Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menemukan peningkatan jumlah hoaks menjelang Pemilihan Umum Presiden yang akan berlangsung pada 17 April mendatang.
Jumlahnya meningkat secara signifikan pada bulan Maret. Data Kominfo menunjukkan pada Maret ada 453 hoaks diidentifikasi oleh tim dan mesin AIS 130 dari hoaks tersebut memuat isu politik. Hoaks temuan Kominfo antara lain berupa kabar bohong tentang calon presiden, partai politik, maupun lembaga penyelenggara pemilu.
Alasan itu yang mendorong Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Wiranto mewacanakan penggunaan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme untuk menindak para penyebar hoaks. Sebab, dia menilai hoaks yang kerap beredar telah menganggu keamanan dan menakuti-nakuti masyarakat.
Menurutnya hoaks tersebut telah serupa dengan aksi teror, seperti yang terjadi terkait pemilihan presiden (pilpres) atau pemilu 2019.
"Kalau masyarakat diancam dengan hoaks untuk tidak ke TPS (tempat pemungutan suara), itu sudah terorisme. Untuk itu maka kami gunakan UU Terorisme," kata Wiranto di kantornya, Jakarta, Rabu (20/3).
Berbeda dengan itu, Usulan menggunakan UU nomor 5/2018 tentang Terorisme dalam penindakan penyebaran hoaks dianggap berlebihan. Wakil Ketua MPR RI Mahyudin mengatakan, meski penyebaran kabar bohong harus diberantas, tetapi perbuatan tersebut tak bisa dikategorikan sebagai aksi terorisme.
“Hoaks itu memang ancaman, tetapi menurut saya terlalu jauh kalau itu dikaitkan dengan terorisme,” kata Mahyudin di sela-sela sosialisasi Empat Pilar MPR RI, di Tenggarong, Kutai Kertangera, Kalimantan Timur (Kaltim), Kamis (21/3).
Mahyudin sependapat dengan hoaks sebagai perbuatan pidana. Namun, ia memilih mengkategorikan penyebaran kabar bohong sebagai kenakalan yang biasa.
Selain memang dapat dipidana, menurut dia, penyebaran kabar bohong sebaiknya cukup dilawan dengan aksi kebenaran berupa penyampaian fakta yang akurat. Sebab, menurut Mahyudin, kabar bohong tersebut, sebetulnya muncul dari motif politik.
Apalagi saat ini, kata Mahyudin kabar bohong merambat ke semua taraf sosial, lantaran terkait kontestasi menuju pemilihan umum.Hoax biasanya memang berasal dari kelompok yang ingin mengganti kekuasaan atau kepemimpinan pemerintah atas dasar ketidak-sukaan. Namun tak jarang, pemerintahan yang berkuasa pun menyampaikan data yang non-fakta dan tak akurat pula.
Senada dengan itu, Mantan Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai juga menyoroti pernyataan Menkopolhukam Wiranto. Menurut Pigai, hoaks bukan terorisme melainkan kekerasan verbal. Maka pendekatannya pun harus menggunakan pendekatan hukum kriminal.
“Jadi hoaks itu bukan terorisme. Hoaks adalah kriminal,” kata Natalius Pigai usai mengisi acara diskusi publik bertajuk Penyalahgunaan Anggaran Dalam Kampanye di Kawasan Mampang, Jakarta Selatan, Sabtu (23/3).
Pigai mengatakan, kekerasan itu ada dua. Kekerasan fisik dan kekerasan verbal. Kekerasaan verbal adalah sebuah tindakan kriminal. Contoh kekerasan verbal lanjut dia bisa dengan kata kata kasar. Karena kekerasan verbal, lanjut dia, maka pelaku hoaks masuk ke dalam kategori kriminal.
Kalau sudah kategori kriminal maka dalam konteks ini adalah melalui proses hukum sebagaimana yang di atur dalam undang undang undang kriminal justice system. “Jadi tidak bisa dikenakan dengan undang undang terorisme,” tandasnya.
Sementara itu di dalam undang undang terorisme dengan tegas menjelaskan bahwa tindakan teroris itu adalah tindakan tertentu yang dilakukan oleh organisasi.
Dilakukan secara terstruktur. Organisasi terstruktur dilakukan secara massif kemudian terencana. Kemudian organisasi yang menganut sebuah paham paham dan memiliki tujuan tertentu dalam jangka panjang.Kalau tujuannya adalah menyerang seseorang individu dengan kata kata yang dikeluarkan itu adalah kekerasan verbal. Jadi tidak tepat kalau sampai mengeluarkan pernyataan bahwa mereka yang pelaku hoaks akan dikenakan undang undang terorisme. Undang undang terorisme itu tidak dirancang untuk pelaku penyampai kekerasan verbal.
Hoaks sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ‘berita bohong'. ‘Hoaks’ atau ‘fake news’ bukan sesuatu yang baru, dan sudah banyak beredar sejak Johannes Gutenberg menciptakan mesin cetak pada tahun 1439. Sebelum zaman internet, ‘hoaks’ bahkan lebih berbahaya dari sekarang karena sulit untuk diverifikasi.
Lebih jauh, konsekuensi dari membuat dan menyebarkan berita menyesatkan adalah membuat masyarakat menjadi curiga dan bahkan membenci kelompok tertentu, enyusahkan atau bahkan menyakiti secara fisik orang yang tidak bersalah, disamping itu hoaks memberikan informasi yang salah kepada pembuat kebijaksanaan.
Hoaks menjelang pemilu yang banyak beredar sendiri dicermati para peneliti sebagai dampak kebebasan arus informasi yang tak terkendali dalam demokrasi. Dalam demokrasi, kebebasan berpendapat menjadi sesuatu yang diagungkan.
Siapa saja boleh berkata, berpendapat apa saja sekalipun itu menyakiti perasaan orang lain, sekalipun yang disampaikan mengandung celaan, unsur kebohongan bahkan memfitnah seseorang, membunuh karakternya, kelompok atau agama tertentu.
Namun tentu berbeda dengan mengkritik penguasa. Selama kritik itu berdasarkan fakta dan tidak menjurus kepada fitnah dan pembunuhan karakter, maka tidak boleh sama sekali dikategorikan sebagai hoax apalagi dituduh makar atau upaya untuk menjatuhkan pemerintah.
Sebagaimana yang terjadi saat ini dalam suasana panas menjelang pelaksanaan pemilu, sikap devensif yang dilakukan rezim yang berkuasa dianggap terlalu berlebihan, sebagaimana yang disampaikan wiranto untuk menjerat pelaku hoaks dengan UU terorisme.
Seperti yang disampaikan Dosen di Departemen Filsafat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI), Rocky Gerung melayangkan kritik keras pada pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam menangani hoax atau berita bohong. Menurut dia, pemerintah saat ini sedang panik.
Menurut Rocky, rezim saat ini semacam ingin mengendalikan kebenaran sesuai dengan standarnya. Dia pun mencurigai ada kebohongan yang disembunyikan dalam upaya keras pemerintah melawan hoax.
“Rezim itu, kalau dia terus menerus mengendalikan kebenaran, artinya ada kebohongan yang hendak disembunyikan,” kata Rocky.
Sementara, dia menilai bahwa pembuat berita bohong terbaik adalah pemerintah yang sedang berkuasa. "Pembuat hoax terbaik adalah penguasa," katanya.
Alasannya, penguasa memiliki seluruh peralatan untuk berbohong. Intelijen, kata dia, pemerintah punya, begitupun data statistik dan media. "Tapi itu faktanya. Hanya pemerintah yang mampu berbohong secara sempurna,” kata Rocky.
Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Djoko Setiadi mengatakan, lembaganya akan turut berperan membasmi hoax yang banyak bertebaran di media sosial. Hal ini disampaikan Djoko usai dilantik oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Rabu (3/1/2019)
“Tentu hoax ini kita lihat, ada yang positif dan negatif. Saya imbau kepada kawan-kawan, putra-putri bangsa Indonesia ini, mari sebenarnya kalau hoax itu hoax membangun ya silakan saja,” kata Djoko (Kompas.com, 03/01/2018).
Djoko berjanji akan menindak tegas orang-orang yang terus membuat dan menyebarkan hoax di dunia maya. BSSN akan bekerjasama dengan lembaga terkait mulai dari BIN, Kemenkominfo dan Polri. “Akan ada tindakan, jadi nanti kita ingatkan supaya berhenti, tidak dilanjutkan. Tapi, kalau nanti dia (menyebarkan hoax) semakin menjadi-jadi, ya nanti ada aturannya,” ucapnya (Gatra.com, Rabu 03 Januari 2018).
Nah itulah tadi fakta2 tentang hoax berdasarkan media berita...
Semoga bermanfaat 😊.
Vote, comment, dan share.
Semoga menjadi amal jariyah kita semua. Aamiin Ya Allah.
KAMU SEDANG MEMBACA
DREAM HIGH (UPDATE)
Short StoryAssalamu'alikum warahmatullahi wabarakatuh... BACAAN BERFAEDAH, DUNIA, AKHIRAT. Kalian pasti akan bosan apabila membaca ini. Karena ya, memang gitu. Bacaan yang bermanfaat itu membuat kita jenuh karena godaan setan. Sebaliknya, dengan bacaan yang n...