Dukungan dari seorang ayah

1.9K 108 2
                                    

Anisa sampai dirumahnya sekitar jam 4 sore. Dari sholat magrib sampai sholat isya Anisa tidak beranjak dari sejadahnya, setelah selesai sholat sunah ia melanjutkan dengan membaca Al-Qur'an, dzikir, dan bersholawat. Anisa ingin menenangkan hatinya yang gundah.

Jam 8 malam Anisa keluar dari kamar, dia mencari sosok papahnya. Pria paruh baya itu terlihat sedang duduk di sofa dan menonton acara MotoGP di ruang tengah sendirian. Anisa menghampiri dan duduk di samping papahnya itu.

Pak Ahmad nama papahnya Anisa menoleh dan tersenyum ketika merasakan putri bungsunya duduk disampingnya namun kembali menatap layar televisi.

"Pah," panggil Anisa dengan sedikit memiringkan badannya.

Pak Ahmad hanya menjawab dengan gumaman dan masih fokus dengan apa yang dia tonton.

"Lihat Icha dong, Pah!" kata Icha merajuk menggoyangkan sebelah paha papahnya.

"Ada apa, Sayang?" tanya Pak Ahmad kini melihat putrinya.

Icha melepaskan kedua tangannya dari atas paha papahnya, kemudian memainkannya di atas pahanya sendiri karena gugup, "Pas Icha kelas 12 SMA, Om Pratama gak pernah main lagi kesini, kenapa?"

Pak Ahmad mengangkat alisnya, namun ada senyum samar dari bibirnya, "Kenapa tiba-tiba nanyain itu?" Tanya Pak Ahmad berusaha untuk biasa saja.

"Jawab aja deh, Pah."

Pak Ahmad kembali melihat acara di depannya, lalu bersandar di sofa itu, "Om Pratama harus pindah mendadak sama keluarganya." jawab Pak Ahmad dengan tatapan lurus ke depan.

"Jadi... Aldo bener anaknya Om Pratama?" tanya Anisa mencicit kecil.

Pak Ahmad berdehem agar bisa menyembunyikan senyumannya, "Aldo yang mana?"

Anisa mengernyit, "Papah beneran gak tau?"

"Yang namanya Aldo banyak," kata Pak Ahmad masih melihat acara itu, namun kemudian melihat Anisa, "tapi yang papah tau, Aldo yang tadi nelpon papah."

Anisa membelalak, lebih merapat ke papahnya itu, "Jadi Aldo beneran nelpon papah?"

Pak Ahmad mengangguk, kemudian mengatakan hal yang membuat Anisa semakin membulatkan mata, "tadi juga ketemu." katanya datar.

"Kapan? Dimana?"

"Tadi sore di cafe deket tempat kerja papah," Pak Ahmad menjeda kalimatnya, "pas bilang kamu nolak Arif, dia langsung minta ketemu."

Anisa tertunduk setelah mendengar itu.

"Cha," panggil Pak Ahmad yang membuat Anisa mendongak, "Kenapa kamu nolak Aldo?" tanya Pak Ahmad kini serius.

"Tadi kalian ngomongin apa aja?" tanya Anisa mengalihkan pembicaraan.

"Jawab pertanyaan papah dulu."

Anisa mengalah, ia mengubah posisi duduknya menghadap ke depan, menyandarkan tubuh lalu menjatuhkan kepalanya di bahu Pak Ahmad, "Aldo seenaknya sama hati Icha," katanya lirih tanpa melihat papahnya, namun ke acara tv.

Pak Ahmad melirik sesaat putri bungsunya, terlihat wajahnya mulai menyendu, "Seenaknya gimana?"

Anisa ragu untuk menceritakannya atau tidak karena biasanya untuk hal seperti ini dia bercerita kepada mamahnya, namun kali ini yang lebih tahu tentang Aldo adalah papahnya, "Aldo gak cerita kalo dia udah nyakitin putri kesayang papah ini?" akhirnya Anisa lebih memilih bercerita.

Keduanya sama-sama melihat ke depan, dimana televisi itu berada, namun jelas pikiran mereka tidak menonton itu.

"Cerita," kata Pak Ahmad yang membuat Anisa mendongak sesaat, namun kembali bersandar nyaman, "tapi papah pengen tahu apa yang kamu rasakan."

"Dulu dia tiba-tiba ngedeketin Icha," Anisa mulai bercerita dengan mengingat kembali apa yang telah ia rasakan, "Icha udah jelas-jelas nolak dia tetep aja deketin Icha, walaupun Icha gak suka dideketin sama dia, tapi kegigihannya memperilakukan Icha istimewa itu ternyata berpengaruh. Icha gak sadar saat itu kalo dia berhasil buat Icha suka sama dia, dan pada saat itu dia tiba-tiba marah-marah dan maki-maki Icha dengan kata yang sangat kasar,"

"Itu karena dia terlalu cemburu, Cha," sanggah Pak Ahmad.

"Dia maki-maki Icha tanpa nyari tahu kebenarannya. Walaupun dari sana Icha juga sadar bahwa Icha gak pernah nolak secara tegas dan buat Icha ngerasa bersalah juga. Icha berniat menyelesaikan masalah itu, bagaimanapun kita sekelas, tapi tiba-tiba juga dia menghilang. Tanpa pamit dan tanpa maaf,"

"Icha bertahun-tahun berusaha mengikhlaskan kejadian ini, walau susah karena dia satu-satunya. Tapi Icha terus berusaha. Dan setelah Icha berhasil dan tenang tanpa terpikirkan dia lagi, dengan tiba-tiba lagi dia datang mau mengkhitbah Icah,"

Anisa menghela napas, merasa miris sendiri, "Itu seenaknya, kan, Pah?"

Pak Ahmad ingin menjawab namun tak jadi karena Anisa melanjutkan kembali ceritanya, "Dia pikir hati Icha itu apa bisa didatengin dan ditinggalin seenaknya," kata Anisa mulai merasa marah.

"Dia pikir hati Icha itu kuat untuk diperlakukan seperti itu? Dia pikir dia siapa seenaknya mau deketin Icha lagi setelah dia ninggalin Icha gitu aja!!"

Pak Ahmad menghela napas, kasihan melihat putrinya menderita dengan waktu yang lama. Namun, dia pun tak bisa menyalahkan Aldo sepenuhnya setelah pertemuan tadi sore.

"Papah juga marah ketika Aldo menceritakan dia pernah memaki kamu, tapi papah lihat penyesalan yang tulus dari hatinya."

"Dulu dia buaya, aktingnya pasti masih bagus," cibir Anisa merasa tak suka papahnya membela pria itu.

"Dia udah berubah, Sayang," kata Pak Ahmad lebih halus sambil mengusap kepala Anisa, "papah tahu karena dia cerita semuanya."

"Apa aja yang di ceritain?"

"Kenapa kamu gak tanya langsung sama orangnya?"

Anisa mengubah posisi duduk menjadi tegak, "Males."

"Kasih kesempatan Aldo untuk menceritakan semuanya, alasan kenapa dia ninggalin kamu tiba-tiba dan kembali lagi dengan tiba-tiba."

Anisa menggit bibir bawahnya, dia memang ingin jawaban dari apa yang selama ini dia pertanyakan, tapi Anisa masih ragu jika harus kembali bertemu dengannya.

Melihat putrinya hanya diam, Pak Ahmad kembali melanjutkan, "Kalau kamu beneran udah bisa tenang tanpa memikirkannya ...," ucap Pak Ahmad menggantung membuat Anisa menoleh, "lalu kenapa kamu nolak Arif?"

Anisa terpaku tak bisa menjawab. Melihat sikap Anisa, Pak Ahmad semakin percaya diri bahwa Anisa memang masih memiliki perasaan kepada Aldo.

"Kamu gak sekedar suka dia, tapi kamu mencintainya."

***

Pak Pratama sedang menceritakan tentang pekerjaannya kepada Aldo di ruang tengah rumah mereka. Karena putranya itu jarang pulang ke rumah karena kesibukannya sebagai dosen sehingga saat putranya pulang, dia selalu ingin berbincang-bincang.

Aldo lebih banyak mendengarkan, hanya sesekali ia menyahut karena pengetahuannya soal bisnis memang terbatas.

Di tengah-tengah obrolan mereka, ponsel Aldo yang berada di meja itu bergetar dan menyala, Aldo meminta ijin untuk mengeceknya. Aldo terkejut melihat sebuah pesan dari orang yang spesial dengan isi pesan yang spesial juga.

Om Ahmad : Besok ajak Anisa bertemu, lalu ceritakanlah semuanya.

Aldo segera membalas pesan itu dengan mengiyakannya. Kabar dukungan ini tak bisa dia simpan sendiri, Aldo memperlihatkan isi pesan itu kepada ayahnya.

Pak Pratama tersenyum melihat isi pesan itu, "Perjuangkanlah dia, kamu akan menyesal jika gagal mendapatkannya."

Aldo membalas senyum ayahnya, lalu menatap ke lurus ke depan,

"Aku akan memperjuangkanmu kembali, Anisa."

***

Alhamdulillah cerita ini sampai pada angka 1k kali dibaca. Terimakasih untuk kalian yang setia membaca ceritaku ini 😊 tanpa kalian apalah ceritaku ini.

Semoga bisa menghibur dan bermanfaat juga.

Jangan lupa follow aku juga ya, karena setelah cerita ini selesai aku akan update cerita terbaru 😆😆

Tekadku dengan Akad [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang