Cukup!

1.4K 84 4
                                    


Minggu ini sekolah bebas setelah UAS pekan lalu dan diisi dengan berbagai kegiatan class meeting untuk menunggu pembagian raport. Kebanyakan siswa berada diluar kelas, entah itu dipinggir lapangan untuk menonton setiap pertandingan, nongkrong di kantin, di koridor kelas, hanya sedikit yang berdiam dikelasnya. Aku, Putri, dan Indah duduk di pinggir lapangan yang sedang diadakan perlombaan futsal, kelasku belum mendapatkan giliran sehingga kami tidak sepenuhnya fokus menonton.

"Cha." kata Putri yang membuatku menoleh kearahnya yang duduk disampingku.

"hm ?"

Putri menatapku serius "Kamu sama Aldo ada apa ?"

Aku cukup terkejut dengan pertanyaannya namun sebisa mungkin aku terlihat tenang, "Maksudnya ?"

"Ternyata kamu juga ngerasa ya, Put." kata Indah yang masih menatap lurus kedepan.

Belum sempat aku ingin berbicara, Putri mendahuluiku, "Aku juga yakin kamu ngerasain, Cha. udah cukup lama sikap Aldo ke kamu mulai beda."

Aku memalingkan wajah menatap ke depan sana, "biasa aja, kok." kataku dengan tenang.

"Nggak, Cha." Sanggah Indah.

"Mulai dari Aldo yang minta di ajarin fisika padahal dia lebih pinter dari kita--" kalimat Putri yang seakan ingin mengabsen segera aku potong.

"Yang rankingnya tinggi bukan berarti dia selalu paham semua materi."

"Pertemuan langka kita di Mesjid Agung sama Aldo--" ternyata Putri masih melanjutkannya setelah aku selesai berbicara.

"Siapa aja bisa dateng kesana."

"Ibunya ngasih bekal ke kamu--"

"Itu karna aku nolongin Tasya."

"Dia nyeret kamu di sepanjang koridor--"

"Itu karna dia fo--" aku tak bisa melanjutkan perkataanku karna itu rahasia Aldo yang tak ingin diketahui banyak orang.

"Dia apa ?" tanya Indah yang sekarang menatapku intens.

"Itu aib Aldo yang gak bisa aku bilang ke siapapun." kataku lirih.

"Dan... " Putri melanjutkan kembali, namun kini dia memberi jeda.
apalagi ? semua pembicaraannya mengingatkanku kembali dengan sikap Aldo yang memang beda dari biasanya.

"Dia peka saat kamu sakit maag pas upacara."

Kini aku tak menjawab. Rasanya dadaku sesak, tenggorokanku tercekat sehingga aku tak sanggup menjawab.
Tidak mengertikah mereka ? Aku berusaha keras untuk menjauhkan diri dari Aldo, bahkan mengenyahkan perasaan aneh yang aku tak tau apa itu.

"Ada satu lagi," kini giliran Indah yang membuka suara, "Aldo maksa untuk satu kelompok bahasa Indonesia sama kamu."

Aku tak menjawab. Namun ternyata mereka tak berbicara kembali.

"Udah ?" tanyaku memastikan apakah mereka akan bertanya hal lain lagi tentang Aldo dengan tatapanku masih ke seberang sana.

mendengar suaraku yang seperti tertahan Putri menarik bahuku pelan, namun aku menahannya. menyadari ada yang beda, Putri dan Indah bangkit, melangkah dan berdiri tepat di hadapanku,

"Cha, kamu kenapa ?" tanya Indah yang melihat setetes air mata berhasil meluncur dipipiku yang sebenarnya ingin aku tahan.

"Maaf, Cha. kalau kita terlalu neken kamu." ucap Putri yang kemudian merengkuh badanku ke dalam pelukannya.

Haruskah aku mengeluarkan tangisku disini ? tidak mungkin ! ini lapangan, dan banyak orang disini.
Seperti paham yang aku rasakan, Indah berdiri tepat di depan wajahku agar tak terlihat orang lain. "Semua orang fokus ke pertandingan, dan aku akan menyembunyikanmu.

Seketika aku melepaskan sebagian bebanku melalui air mata yang aku keluarkan dengan masih dalam pelukan Putri, aku terisak pelan, "Aku juga bingung dengan sikap Aldo akhir-akhir ini. Walau begitu, aku coba untuk tidak memperdulikannya, dan tidak ingin mengingatnya."

Aku berusaha tak mengeluarkan air mata lagi dan menormalkan suaraku, "Tapi hari ini, kalian mengabsen semua sikap Aldo yang tak ingin aku pedulikan."

