Aku, Putri, dan Indah sebelum pulang sekolah bertemu dengan Arif dilapang aula untuk mengembalikan jasket, saat istirahat kedua ternyata tak sempat mengembalikannya. Kita berjalan menuruni tangga sampai dilobi. Setelah itu mereka bertiga pulang terlebih dahulu. Aku memandangi kepergian mereka.
“Hari ini bawa motor ?” suara beratnya itu membuatku menoleh. “Maaf atas sikap gue tadi pagi.”
“Iya.” jawabku singkat.
“Iya buat kalimat yang mana nih ?” katanya memastikan.
“Dua-duanya.” Jawabku masih dengan datar dan pandangan lurus kedepan tak menatapnya.
“Besok juga bawa motor lagi ?” tanyanya kembali.
“Iya,”
“Lusa bawa juga ?”
“Iya.”
Kini Aldo mendecak.”ck. terus gak bawa motornya kapan ?”
“Kalau gak sekolah.” Jawabku santai dan membuat Aldo mengumpat pelan tetapi masih terdengar olehku.
Dia memiringkan kepala melihat wajahku “Terus kapan gue bisa anterin lo kalo gitu ?”
Aku membuang muka, “gak kapan-kapan.”
“Njir, Nis. Lo ramah sama orang lain tapi ke gue jutek banget.” Ucapnya kesal.
Kini aku menatapnya. “Kelakuan kamu sendiri yang buat aku harus begini.” Tegasku kepadanya. “Permisi, aku mau pulang.” Tanpa menunggu balasan Aldo aku melangkah pergi.
Belum sampai aku menghampiri motorku terdengar suara seseorang memanggilku.
“Anisa !” panggilnya yang membuatku menoleh.
Terlihat Arif berlari kecil menghampiriku. “Tadi aku lupa nyampein ini, “ ucapnya setelah berada didepanku. “Untuk peserta lomba Pentas PAI sudah terpilih dari semua bidang perlombaan. List peserta dakwah di Alisa, MTQ di Faiza, cerdas cermat di Surya, debat di Putri, kaligrafi di Anwar, desain busana muslim di Fatimah. Nanti kamu catat kembali dalam lembar kertas untuk arsip kita.” Jelasnya kepadaku.
Aku mengangguk-angguk. “Oke, insyaallah secepatnya aku urus.”
Arif diam sesaat seperti sedang menerka, “Eum, kok, belok, Nis, gak lurus ke gerbang ?”
Memang area parkir berada disebelah kanan dan kiri gerbang utama, dan kini aku sudah berada di bagian kiri dari gerbang utama. “Bawa motor sendiri.” Jawabku dengan memperlihatkan barisan depan gigiku.
Matanya membelalak kaget. “Wiihh, makin keren aja nih, Bu Sekre.” Katanya dengan intonasi entah memuji atau meledekku.
“Heh, situ muji atau ngeledek ?” tanyaku dengan tatapan sinis.
Dia tertawa, “Si ibu sensi amat, ntar gak ada yang suka lhoo.” Ledeknya masih dengan tawanya.
Aku masih menatapnya sinis, “kaya situ ada yang suka aja.” Balasku tak mau kalah.
Tawanya terhenti. “Ya ada—“
“Gue suka Anisa kok, walau dia orangnya sinis.” Suara beratnya memotong pembicaraan Arif dan membuat kami mengalihkan pandangan kepadanya.
Raut wajahku berubah, raut wajah sinis aktingku kini berwujud nyata.
Hening
Aldo berdehem. “Gue ganggu keasikan kalian, ya ?” ucapnya merasa bersalah.
“Eh, nggak, kok.” Jawab Arif merasa tak enak.
Aldo menatapku, seakan menunggu jawaban dariku. Aku tak memperdulikannya. “Aku pamit pulang, ya, Rif. Assalamu’alaikum.” Pamitku kepada Arif.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tekadku dengan Akad [COMPLETED]
Teen FictionAnisa gadis SMA yang memegang teguh ajaran-ajaran agamanya, yaitu Islam. Dan salah satunya ia sangat menolak dengan hubungan yang marak di kalangan remaja, yaitu pacaran. Ia bertekad hanya dengan akad seseorang bisa memilikinya. Namun, di pertengaha...