Rasanya ingin tertawa mendengar kalimatnya itu. Tetapi tak bisa karena rasa marahku. Namun sejujurnya aku memiliki sifat jail yang cukup kuat, sehingga rasa marahku bisa terkalahkan sementara oleh sifat jailku. Dan sepertinya asik mengerjainya sedikit.
Aku melipatkan tangan didada dan mengangkat dagu ke arahnya. “Bukannya kamu jagoan ?” lalu aku mengarahkan dagu dimana kucing itu berada, “masa takut sama kucing.”
Aldo terperanjat dan terlihat seperti mengumpat pelan. “Gue punya alasan tersendiri ya kenapa takut kucing.” Ucapnya dengan memperlihatkan wajah sok cool nya itu.
Aku tersadar kembali UKS ini sepi. Aku melepaskan lipatan tanganku. “Kok, bisa UKS gak ada yang jaga ?” tanyaku melihat sekeliling ruangan.
Aldo mengalihkan pandangan. “Gue suruh pergi lah. Gue gak mau nya image gue yang bagus ini runtuh gara-gara kucing.”
Aku membelalak. Tak menyangka dia sampai segitunya untuk mempertahankan ketenarannya sampai membawaku kedalam masalah.
Aldo memang termasuk salah satu most wanted di sekolah. Ya dia punya wajah tampan, tinggi, pintar dan ditambah dia anggota futsal yang memang anak futsal itu terkenal dengan karismanya. Degemnya aja banyak.
“Kalau gak mau image kamu rusak ya sana usir kucing itu sama sendiri.” Kataku menantangnya.
Aldo mulai memperlihatkan kembali wajah memelasnya. Sungguh membuatku enek. “Cha, beneran gue takut sama kucing. Please, tolongin gue sekali inii aja.” Pintanya dengan memelas.
Aku menghembuskan napas. Dan tiba-tiba ide brilian hinggap dikepalaku. Aku tersenyum miring kepadanya. “Oke, aku bantu. Tapi ada syaratnya.”
“kenapa harus ada syarat sih ? kalo nolong itu harus ikhlas, kan ?” ucapnya tidak setuju.
Aku melengos panjang. “Kalo gak mau, aku gak mau bantu.”
Aldo akhirnya pasrah dan menanyakan syarat apa yang aku minta.
Aku menatapnya tajam. “Jangan. Deketin. Aku. Lagi. Ngerti ?!” perintahku dengan penekanan disetiap kata.
Aldo membelalak tetapi ia kembali berusaha menyanggah. “Kita kan sekelas, gak mungkin bisa jauhan.”
“Jangan deketin dalam artian lain. Biasa aja kaya kamu bersikap dulu sama aku dan temen-temen kelas yang lainnya.”
Bahu Aldo melemas. Kini wajahnya mulai menyayu menatapku. “Gue,” dia diam sesaat. “gak bisa jamin itu.” lanjutnya lirih.
“Oke, kalau gitu aku mau balik ke kelas.” kataku lalu hendak beranjak pergi.
Tapi, lagi dan lagi, Aldo menghentikanku. Sekarang tidak dengan memegang tangan hanya dengan ucapan. “Cha, tunggu !” aku berbalik lagi kepadanya. “Kalau itu syaratnya,” diam sesaat lagi, “Ng, gue..... se—“
BRAK.
Pintu UKS terbuka dengan keras membuatku dan Aldo terkejut dan refleks melihat kearah pintu. Merekapun sama menghentikan langkahnya saat melihat kami. Terlihat seorang cowo membopong cewe yang sepertinya pingsan dan ditemani satu lagi teman cewe nya. Dilihat dari wajahnya seperti kelas X. Aku segera tersadar dari keterkejutanku dan beralih ke tempat lain karena posisiku berdiri menghalangi jalan mereka. Lalu mereka membaringkan gadis pingsan itu di ranjang yang kosong yang dekat dengan posisi pintu. Jelas, kepanikan terlihat diwajah mereka.
Aku segera ambil tindakan. Berlari ke arah dimana minyak kayu putih berada, lalu menghampiri mereka. “Ini.” Aku menyodorkannya. “usapkan diatas dadanya, dan dilehernya. Lalu dipelipisnya sambil dipijit-pijit.” Jelasku yang dianggukan oleh mereka. “Oh iya, petugas nya lagi keluar sebentar.”
Aku melihat ke ranjang disebelahnya dimana tas Aldo berada. Kucing itu sudah tidak ada. Sepertinya suara kencang pintu tadi sampai membangunkannya. Dan saat aku melihat kearah pintu terlihat kucing itu berjalan keluar. Dan Aldo,
Sudah berada dipojok sudut.
Tetapi dia menyembunyikan ketakutannya dengan berpura-pura memainkan hpnya.
Rasanya pengen ngumpat, tapi gak berani.
Hufftt... aku rasa masalah kucing itu sudah selesai. Aku berpamitan dengan para adik kelas itu dan menyuruhnya menunggu penjaga UKS datang untuk tindakan selanjutnya. Aku berjalan keluar sampai saat sebelah kakiku sudah keluar dari ruangan aku terhenti.
Apa aku masih punya muka untuk keluar ? tidak. Aku tidak memikirkan diri sendiri atas omongan mereka. Tetapi aku memikirkan nama rohis yang terkena dampaknya.
Lamunanku buyar oleh panggilannya. “Cha, ayo ke kelas bareng.” Ajaknya dengan biasa saja seperti tidak terjadi apa-apa.
Aku menatapnya tajam. “Gak mau ! dan jangan sampe kamu ikutin aku !” tegasku kepadanya.
“Tapi, Cha, kan kelas kita sama. Jadi bareng aja.” Katanya memaksa.
Dia itu kapan peka nya sih ? apa dia tadi bener-bener gak denger nyinyiran mereka ?
“Aku bilang jangan bareng, ya jangan !!” Aldo membelalak, akupun terkejut karena tak sadar berbicara dengan nada tinggi. Aku menurunkan kembali nada bicaraku. “Maaf.” Tapi tanpa menunggu Aldo berbicara aku langsung berjalan cepat kembali ke kelas.
***
Dua pelajaran terakhir dihari itu tidak membutuhkan keaktifan diri, hanya mencatat dan mendengarkan penjelasan. Sangat mendukung moodku saat ini. Sesaat sebelum bel masuk terdengar mereka yang melihat kejadian itu bertanya kepadaku, namun aku diam saja dan berpura-pura larut dalam novelku. Begitupun sebagian lainnya bertanya kepada Aldo, entah apa yang dia bilang aku tak peduli. 20 menit lagi pelajaran hari ini selesai. Saat aku sedang mencermati penjelasan Pak Adam guru PPKN ponselku yang berada dikolong meja bergetar membuatku mengambilnya. Aku menunduk untuk mengeceknya. Terlihat pesan yang membuatku menghembuskan napas panjang dan berat. Pikirku pasti ada hubungan dengan kejadian tadi.
Arif : Nis, kata Bu Aida pulang sekolah temui beliau di ruang guru.
Anisa : Iya, makasih.
***Aku mencoba berjalan seperti biasa keluar dari ruang guru, walau hati ini sedang berkecamuk dengan rasa. Rasa kesal kepada Aldo, rasa marah kepada diri sendiri, dan rasa malu kepada Bu Aida dan anak-anak rohis lainnya. Bu Aida pembina rohis memanggilku atas berita yang mengarah kepadaku. Tentu Bu Aida yang baik itu lebih percaya kepada anak-anaknya daripada gosip yang belum tentu benar. Bu Aida memanggilku untuk tabbayun—klarifikasi—apa yang ia dengar. Aku menjelaskannya dengan rinci. Aku merasa malu atas sikapku yang merugikan orang lain.
Saat aku berjalan menuju gerbang mataku melebar melihat Putri, Anita, dan Indah yang sedang berbincang-bincang didekat pos satpam. Aku menghampirinya. “Kalian lagi ngapain ?”
Obrolan mereka terhenti, lalu Putri tersenyum lebar,”Ya nungguin kamu, lah. Iya gak ?” ucapnya melihat Anita dan Indah yang di anggukan oleh keduanya.
“Eh, kan aku tadi bilang duluan aja.” Kataku tak enak.
Indah mendekat dan meraih tanganku. “Kita kan searah. Pulang bareng lebih seru daripada sendirian. Yuk !” ajaknya dengam menarikku menghampiri angkot diikuti dengan yang lainnya.
Aku bahagia mempunyai mereka. Selama di angkot mereka tidak bertanya lagi tentang kejadian itu, malah bercanda receh membuat bibirku melengkung ke atas yang sedari tadi enggan ku lakukan.
Saat aku akan turun karna rumahku lebih dekat, Putri memegang tanganku dan menatapku dalam.“Kita percaya sama kamu, Cha.” Yang di ikuti anggukan yang lainnya.
Rasanya bulir air mata ingin meluncur saja tempatnya dan memeluk mereka. Tapi tidak mungkin, abang supir angkot pasti akan kesal menunggu. Aku pun membalas tatapan dalam mereka dengan senyuman bahagia dan mengangguk pelan. “Makasih, ya. “
***
Jangan langsung menyimpulkan apa yang kalian lihat ya guys 😊
Karna mungkin saja kenyataannya tak seperti yang kita lihat.Hmm..... Arif akan bertindak gak yaaa ? 😄😄
Jangan lupa follow akun aku juga 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Tekadku dengan Akad [COMPLETED]
Teen FictionAnisa gadis SMA yang memegang teguh ajaran-ajaran agamanya, yaitu Islam. Dan salah satunya ia sangat menolak dengan hubungan yang marak di kalangan remaja, yaitu pacaran. Ia bertekad hanya dengan akad seseorang bisa memilikinya. Namun, di pertengaha...