Putri memelukku lebih erat, "Cha... kita gak bermaksud gitu." katanya dengan nada penyesalan. Putri melanjutkan perkataannya "Kita cuma--"

"Gak mau aku terjerumus, kan ?" tanyaku yang melanjutkan apa yang mungkin akan Putri katakan. aku melepaskan diri dari pelukannya. aku mengusap pipiku yang basah lalu berdiri tegak, "kayanya aku butuh waktu sendiri."

Tanpa menunggu jawaban mereka aku berjalan menunduk menyembunyikan wajahku yang pastinya terlihat selesai menangis.

Aku berjalan dengan menundukkan kepala, tentu saja agar tak terlihat oleh orang lain bahwa aku selesai menangis. tujuanku tak lain adalah toilet untuk mencuci wajahku. Sepanjang jalan aku memikirkan sikapku. Mengapa aku sampai menangis ? apa hatiku selemah ini ? hanya karna seseorang seperti dia aku bisa meneteskan air mata.

BUGH

"Maaf," ucapku kepada seseorang yang tak sengaja sedikit badannya bertubrukkan denganku. aku tidak menatapnya namun membalikkan badanku kepadanya. tak ingin berlama-lama aku hendak melanjutkan jalanku namun terhenti saat sebuah lengan terjulur dibawah pandanganku dengan sebungkus tisu.

"Pake nih ! ingus lo turun."

Mendengar kalimatnya aku dengan cepat meraih tissue yang ia tawarkan dan dengan cepat membersihkan hidungku. Lalu beberapa detik kemudian aku tersadar bersamaan dengan dia yang tertawa.
Eh ? aku kan nunduk ? Kok dia bisa tahu aku ingusan ?
Dan dengan mendengar suara tawa yang ku kenal itu aku langsung mendongak dengan tatapan kaget.

"Tapi boong." ucapnya saat aku menatapnya. dan dia kembali tertawa.

lelucon macam apa itu ?
"GAK LUCU !" aku menatapnya sinis "Nih, makasih." aku mengembalikan tissue-nya dengan menempelkan ke dadanya.
aku beranjak, dan terdengar Aldo memanggilku dan mengikutiku. "Anisa, tunggu !" aku semakin mempercepat langkahku. namun tentu saja langkah Aldo lebih panjang dari langkahku.

"Nis." panggilnya lirih setelah berhasil menghentikanku dengan menahan lenganku. Atau lebih tepatnya dia memegang lengan hastaku.

"Lepasin !" kataku tegas tanpa melihatnya, "aku gak mau ada fitnah lagi."

"Disini sepi, orang-orang banyak dilapangan."

"Karna sepi lebih membahayakan." kataku lebih menurunkan intonasi bicara. dan saat genggaman Aldo terasa melonggar aku berhasilkan melepaskan diri dan kembali melangkah.
Namun gerakan Aldo lebih cepat, dia menarik bahuku sehingga tubuhku sempurna menghadapnya. dan otomatis aku mendongak menatapnya. "Lo nangis kenapa ?" tanyanya halus.

"Aku gak nangis."

"Muka lo itu kelihatan abis nangis gitu." katanya dengan lebih serius dan tatapan yang penuh kekhawatiran.

Melihat tatapannya seperti itu aku mengalihkan pandangan ke arah lain. "Jangan sok tahu." jawabku ketus.

"Nis," panggilnya lirih "Lo bisa cerita ke gue, gue bisa dipercaya buat jaga rahasia."

Aku sudah tak tahan lagi. Ingin rasanya mengatakan 'INI SEMUA KARENA KAMU' tapi itu impossible.
tapi kali ini aku mencoba untuk berani. Aku menatapnya tajam, menghembuskan napas untuk memberanikan diri.
Aku menempelkan telunjuk dengan posisi menunjuk ke dada kirinya, "Ini.Bukan.Urusan.Lo !" dan saat kata 'Lo' aku mengetukkan jari telunjukku.
reaksi Aldo ? sudah tentu ia terkejut

Aku menjatuhkan kembali tangaku namun masih menatapnya tajam. "One more,"

"Jangan deketin GUE lagi ataupun sok ngasih perhatian lebih. Ngerti ?!" perintaku dengan penuh penekanan disetiap katanya.
Tanpa menunggu basa-basi lagi aku beranjak pergi meninggalkan Aldo yang masih mematung.

Sudah sangat jelas dan keras bukan penolakanku terhadapnya ? Aku harap untuk kali ini dia akan menyerah.

***
Apa mungkin Anisa udah mulai baper sama Aldo ? Hm hm hm 😂
Maaf aku update nya malem banget..

Tekadku dengan Akad [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang