Chapter 15

12 0 0
                                    

Spend all your time waiting
for that second chance
for a break that would make it okay
there's always some reason
to feel not good enough

Kamis jam sepuluh malam.

Lagu Angel nya Sarah Maclahan sayup-sayup memenuhi seisi kubikel Shafa, nggak mau kalah sayupnya dengan deru suara AC dan sayupnya mata Shafa.

Ini hari keempat Shafa lembur. Tiga hari berturut-turut kemarin Shafa baru meninggalkan kantornya jam sebelas malam. Itu juga sang pak bos masih berkutat di ruangannya, me-review hasil kerjaan Shafa.

I need some distraction
oh beautiful release
memories seep from my veins
let me be empty
and weightless and maybe
I'll find some peace tonight

Yeah, some peace. Shafa butuh itu. Tidur nyenyak kayak orang pingsan dan bisa bangun siang besoknya. Nggak usah mikirin Fabi yang juga nggak menghubunginya, nggak usah mikirin Ditan yang rutin sms dia nanya udah sampe rumah atau belum, dan nggak usah pusing mikirin kenapa Gilang nggak keliatan batang idungnya dari hari Senin kemarin.

in the arms of the angel
fly away from here

Yak, siap-siap sebentar lagi mata Shafa ketutup. Satu... Dua... Tiiii...

"Shafa,"

Nggak jadi ding.

Shafa terhenyak dari ngantuknya. Dia nengok ke belakang, si pak bos, pak Andrew, berdiri di luar kubikel Shafa.

"Ya, pak." Jawab Shafa ngantuk. Padahal dia udah berusaha sekuat tenaga biar nggak kedengeran ngantuk.

Pak Andrew nyengir melihatnya. Dia masuk kubikel Shafa dan berdiri di sebelah kursinya.

"Kamu ngantuk?" Tanyanya.

Shafa mengangguk pelan, pelan banget, khas orang udah setengah sadar.

"Iyalah melototin advance sambil dengerin lagu beginian." Ledeknya sambil memandangi layar komputer Shafa yang penuh dengan angka-angka.

Ya dia tadinya auditor, biasa pergi pagi pulang pagi, nggak pulang malah, lanjut kerja paginya di kantor klien. Shafa? Dia mah karyawan biasa hura-hura tukang malakin kalo ada yang ulang tahun. Dateng on time pulang on time. Yang bikin dia semangat kerja adalah baju kerja baru. Nggak ada yang lain. Oh, atau sepatu kerja baru. Atau tas kerja baru.

"Udah kamu breakdown GL advance nya Pak Johny?" Tanya pak Andrew. "Satu M gantung soalnya, Fa, dari tahun lalu berkurang sedikit aja. Agak aneh tuh. Auditor mau tau."

"Iya pak, nih baru selesai sih, baru mau saya kirim ke bapak." Jawab Shafa sambil membuka emailnya. "Banyak pembebasan lahan, pak, tapi mau di catet sebagai realisasi buktinya kadang nggak ada, cuma selembar kwitansi."

"Ya kita lengkapin aja, sesuai yang auditor mau."

"Ndrew."

Shafa dan pak Andrew nengok ke arah suara itu. Gilang. Dengan muka kusut dan kemeja yg ngga kalah kusutnya dengan lengan sudah disingsingkan sesiku.

"Baru keliatan lo." Sapa pak Andrew. "Gimana, udah kelar meeting marathon nya?"

For your info, pak Andrew ini senior nya Gilang jaman kuliah. Plus dia juga bekas atasannya Gilang di KAP ini sampai akhirnya pak Andrew memutuskan untuk hengkang dari KAP itu dan mengisi posisi manajer di kantor tempat Shafa kerja.

"Kelar juga akhirnya." Gilang memasuki kubikel Shafa, melirik Shafa yang udah terlihat kriyep-kriyep nggak sanggup lagi buka mata. "Gimana GL advance yg gw email ke lo, Ndrew."

"Udah kelar sih dari Shafa. Abis ini gw email ke elo. Biar gw 'translate' dulu." Pak Andrew nyengir.

Yayaya, dari bahasa accounting hura-hura macem Shafa ke bahasa auditor nggak asik model Gilang, pikir Shafa mangkel.

"Supporting document nya ada?" Tanya Gilang lagi, tapi kali ini dia memandang Shafa juga.

BELOM.
YANG BENER AJA MALEM INI MASIH MESTI NYIAPIN DOKUMEN PEMBEBASAN LAHAN.

Kira-kira begitu yang ada di kepala Shafa. Pake caps lock semua. Bukan nggak disengaja lho.

"Ada. Tapi besok ya dokumennya." Jawab pak Andrew. "Lo liat nih anak udah begini keadaannya."

Gilang melihat Shafa. Terus nyengir.

"Ngantuk banget gw." Kata Shafa ke Gilang. "Kalo harus ngumpulin supporting document lagi jangan salahin kalo gw ketiduran kayak orang pingsan di ruangan dokumen."

"Kan ada banyak auditor-auditor tuh yang bisa gotong..." Ledek pak Andrew.

Shafa nggak ngerti kenapa pak Andrew kalau udah ketemu Gilang jadi begitu modelnya. Hobi ngeledeknya kumat. Emang nyebelin itu nular kali ya.

"Gw sih nggak kuat, jujur aja." Gilang mengangkat tangannya.

Shafa melotot.

"Eh, udah kamu kirim ke email saya, Fa?" Sela pak bos.

"Udah pak." Jawab Shafa.

"Ya udah kalo gitu kamu pulang aja." Pak Andrew beranjak dari situ. "Lanjutin besok lagi."

"Ok." Senyum Shafa terkembang.

"Oh iya, kamu nggak bawa mobil kan?"

Shafa mengggeleng.

"Pesen taksi aja ya. Besok reimburse ke Linda." Sahut si bos. Linda, yang pegang petty cash. "Pesen ya, Fa. Jangan berhentiin di pinggir jalan."

"Ya pak."

Dan pak Andrew pun berlalu dari situ.

"Lo nggak papa pulang sendirian begitu naik taksi, Fa?" Tanya Gilang khawatir.

"Nggak papa." Jawab Shafa singkat sambil mengangkat gagang teleponnya dan meminta Pak Mufid, office boy di depan memesankan taksi. "Dari kemaren gw kayak gitu."

"Lo nggak telepon Fabi aja?" Tanya Gilang lagi. "Kali aja dia lembur juga jadi bisa bareng pulangnya sama lo."

Shafa berhenti dengan aktivitas beberes mejanya kemudian memandangi Gilang.

"You really got no idea, don't you?" Katanya.

"Apaan?"

Kalau Shafa di detik-detik akhir hubungannya dengan Fabi. Tapi Shafa hanya diam, mematikan layar komputernya dan beranjak pergi dari situ. Handphone nya di atas meja berbunyi, tanda ada whatsapp masuk.

"Handphone lo nih ketinggalan." Gilang mengambil handphone Shafa yang tadi masih tergeletak di atas tumpukan kertas. Terlihat di screennya isi pesan dan pengirim pesan.

Ditan.

'Kamu udah sampe rumah, Fa?'

Shafa mengambil handphone itu dengan cepat dari tangan Gilang dan membaca SMS itu.

"Lo balik lagi sama Ditan?" Tanya Gilang dengan muka serius.

Shafa mengangkat bahunya.

"Dah." Katanya singkat meninggalkan Gilang yang terus memandangi kepergiannya.

Satu sama, lang.

***

Sepenggal Kisah ShafaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang