"Jikalau kedua orangtuaku masih ada, pastilah mereka kan bahagia perjuanganku"
"ijinkan aku meneruskan gelar kehormatan ini..."
Raden Wijaya yang kini telah bergelar Kertarajasa Jayawardhana dan menjadi raja di Majapahit mengingat kisah hidupnya. Sebagai seorang pangeran yang harus pergi menjauh dari kehidupan istana di masa muda, kehidupan yang mungkin akan membuatnya terlena. Namun itulah suratan takdir. Tak ada seorang pun yang tahu, kelak seperti apa dirinya.
Raden Wijaya tersenyum. Pagi hari ini, kehidupannya berubah. Semalam merupakan peristiwa yang tak'kan terlupakan. Penobatan menjadi seorang raja baru dan juga wilayah baru. Tak pernah terbersit sedikit pun dalam benak Raden Wijaya. Hidupnya yang penuh dengan gejolak takdir yang tidak menyenangkan, akan berakhir seperti ini.
Pikirannya menerawang kala ia masih seorang remaja. Terpaksa diasingkan oleh orang tuanya, karena peperangan yang melanda kerajaannya. Raden Wijaya seketika beranjak dari peraduannyaa, berjalan keluar, dan kemudian berpamitan pada Permaisuri. Berkatalah Raden Wijaya "Adinda, Kanda hendak pergi barang sebentar saja, sudilah kiranya Adinda mengijinkan." Jawab Permaisuri, "Kanda hendak kemana?"
Dengan tersenyum, Raden Wijaya menjawab "Kanda hendak tapa brata di hulu sungai Brantas Adinda, mungkin beberapa hari lamanya." Dengan raut muka sedih Permaisuri berkata "jika memang sudah niatan Kakanda, Adinda hanya bisa mengikhlaskan dan mendoakan segeralah kembali."
Setelah berpamitan, Raden Wijaya berkemas kemudian memanggil juru pelihara kuda. Berkatalah Raden Wijaya "Paman, tolong siapkan kuda serta letakkanlah perbekalan ini." Bersegeralah juru pelihara itu mempersiapkan permintaan Raden Wijaya. Lalu tak lama kemudian, Raden Wijaya memanggil pasukan telik sandi seraya berkata "aku hendak pergi tapa brata, jagalah Majapahit selagi aku tak berada disini, dan ku titipkan penuh seluruh keamanan Majapahit pada kalian."
Serempak telik sandi menjawab "sendhiko dhawuh Gusti!"
Setelah segalanya siap, segera Raden Wijaya memacu kudanya menjauh dari Majapahit.
"aku ingin mengenang semuanya..."
"biarlah kesedihan ini menjadi milikku saja.."
Tak terasa air mata Raden Wijaya pun menetes, seiring dengan cepatnya laju kuda menembus rimbunya rimba. Semilir angin menggoyangkan ranting-ranting kecil pepohonan, mengisyaratkan alam pun turut merasakan kepedihannya.
"kenangan, dan kehilangan...."
Raden Wijaya tiba saat surya mulai tenggelam di ufuk barat. Sejenak Raden Wijaya menatap kepergian sang surya seraya berkata "bahkan engkau pun selalu kembali meski berat, tapi kau tau..hari esok kan selalu ada."
Menjelang malam, barulah Raden Wijaya sampai di hulu sungai Brantas. Dengan perlahan, Raden Wijaya turun dari kudanya lalu menambatkan pada sebatang pohon. Sembari mengambil perbekalan, Raden Wijaya mengelus-ulus kuda kesayangannya. Lalu sejurus kemudian, Raden Wijaya berjalan menjauh dari kudanya. Menembus kegelapan, mencari tempat yang tepat untuk beristirahat.
Malam itu terasa sangat tenang, dibawah temaramnya sinar rembulan, Raden Wijaya duduk bersimpuh di atas sebongkah batu. Lalu Raden Wijaya termenung, mencoba untuk menahan diri dan gejolak emosinya.
"Ayah...Ibu...."
"kali ini kan ku buktikan..."
"aku tlah menjadi seorang ksatria pandhita"
"semoga dengan hidupku ini, kalian bisa tenang selamanya"
"kelak jika tiba saatku...."
"pasti kita kan bertemu sebagai keluarga"
Airmata Raden Wijaya mengalir deras membasahi pipi. Kenangan buruk itu kembali. Raden Wijaya pernah menjalani sebuah kehidupan yang sangat keras luar biasa. Sebagai seorang pangeran, harusnya Raden Wijaya mampu hidup enak, dan berfoya-foya. Namun, ketika peperangan berkobar, terpaksa Raden Wijaya diasingkan, dan harus menerima kenyataan bahwa seluruh keluarganya dihabisi.
Menjalani pengasingan, berlatih kanuragan, spiritual, dan juga olah pikir adalah makanan sehari-harinya. Ditemani seorang Patih Mangkubhumi kepercayaan ayahnya. Menjalani hidup dari satu hutan ke hutan lainnya. Berusaha mencari jalan menelusuri keluarga jauhnya di Singhasari. Sampai ketika Raden Wijaya bertemu dengan Kertanegara. Mengabdikan diri hidup dan mati bagi Singhasari.
Kerasnya hidup semasa remaja, membuat Raden Wijaya membenci peperangan, namun...tak'kan ada kedamaian tanpa adanya peperangan. Kini, Raden Wijaya menjadi seorang raja. Dia tidak menginginkan adanya pertikaian, pertengkaran dan peperangan. Namun, apakah mungkin?
Raden Wijaya masih merenungi kisah perjalanan hidupnya. Sampai pada akhirnya dengan suara lirih berkata "aku... akan meneruskan Wangsa Rajasa sebagai bakti dan hormatku, juga sebagai keturunan terakhir Wangsa Rajasa."
"tangisan, teriakan dan luapan emosi.."
"tak ada seorang pun yang tahu..."
"karna ada kalanya kita sendiri yang menjalaninya"
"tanpa perlu orang memujinya"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
MAJAPAHIT
Historical FictionKisah tentang sebuah kerajaan Siwa-Budha yang pernah hadir di bumi Nusantara pada abad 9 Masehi yang kemudian menjadi pemersatu Nusantara dibawah seorang Panglima Perang Gadjahmada. Kini kisah ini akan saya angkat sebagai sebuah cerita sederhana yan...