Chapter 20

9 0 0
                                    


For awhile to love
was all we could do
we were young and we knew
and our eyes were alive
Deep inside we knew our love was true

Blooming, jam sepuluh malam. Lagu after the love has gone nya earth, wind, and fire memenuhi seisi restoran tersebut.
Shafa duduk sendiri di pojokan sambil menyisip flavour beer leci nya. Memandangi padatnya jalan Sudirman. Sementara di meja nggak jauh dari situ dua orang expat mencuri-curi pandang.

Somethin' happened along the way
what used to be happy was sad
Somethin' happened along the way
and yesterday was all we had

Shafa menghela napas. Udah segitu apesnya kah dia. Putus sama sang pacar yang sempat digadang orang-orang bakal menikahinya. Dan sekarang dilirik-lirik sama expat yang mungkin ngelirik karena bingung ni cewek ngapa bengong sendirian di pojokan sambil liatin lilin.

Well, she is alone at last. Dia nggak tau harus ngapain dan harus bagaimana. Yang dia tau flavour beer leci nya membuat dia merasa lebih santai.

Terbayang di benaknya bagaimana tadi di Le Gourmet dia dan Fabi sama-sama saling patah hati. Mereka berdua sama-sama lelah. Dan mereka berdua tau, yang terbaik buat mereka berdua adalah pisah. Sometimes, holding on does more damage than letting go.

And oh after the love has gone
how could you lead me on
and not let me stay around
Oh oh oh after the love has gone
what used to be right is wrong
Can love that's lost be found

Air mata menggenang di pelupuk mata Shafa. Shoot. Selama ini Shafa suka lagu ini karena suara penyanyinya yang menurut dia bagus. Nggak nyangka suatu hari bakal nangis mendengar liriknya.

"Shafa?"

Shafa mengangkat wajahnya, melihat sosok yang berdiri di hadapannya.

Cewek, terusan pas badan dan rambut panjang brunette yang ujungnya kriwel-kriwel. Priscilla.

"Oh, hi Sil." Shafa tersenyum. Super fake. Dari sekian banyak tempat hang out, dan dari sekian banyak orang di Jakarta, kenapa mesti dia yang nge gap in Shafa duduk sendirian dengan segelas flavour beer dan sepiring kecil french fries sih? "Sendiri?"

Nggak lama dateng seorang cowok dengan penampilan necis. Metro seksual lah pokoknya. Sekilas mirip-mirip Min Hyuk nya Full House yang sitcom korea itu loh.

"Sama temen gw." Priscilla mengenalkan temannya ke Shafa. "Shafa, Erick. Erick, Shafa."

Mereka berdua salaman.

"Boleh join, Fa?" Tanya Priscilla menunjuk kursi-kursi kosong di depan Shafa.

"Oh, iya. Silahkan."

Priscilla duduk di sebelah Shafa, sementara Erick duduk di depan Shafa persis.

"Sendiri aja?" Tanya Erick ramah.

'I am not going to fall for your pesona yang yey tebar-tebar!' Pikir Shafa dalam hati.
Erick ini modelan cowok ganteng, badan jadi, dan has a way to woman. Caranya dia ngomong, gestur tubuhnya... Semuanya dijaga sehingga bikin perempuan manapun yang diajak ngomong merasa spesial karena diperlakukan begitu sopan.

"Iya." Jawab Shafa. "Nunggu temen gw sebenernya cuma kejebak macet kayaknya, dari Cibubur."

"Oh..."

Erick memanggil mas-masnya dan memesan sebotol bir bintang buat dirinya dan segelas flavour beer buat Priscilla.

"Selesai lembur langsung kesini, Fa?" Tanya Priscilla.

"Hm? Iya." Jawab Shafa singkat.

Ya nggak mungkin dong dia bilang kalo hari ini dia nggak lembur dan baru aja dinner sekaligus putus dari pacarnya dan beberapa menit yang lalu lagi meratapi nasibnya.

"Kerjaan lo sering mengharuskan lo lembur ya?" Tanya Erick.

"Lo tebak dooong kerjaannya apaa..." Sahut Priscilla.

Erick memandangi Shafa sambil tersenyum. She will nooooott falling for this guy. Fingers crossed.

"Secretary?"

Krik, krik, krik.

Nggak liat apa ya dia rambut Shafa segitu berantakannya. Iya sih ujungnya kriwel-kriwel, tapi karena seharian ini sumpit mi ayam nancep di tuh rambut. Bukan karena blow an baby liss kayak Priscilla.

Shafa ketawa, ringan. Efek flavour beer kayaknya.

"Marketing?" Tebak Erick lagi sambil tetap memandangi Shafa.

"Bukan. Gw accounting." Jawab Shafa singkat.

"Oh." Erick terlihat surprise. Dia melihat ke Priscilla.

"She is." Priscilla membenarkan.

"You don't look like one." Kata Erick masih surprise.

"Really?" Aka maksud looooo? Muke Shafa cetek bener gitu sampe nggak cocok jadi akuntan?

"I mean, in a good way." Lanjut Erick cepat. "You look too good to be an accountant."

E-ehm. Jadi malu.

"Abis ini lo mau kemana, Fa?" Sela Priscilla, setelah menyeruput flavour beer nya yang baru saja datang.

"Nggak tau. Pulang paling." Jawab Shafa. Yeah, right. Pulang. Yang seharusnya dia lakukan dari tadi.

"Why don't you join us?" Kata Erick sambil tersenyum, lagi. "Kita abis ini lanjut ke X3. Masih sore lho, masa pulang."

"Oh, ya. Lo gabung aja yuk? Hari ini... Erick ulang tahun..." Tambah Priscilla.

"Oh ya? Happy birthday." Kata Shafa.

"Thanks." Jawab Erick singkat, tetap ramah.

"Iyaa... Dan dia mau open sofa di X3 nanti." Priscilla ngelirik Erick. "Yuk, yuk, yukkk... Seru deh, nanti masih ada temen-temen gw juga yang lain... Dijamin rame dan nggak basian..."

Shafa bingung. X3 ya. Seumur-umur belom pernah dia menginjakkan kaki di klub malam. Open sofa maksudnya apa juga dia nggak ngerti. Tapi nggak mungkin kan nanya sama Priscilla, 'Eh, Sil, open sofa tuh apa ya? Sofa dibuka-buka gitu? Ngapain yak?'.

"Come on... Come join us. It's my birthday."
Soooo? Baru kenal berapa menit yang lalu, terus ulang tahunnya jadi penting banget gitu buat Shafa?

"Please?"

Tapi berhubung yang ngomong 'please' itu ganteng tujuh turunan dan gentleman bener keliatannya... Shafa pun mengangguk.

"That's great!" Seru Erick.

"Kita cabut sekarang?" Tanya Priscilla.

Erick mengiyakan sambil meminta bill ke mas-masnya.

"Temen lo ajak join aja, Fa. Biar ketemu di X3 nanti." Kata Priscilla.

Shafa cuma mengangguk.

She's going to have some fun.

***

Sepenggal Kisah ShafaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang