditempuh dalam waktu kurang lebih setengah hari berjalan kaki. Ketika rombongan sampai di Dahapura, sudah disambut oleh Adipati Dahapura Raden Waisnawa Kencanadewata dan juga para Stapaka dan Brahmana. Prosesi kemudian dilanjutkan dengan upacara singkat Shivabudha kemudian setelahnya dipersiapkan juga menara kayu sebagai bagian akhir dari prosesi ngaben. Jayanagara mempersilahkan ibunya Permaisuri Gayatri untuk melemparkan tongkat kayu berapi sebagai tanda penghormatan terakhir bagi Raden Wijaya. 

Berkatalah Jayanagara pada ibunya "Ibunda, kini Rama tlah kembali bersama Dewata Agung, inilah kesempatan terakhir kita memberikan penghormatan sekaligus keikhlasan bagi perjalanan Rama." Dengan isak tangis yang belum juga reda, Permaisuri Gayatri tak berkata lagi. Dengan perlahan, Permaisuri melemparkan tongkat kayu berapi yang dengan segera melahap habis tumpukan kayu tempat jenazah Raden Wijaya terbaring.

"selamat jalan Kanda"

"semoga kelak di kehidupan selanjutnya"

"Adinda dapat bertemu dengan Kanda lagi"

***

MAJAPAHITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang