Hukum Ilahi Di Atas Konstitusi?

3 0 0
                                    

Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Silahkan vote dan comment.
Semoga menjadi amal jariyah kita semua. Aamiin Ya Allah.


Allah SWT berfirman:

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ

Kemudian Kami menjadikan kamu berada di atas syariah (peraturan) dari urusan (agama) itu. Karena itu ikutilah syariah itu dan jangan kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui (TQS al-Jatsiyah [45]: 18).

Berdasarkan ayat ini, Allah SWT memerintah kita agar senantiasa menjalankan semua syariah yang sudah Dia tetapkan; melakukan segala yang Dia perintahkan dengan sekuat tenaga; dan menjauhi semua yang Dia larang dengan kepasrahan jiwa. Semuanya itu merupakan konsekuensi dari keimanan kita kepada Allah SWT.

Dalam ayat itu terdapat kalimat perintah (amr) ”fattabi’ha” yang mengandung makna wajib. Artinya, dalam ayat ini, Allah SWT telah mewajibkan kita untuk mematuhi semua apa yang sudah Dia syariatkan. Wajib bermakna: jika dilakukan, pelakunya mendapat pahala; jika ditinggalkan, pelakunya berdosa.

Risiko dari ketidaktaatan seorang Muslim pada aturan-aturan Kitab Sucinya adalah ia bisa dicap fasik, zalim bahkan juga kafir. Allah SWT, antara lain, berfirman:

وَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ

Siapa saja yang tidak berhukum dengan apa saja yang telah Allah turunkan, mereka itulah kaum yang zalim (TQS al-Maidah [5]: 45).

Allah SWT pun tegas berfirman:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Siapa saja yang tidak berhukum dengan apa saja yang telah Allah turunkan, mereka itulah kaum yang kafir (TQS al–Maidah [5]:44).

Jika kita membaca tafsir ayat di atas, tentu tidak luput pernyataan Ibnu Abbas ketika membantah orang Khawarij yang mengkafirkan khalifah waktu itu. “Itu bukanlah kekafiran yang mereka pahami. Itu bukan pula kekafiran yang mengeluarkan dari agama. ‘Siapa saja yang tidak memutuskan menurut apa yang telah Allah turunkan, mereka itulah kaum yang kafir (QS al-Maidah [5]: 44)’ adalah kufr[un] duna kufr[in] (kekufuran di bawah kekufuran).” Demikian sanggah Ibnu Abbas terhadap tuduhan orang Khawarij (Muhammad bin Nashr Al-Marwazi dalam Ta’zhîm Qadrish Shalâh, 2/521-569).

Vonis kafir terhadap pelaku dosa besar memang disematkan oleh Kelompok Khawarij. Dalam konteks ini, kaum Khawarij beranggapan bahwa setiap pemimpin Muslim yang menyelewengkan syariah Islam—undang-undang yang telah menjadi ketetapan negara—adalah kafir, meskipun hal itu hanya pada sebagian hukum Islam saja. Anggapan seperti ini jelas bertentangan dengan akidah Ahlus Sunnah.

Namun sayangnya, ada sebagian kelompok yang menjadikan atsar Ibnu Abbas ini sebagai alasan dan bahan justifikasi untuk melegalkan hukum buatan manusia. Pedoman dasar hukum yang diterapkan pada suatu negara tidak menjadi perhatian. Bagi mereka, yang penting, jika pemimpin tersebut Muslim dan masih melakukan shalat, ia wajib didengar dan ditaati karena statusnya sebagai ulil amri. Tidak diperhatikan apakah pemimpin tersebut menerapkan syariah Islam ataukah tidak.

Misalnya dalam menilai penguasa sekular hari ini, kelompok tersebut sering membela penguasa dengan dalih masih memberikan kebebasan dalam beragama. Mungkin sampai di titik ini tidak ada problem. Akan tetapi, mereka juga menyatakan bahwa pemimpin tersebut adalah ulil amri yang wajib ditaati. Lagi pula, sebuah negara, seperti Indonesia, mereka anggap sebagai Negara Islam lantaran mayoritas penduduknya Muslim. Adapun masalah dasar undang-undang sekular yang dipakai, hal itu tidak menjadi masalah.

DREAM HIGH (UPDATE) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang